Kisah Pilu Perawat Pasien Virus Corona, Kerja 10 Jam Tak Boleh Makan atau ke Toilet Selama Berdinas
Lebih dari 600 orang telah meninggal dunia akibat terjangkit virus baru corona yang mulai mewabah sejak akhir tahun lalu. Meski demikian, informasi me
TRIBUNJAMBI.COM- Lebih dari 600 orang telah meninggal dunia akibat terjangkit virus baru corona yang mulai mewabah sejak akhir tahun lalu.
Meski demikian, informasi mengenai apa yang terjadi di lapangan di China, sumber wabah ini, sangat terbatas.
Awalnya, media di negara tersebut dapat memberitakan kabar mengenai epidemi ini secara rinci.
• Lahir di Indonesia, Ini Jejak Huang Xiqiu Arsitek yang Bangun RS Khusus Corona 10 Hari di Jember
• Terjatuh Dari Balkon Lantai 6, Begini Kronologis Meninggalnya Zefina Carina Anak Karen Pooroe Idol
• VIDEO: Perayaan Cap Go Meh di Kota Jambi, Pawai Tatung Paling Ditunggu Warga
Namun belakangan ini, penyedia layanan internet bahkan menghapus beberapa artikel yang mengkritik upaya pemerintah untuk membatasi penyebaran virus.
Pejabat juga bahkan membatasi penyebaran peringatan-peringatan yang dibagikan seorang dokter saat virus corona mulai menyebar.
Dalam kesempatan yang langka, BBC berbicara dengan seorang pekerja medis di Hubei, provinsi yang menjadi episenter wabah ini.
Untuk melindungi identitasnya, ia hanya ingin diidentifikasi dengan nama keluarganya, Yao.
• BREAKING NEWS: Terpisah Dari Rombongan, Gajah Berusia 12 Tahun Masuk Kebun Warga di Tungkal Ulu
• Tak Diizinkan Menyukai Seorang Perempuan, Anak Tusuk Ibu Kandung Dengan Gunting Hingga Luka Serius
• VIDEO: Jebak PSK, Anggota DPR Andre Rosiade Dapat Dijerat Pidana
Yao bekerja di sebuah rumah sakit di kota kedua terbesar di Hubei, Xiangyang.
Ia bekerja di "klinik demam", di mana ia bertugas menganalisis sampel darah dari orang-orang yang diduga terpapar virus corona.
Sebelum wabah ini tersebar, Yao tengah merencanakan untuk pelesir ke Guangzhou untuk merayakan imlek bersama keluarganya.
• Pengajuan masih Minim, UKPBJ Merangin Minta OPD Segera dipercepat
• BREAKING NEWS: Selepas Isi Minyak di POM Bensin Pembengis, Motor Matic Terbakar
• SIAPA Sebenarnya Xanana Gusmao Pernah Diburu Prabowo & Kopassus hingga ke Lobang Bawah Tanah
• Seribu Lebih Penggiat Game Online Mabar Depan Stadion KONI, Akan Bentuk eSport di Jambi
Anak dan ibunya sudah berangkat terlebih dahulu.
Tapi ketika wabah menyebar, Yao memutuskan untuk bekerja sukarela di Xiangyang.
"Memang benar kita hanya hidup sekali, tapi ada suara di dalam diriku yang berkata 'kamu harus pergi'," katanya pada BBC.
Awalnya, ia harus berjuang untuk meredam keraguannya akan keputusan tersebut.
"Aku mengatakan pada diriku sendiri: bersiaplah dan lindungilah dirimu baik-baik," kata Yao.
"Bahkan ketika tidak ada pakaian pelindung, aku selalu bisa memakai jas hujan. Jika tidak ada masker, aku bisa meminta teman-temanku di penjuru China untuk mengirimnya untukku. Selalu ada cara."
Yao mengatakan bahwa ketersediaan perlengkapan pelindung di rumah sakit tersebut lebih bagus dari yang ia bayangkan.
Pemerintah telah mengirimkan perlengkapan sementara perusahaan swasta memberi donasi.
Jika ada kekurangan perlengkapan pelindung, maka tak semua staf terlindungi dengan baik.
"Ini adalah pekerjaan yang sulit, sangat sedih dan membuat patah hati, dan sering kali kami tidak punya waktu untuk memikirkan keamanan kami sendiri," katanya.
"Kami juga merawat pasien dengan hati-hati, karena banyak orang yang datang ke rumah sakit sambil ketakutan, sebagian dari mereka mengalami nervous breakdown."
Untuk mengatasi lonjakan pasien, staf di rumah sakit bekerja selama 10 jam untuk setiap shift.
Yao mengatakan tidak ada satu pun yang diperbolehkan makan, minum, beristirahat atau menggunakan toilet saat mereka sedang bekerja.
"Di akhir shift, saat kami melepas peralatan pelindung, baju kami sudah basah karena keringat," katanya.
"Dahi kami, hidung, leher, dan wajah kadang terluka karena masker yang ketat. Banyak dari kolega kami tidur di bangku setelah selesai bekerja, karena mereka terlalu lelah untuk berjalan," katanya.
Meski sulit, Yao mengatakan belum ada staf rumah sakit yang tertular virus.
Ia dan koleganya juga dibanjiri pesan-pesan berisi dukungan dari warga.
Warga juga kerap mengirimi mereka kebutuhan sehari-hari dan makanan.
"Aku merasa meskipun mereka dikarantina di rumah, virus ini menyatukan hati kami semua," katanya.
Menurut Yao, respon pemerintah China "lumayan cepat", dan tidak ada negara lain yang bereaksi lebih baik dari ini.
"Di Barat, orang bicara banyak soal kebebasan dan hak asasi manusia, tapi saat ini di China, kita bicara tentang hidup dan mati," kata Yao.
"Kami membicarakan soal apakah kami bisa melihat matahari terbit besok pagi. Jadi semua yang bisa dilakukan adalah bekerja sama dengan pemerintah dan mendukung petugas kesehatan."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Perawat Pasien Virus Corona: Tak Boleh Makan atau ke Toilet saat Bekerja"