Inspirasi
Kisah dari Taman Firdaus
Ketika Hawa melintasi sebatang pohon di tengah taman—yang disebut Pohon Pengetahuan Baik dan Buruk—seekor ular menyapanya.
Kisah dari Taman Firdaus
*Oleh Trias Kuncahyono
SORE itu, Hawa berjalan-jalan sendirian di Taman Firdaus, tidak seperti biasanya ke mana-mana selalu bersama Adam. Adam lebih memilih tinggal di rumah.
Ketika Hawa melintasi sebatang pohon di tengah taman—yang disebut Pohon Pengetahuan Baik dan Buruk—seekor ular menyapanya. Ular lalu menawarkan pada Hawa untuk memakan buah dari Pohon Pengetahuan Baik dan Buruk.
Hawa menolaknya. Ia ingat sabda Tuhan: Adam dan Hawa diberi kekuasaan penuh atas seluruh ciptaan yang ada di Taman Firdus kecuali satu yakni memakan buah dari Pohon Pengetahuan Baik dan Buruk.
Itulah pohon terlarang. Kalau mereka melanggarnya, maka mereka akan mati.
Namun, ular begitu lihai membujuk Hawa dan memberikan sebuah buah dari pohon terlarang. Hawa pun akhirnya tergoda. Ia memakan buah larangan itu, tidak mentaati larangan Tuhan. Ketika pulang, Hawa memberikan buah itu kepada Adam, yang juga langsung memakannya meski semula agak ragu.
Baca: Penampakan Ular Berkaki di Indragiri Hulu saat Karhutla, Seperti King Kobra Ukurannya Besar
Baca: Heboh Ular Piton Raja Hangus Terbakar, Besar Banget, Sempat Dikira Makhluk Astral, 5 Fakta-faktanya
Baca: VIDEO: Kemarin Anaconda, Kini Giliran Ular Berkaki yang Mati Akibat Kebakaran Hutan, Ular Langka?
Baca: BREAKING NEWS: Putra Meninggal Ternyata Korban Tabrak Lari, Kapolsek: Minibus Putih Kabur Arah Nipah
Mengetahui apa yang dilakukan Hawa, Tuhan pun murka dan menjatuhkan hukuman pada mereka. Sejak itu, kematian menjadi bagian dari kehidupan; binatang dan manusia sekarang akan mati. Itulah korupsi pertama manusia.
Mereka telah merusak, membusukkan dunia, mengotori dunia, mengingkari kesucian, dan merusak kehidupan manusia. Menurut asal muasalnya, kata “korupsi” berasal dari bahasa latin _corruptio_ (Fockema Andrae : 1951) atau _corruptus_ (Webster Student Dictionary : 1960).
Arti harfiah dari kata itu ialah : kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Bisa dikatakan, fenomena korupsi tidak dapat dipisahkan dari sejarah umat manusia. Meskipun tindakan Hawa (dan juga Adam) itu tidak memiliki konsekuensi ekonomis.
Itulah sebabnya, Kautilya (350-275 SM), Perdana Menteri Kaisar India Chandragupta, penguasa dari Dinasti Maurya mengatakan, sifat dasar manusia cenderung koruptif. Karena sejak awal mula manusia sudah koruptif. Korupsi itu merupakan psyche manusia. Pendapat Kautilya itu diungkapkan dalam bukunya yang berjudul _Arthashastra_.
Kata-kata bijak lama menyatakan, _corruptio est extraordinarium crimen_, korupsi adalah kejahatan luar biasa.
Hukuman terhadap koruptor pun sangat berat. Di Persia, Raja Persia Cambyses II (530-522 SM) putra Koresh II dari Dinasti Achaemenian, menghukum mati seorang hakim yang korup. Raja Darius Agung (550 — 486 SM) bahkan menjatuhkan hukuman mati dengan cara disalib terhadap seorang hakim yang ketahuan korup.
Di Yunani kuno untuk mengurangi ancaman korupsi, Plato mengusulkan hukuman mati bagi para pejabat atau pejabat tinggi yang menerima hadiah untuk melakukan tugas mereka. Di Cina pun demikian.