Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp 5000 Triliun, Ini yang Akan Dilakukan Pemerintah!
Tercatat berdasar laporan Bank Indonesia, pada akhir April 2018 jumlah utang luar negeri (ULN) berada di angka 356,9 miliar dollar
TRIBUNJAMBI.COM - Tercatat berdasar laporan Bank Indonesia, pada akhir April 2018 jumlah Utang Luar Negeri (ULN) berada di angka 356,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS)
Bagaimana pemerintah mengatasi Utang Luar Negeri yang mencapai Rp 5.000 triliun tersebut.
Bicara Utang Luar Negeri sejumlah negara juga mengalaminya bahkan ada yang terancam bangkrut.
• Foto Mayat Bergelimpangan di Jalan Disebut Akibat Virus Corona Ternyata Hoax, Begini Faktanya!
Di 2018, tiga negara yang terancam bangkrut karena krisis moneter; Turki, Venezuela, dan Malaysia.
Seperti dilansir Reuters, Menteri Keuangan Malaysia Lim Guang Eng menjelaskan total utang Malaysia mencapai 1.087 triliun ringgit (sekitar Rp3.500 triliun) pada 31 Desember 2017.
Nasib perekonomian Negeri Jiran pun di ujung tanduk.
Warga Malaysia membuat gerakan aksi melunasi utang dengan cara iuran atau patungan.
Ini dilakukan melalui sebuah situs crowdfunding.
Aksi tersebut dilakukan setelah Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyerukan pemotongan gaji para menteri sebesar 10% untuk kurangi utang yang mencapai 1 triliun ringgit.
Langkah ini diikuti pula anggota parlemen pada sejumlah negara bagian di Malaysia.
• Korban Meninggal Akibat Virus Corona 106 Jiwa, 4500 Orang Terinfeksi, WNI Ungkap Kondisi di Wuhan
Bicara utang, milik Indonesia sebenarnya tak kalah banyak, bahkan jauh lebih besar.
Berdasar laporan Bank Indonesia, pada akhir April 2018 jumlah utang luar negeri (ULN) berada di angka 356,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 5.000 triliun.
Uniknya, Malaysia terancam bangkrut sementara Indonesia tidak.
Utang Malaysia memang hanya Rp3.500 triliun.
Tapi rasionya terhadap PDB lebih dari 60 persen.
Sebaliknya Indonesia.
Meski berutang hingga Rp5.000 triliun, rasio jumlah utangnya hanya 29 persen dari PDB.
Dengan rasio utang yang lebih dari 60 persen PDB, hampir dipastikan Malaysia akan kesulitan dalam membayar cicilan utang tiap tahunnya.
Hal ini tentu saja akan membawa efek berantai di kondisi moneter Malaysia.
Kasus menggunungnya utang Malaysia ini cukup mengejutkan.
Tahun-tahun sebelumnya Malaysia jarang sekalai punya utang lebih dari 300 miliar ringgit.
Dikabarkan, utang yang mencapai 1 triliun ringgit itu terkait dengan dugaan kasus korupsi 1MDB (1 Malaysia Development Berhad).
• Timnas U-19 Indonesia Kembali Alami Kekalahan Dalam Uji Coba ke 4, Takluk 1-4 dari Seongnam FC
1MDB semacam BUMN yang didirikan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak untuk menghimpun dana pembiayaan proyek infrastruktur Malaysia.
Upaya Malaysia melunasi utang
Malaysia tengah berupaya untuk menyelesaikan utang yang melebihi angka 1 triliun ringgit atau US$ 241 miliar.
Hal ini ini semakin diperparah oleh jaminan negara atas di atas nota yang ternyata diterbitkan dari dana yang bermasalah yaitu 1MDB.
Lim mengatakan, konsolidasi anggaran tidak akan mudah karena Malaysia membutuhkan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan masalah akibat kasus korupsi di proyek 1MDB dan hilangnya pengembalian pajak yang mencapai miliaran ringgit.
Negara kemudian memilih menerbitkan obligasi dan penjualan aset, termasuk bermain di pasar saham demi mengumpulkan dana serta memenuhi target defisit fiskal sebesar 2,8% dari produk domestik bruto (PDB) tahun ini.
Perusahaan minyak negara Petroliam Nasional Bhd akan melantai di bursa efek, meskipun Mahatir belum memutuskan apakah akan melakukan penawaran umum perdana (IPO) atau tidak.
Di sisi lain, menurut Lim, pemerintah juga berencana untuk mengurangi kepemilikan ekuitas langsung demi menahan efek crowding out yang disebabkan oleh investasi negara.
Sebelumnya, Mahatir telah meninjau proyek transportasi seharga miliaran dolar, tapi kemudian menangguhkannya karena dinilai terlalu mahal.
Hutang Indonesia
Sementara itu, Hutang Indonesia mencapai Rp 5.534,2 Triliun pada Juli 2019 lalu.
Bank Indonesia menyatakan bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2019 terkendali dengan struktur yang sehat.
ULN Indonesia pada akhir Juli 2019 tercatat sebesar 395,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.534,2 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS).
Rinciannya terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 197,5 miliar dollar AS, serta utang swasta (termasuk BUMN) sebesar 197,8 miliar dollar AS.
Angka tersebut tumbuh 10,3 persen (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 9,9 persen (yoy). Pada Juni 2019, ULN Indonesia mencapaai 391,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.485,2 triliun.
“Terutama dipengaruhi oleh transaksi penarikan neto ULN dan penguatan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS sehingga utang dalam Rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi dolar AS,” demikian bunyi keterangn resmi BI, Senin (16/9/2019).
Pertumbuhan ULN yang meningkat tersebut bersumber dari ULN pemerintah dan swasta.
Pertumbuhan utang luar negeri pemerintah meningkat sejalan dengan persepsi positif investor asing terhadap kondisi perekonomian Indonesia.
ULN Pemerintah di Juli 2019 tumbuh 9,7 persen (yoy) menjadi 194,5 miliar dollar AS. Angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan bulan sebelumnya 9,1 persen (yoy).
Peningkatan tersebut didorong oleh arus masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang tetap tinggi di tengah dinamika global yang kurang kondusif. Hal ini mencerminkan kepercayaan investor terhadap perekonomian domestik, didukung oleh imbal hasil investasi portofolio di aset keuangan domestik yang menarik.
• Timnas U-19 Indonesia Kembali Alami Kekalahan Dalam Uji Coba ke 4, Takluk 1-4 dari Seongnam FC
Pengelolaan ULN pemerintah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan, dengan porsi terbesar pada beberapa sektor produktif yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (19,0 persen dari total ULN Pemerintah), sektor konstruksi (16,4 persen), sektor jasa pendidikan (16,0 persen), sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,2 persen), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (13,9 persen).
“ULN swasta tumbuh meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan investasi korporasi di beberapa sektor ekonomi utama,” tulis BI.
Posisi ULN swasta pada akhir Juli 2019 tumbuh 11,5 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 11,1 persen (yoy). Peningkatan ULN swasta terutama bersumber dari penerbitan obligasi global oleh korporasi bukan lembaga keuangan.
Secara sektoral, ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara (LGA), serta sektor pertambangan dan penggalian. Pangsa ULN di keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,6 persen.
“Struktur ULN Indonesia tetap sehat didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya,” sambung BI.
Kondisi tersebut tercermin antara lain dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Juli 2019 sebesar 36,2 persen, membaik dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya.
Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang dengan pangsa 87,6 persen dari total ULN. Dengan perkembangan tersebut, meskipun ULN Indonesia mengalami peningkatan, namun struktur ULN Indonesia tetap sehat.
Dalam rangka menjaga struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan ULN, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Tak Perlu Khawatir
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada awal tahun 2019 lalu, menyatakan masih dalam batas aman kendati total utang pemerintah sampai tahun 2018 kini tercatat sebesar Rp 4.418,3 triliun. Selama empat tahun era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), utang bertambah Rp 1.809,6 triliun.
Banyak pihak menilai nominal utang pemerintah sebesar Rp 4.418,3 triliun sudah pada tarap mengkhawatirkan. Namun, bagi Sri Mulyani mengaku tidak mengkhawatirkan, dibadningkan negara-negara lainnya.
"Debt to GDP ratio sepengetahuan saya, itu 30 persen, nggak tinggi. Tapi kita tidak katakan mau sembrono. Kan nggak juga. Kita harus hati-hati, defisit makin diperkecil. Apakah dengan defisit kemarin Rp 1,7 triliun, itu besar? Apakah itu berarti pemerintah ugal-ugalan? Ya nggak lah," kata Sri Mulyani di Kompleks Istana, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019).
"Indonesia sekarang growth di atas 5 persen dan defisitnya di bawah 2 persen. Jadi, tidak relevan statement IMF itu untuk Indonesia karena berarti kita kan makin hari akan makin menurun," kata Sri Mulyani.
Besaran utang pemerintah memiliki batasan aman atau tidaknya diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara nomor 17/2003.
Disebutkan pada Pasal 12 ayat (3) bahwa defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3 persen dari produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari PDB.
Dengan total utang Rp 4.418,3 triliun, maka rasio utang sebesar 29,98 persen dari total PDB yang berdasarkan data sementara sebesar Rp 14.735,85 triliun. Itu artinya, masih di bawah batas yang ditentukan Undang-Undang Keuangan Negara.
"Debt to GDP rasio kita itu 30 persen, bandingkan dengan negara lain apakah itu mengkhawatirkan? Kan gitu. Negara yang sama dengan kita income-nya, negara yang maju, yang lebih miskin, coba saja dibandingkan," kata Sri Mulyani, menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia Group, yang berkantor di Amerika Serikat, periode 1 Juni 2010 – 27 Juli 2016.
Karena itu, Sri Mulyani tetpa tenang, tidak cemas akan peringatan yang disampaikan oleh Dana Moneter Internasional kepada negara-negara berkembang terkait pengelolaan utang.
Dalam laporan World Economic Outlook Update yang dirilis Senin (21/1), Dana Moneter Internasional (IMF) menulis di beberapa negara, mengatasi beban utang swasta yang tinggi dan mismatch mata uang dan masa jatuh tempo utang akan memerlukan kerangka kerja makroprudensial yang kuat.
Kebijakan fiskal harus memastikan rasio utang tetap sustainable di tengah kondisi keuangan eksternal yang semakin menantang. Sri Mulyani mengatakan utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 30 persen yang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan standar internasional. Selain itu, defisit anggaran yang mencapai 1,7 persen juga disebutnya masih aman.
"Kalau bicara tentang IMF ini, ada negara advanced countries, seperti di Eropa yang debt-to-GDP ratio itu sudah di atas 60 persen, ada yang 80 persen, bahkan 100 persen. Jadi, untuk negara-negara seperti itu, mereka pasti harus melakukan konsolidasi fiskal," ujar Sri di sela-sela acara forum diskusi A1, Selasa (22/1).
Lebih lanjut, Sri Mulyani juga mencontohkan Italia yang debt to-GDP ratio-nya sudah di atas 100 persen tetapi masih ingin defisitnya di atas 2,4 persen.
"Nah, untuk negara-negara itulah statement IMF menjadi berlaku. Negara seperti ini harus menjaga keseimbangan fiskalnya dengan mengurangi defisit dan oleh karena itu mengurangi utangnya," kata Sri.
Negara-negara tersebut, juga memiliki tugas bagaimana mengurangi defisit dan utangnya tanpa melemahkan pertumbuhan ekonomi. Sehingga, tantangan bagi negara-negara seperti itu adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan cukup tinggi tapi defisit lebih kecil.
Rincian Utang
Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah per tahun 2018 mencapai Rp 4.418,3 triliun. Jumlah tersebut naik Rp 423 triliun jika dibandingkan dengan total utang pemerintah tahun 2017 yang mencapai Rp 3.995,25 triliun.
Mengutip data APBN KiTa, Rabu (23/1), Jumlah utang itu sama dengan 29,98 persen dari total PDB yang berdasarkan data sementara sebesar Rp 14.735,85 triliun. Total utang pemerintah Rp 4.418,30 triliun ini terdiri atas pinjaman yang sebesar Rp 805,62 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah yang mencapai Rp 3.612,69 triliun.
Adapun rinciannya, dari pinjaman sebesar Rp 805,62 triliun terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 799,04 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 6,57 triliun. Pinjaman luar negeri sebesar 18,23 persen terdiri atas pinjaman bilateral Rp 330,95 triliun, pinjaman multilateral Rp 425,49 triliun, pinjaman komersial Rp 42,60 triliun, sedangkan suppliers nihil.
Sisanya, Rp 3.612, 69 triliun atau 81,77 persen berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN). Surat berharga negara tersebut dibagi menjadi dua yakni denominasi rupiah yang mencapai Rp 2.601,63 triliun dan denominasi valas yang mencapai Rp 1.011,05 triliun.
Risiko Pinjaman
Ekonom INDEF Bhima Yuhdistira Adhinegara menjelaskan warning yang diberikan IMF kepada negara lain termasuk Indonesia ada benarnya. Untuk di Indonesia fluktuasi nilai tukar rupiah akibat gejolak ekonomi dunia membuat risiko pinjaman dalam bentuk valuta asing meningkat.
Kemudian bunga acuan yang naik juga berimbas pada mahalnya bunga surat utang yang harus dibayar.
Lonjakan utang juga menciptakan fenomena crowding out effect atau perebutan likuiditas di pasar keuangan. Uang yang seharusnya masuk ke sektor swasta, lebih tertarik masuk ke Pemerintah.
"Dengan kondisi ini sebaiknya Pemerintah melakukan beberapa penyesuaian yaitu mengurangi ketergantungan pada penerbitan SBN valas, dan memperdalam pasar keuangan domestik dengan terbitkan lebih banyak obligasi ritel denominasi rupiah," kata Bhima.
Dia menyebutkan, pemerintah perlu melakukan rasionalisasi proyek-proyek pembangunan. "Pemerintah juga bisa menunda beberapa proyek infrastruktur yang dibiayai melalui utang valas termasuk utang BUMN," jelas dia. (kompas.com/kontan/tribun network)
Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Hutang Indonesia Sudah Capai Rp 5.000 Triliun, Akankah Tiru Malaysia Potong Gaji Para Pejabat Tinggi, https://kupang.tribunnews.com/2020/01/28/hutang-indonesia-sudah-capai-rp-5000-triliun-akankah-tiru-malaysia-potong-gaji-para-pejabat-tinggi?page=all.