Berita Selebritis
Masalah Serius Anak Dian Sastrowardoyo Terdiagnosis Autisme, Gangguan Tak Biasa di Mata dan Telunjuk
Bukan hanya tidak dapat menggerakkan telunjuk, perempuan berusia 37 tahun itu juga menyadari ada hal lain dari diri anaknya yang juga berbeda
Masalah Serius Anak Dian Sastrowardoyo Terdiagnosis Autisme, Gangguan Tak Biasa di Mata dan Telunjuk
TRIBUNJAMBI.COM - Aktor senior Dian Sastrowardoyo (37) mendadak menjadi sorotan publik.
Baru-baru ini, Dian Sastrowardoyo memberikan pengakuan mengejutkan seputar anaknya.
Dian Sastrowardoyo mengungkapkan ke publik mengenai kondisi anak pertamanya yang terdiagnosis autisme.
Dian Sastrowardoyo dalam konfrensi pers Pameran Anak Spesial (SPEKIX) 2019 di Jakarta, Jumat menjelaskan kondisi sebenarnya anaknya yang masuk usia delapan bulan.
Pemeran Cinta dalam Ada Apa dengan Cinta itu menyadari ada hal yang berbeda pada diri putranya.
"Dia enggak punya ketertarikan sama anak-anak lain. Dia enggak bisa menggunakan telunjuk. Mau nunjukin dia tertarik, dia tarik tanganku," ujar Dian tentang putranya, Syailendra Naryama Sastraguna Sutowo.
Bukan hanya tidak dapat menggerakkan telunjuk, perempuan berusia 37 tahun itu juga menyadari ada hal lain dari diri anaknya yang juga berbeda dengan anak-anak lain, seperti sulit melakukan kontak mata (eye contact) ataupun gerakan mulut.
Baca: POPULER: Pengakuan Blak-blakan Anies Baswedan Soal FPI, dan Harapannya Untuk Habib Rizieq Shihab
Baca: POPULER: Tragis, Lettu Angga Meninggal Sehari Sebelum Ijab Kabul, Terjadi di Perlintasan Kereta
Baca: 5 Anggota KKB di Wamena Disebut Bergabung dengan Egianus: Terlibat Baku Tembak dengan TNI-Polri
Baca: Berteknologi Jepang, Samurai Paint Hasilkan Seprotan Cat Spiral dan Tahan Retak
"Dia jarang kontak mata. Aku pikir karena aku orangnya bonding. Sebagai orang tua, aku merindukan bonding. Ini enggak terjadi sama anakku sampai usianya empat tahun," kata Dian tentang upayanya untuk dekat dengan orang tua.
Dian semakin menyadari putranya berbeda dengan anak-anak lain ketika sang anak masuk pra-sekolah.
"Di kelas, anakku enggak tertarik ikut kegiatan yang diajarkan gurunya. Dia lain sendiri dan membuka pikiranku. Aku coba cari tahu yang lebih lanjut," ujar pemain film Pasir Berbisik bersama Christine Hakim itu.
Alumnus Fakultas Sastra dan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) itu lantas mengajak putranya itu ke tiga dokter untuk menjalani pemeriksaan demi mengetahui tanda-tanda autisme.
Dia juga membawa Syailendra ke para ahli untuk menjalani terapi, seperti okupasi, perilaku, dan bicara. Dia juga melatih anaknya melakukan kontak mata dan berkomunikasi.
"Aku membuka diri dan melatih anakku bisa melakukan eye contact. Kami sekeluarga sepakat tidak memberikan apapun sampai dia meminta sendiri. Aku melakukan seperti yang dilakukan saat terapi," katanya.
Saat berusia enam tahun, putra Dian Sastro tidak memerlukan terapi lagi.
Ketika masuk usia delapan tahun, Syailendra kemampuan sosialnya sudah meningkat.
Dian mengaku terbuka soal kondisi anaknya itu, meski demikian secara publik dia baru mengakuinya karena diminta untuk berbagi pengalaman.
"Aku mau kasih sharing positif kalau mau kasih pertolongan dia bisa mandiri secara sosial, akademis," kata Dian.
Orang tua perlu kenali gejala autisme anak sejak dini
Pakar Kesehatan Anak dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mei Neni Sitaresmi meminta para orang tua mulai mengenali gejala autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) pada anak sejak dini untuk meminimalisasi masalah yang timbul dan menyertai anak di masa mendatang.
"Tujuannya bukan membuat normal, bukan membuat sembuh tetapi bagaimana membuat anak (penyandang autisme) bisa hidup dengan kondisinya," kata Mei saat jumpa pers di Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis.
Menurut Mei, sebagian besar anak penyandang autisme pada dasarnya sudah menunjukkan gejala sejak dini sehingga bisa didiagnosis sebelum mereka berusia 2 tahun.
Namun demikian, ia menyayangkan sebagian besar anak autis didiagnosis setelah berusia 4 tahun.
Padahal, seharusnya semakin dini anak terdiagnosis ASD, semakin dini anak akan mendapatkan penanganan yang tepat sehingga memiliki peluang kehidupan yang lebih baik di masa depan.
"Masih cukup banyak orang tua yang tidak sadar bahwa anaknya autis. Makanya, kita bersama teman-teman semua akan terus mensosialisasikan ini karena kejadiannya jauh lebih banyak daripada penderita leukimia atau penyakit lainnya," kata dia.
Baca: Geger Babi Ngepet Curi Laptop, Helm dan Ponsel, Saat Diintai Ternyata Ini Sosok Pelakunya!
Baca: Cruiser Scooter Club Ikuti Turun di Dua Kategori Kontes Vespa Jambi Kudju
Kecenderungan angka kejadian ASD, kata dia, semakin meningkat secara global, termasuk di Indonesia.
Data Center for Desease Control and Prevention (CDC, 2018) menyebutkan bahwa prevalensi kejadian penderita autism meningkat dari satu per 150 populasi pada tahun 2000 menjadi sebesar 1 per 59 pada tahun 2014.
ASD lebih banyak menyerang anak laki-laki, dengan prevalensi 1:37, sedangkan pada anak perempuan 1: 151.
Merujuk pada data prevalensi tersebut, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sebesar 237,5 juta dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14 persen diperkirakan memiliki angka penderita autisme sebanyak 4 juta orang.
"Dulu diagnosis anak autisme hanya dianggap belum bisa bicara atau terkadang dianggap terkena penyakit jiwa," kata dia.
Penderita ASD, kata dia, kerap disertai dengan kondisi gangguan medis dan perilaku lainnya, yaitu disabilitas intektual (45-60 persen), kejang (11-39 persen), gangguan pencernaan (50 persen), gangguan tidur, gangguan sensori (hipersensori maupun hiposensori), gangguan pemusatan perhatian dan gangguan perilaku lainnya.
Oleh sebab itu, dengan mengetahui sejak dini maka orang-orang yang berada di sekitar anak penyandang autisme bisa memberikan perhatian dan dukungan secara khusus terhadap perilaku mereka.
Orang tua bisa mulai menuntun anak bagaimana cara berinteraksi, berkomunikasi, serta bagaimana menghadapi perilakunya karena terkadang anak penyandang autisme mengalami cemas atau tantrum.
"Anak autis kadang berperilaku aneh sehingga berpotensi di-'bully'. Banyak anak autis tidak bisa bersendau gurau, kita bermaksud bercanda tetapi dia serius," kata dia.
Peran faktor genetik, lanjut dia, ditunjukkan adanya peningkatan kejadian ASD pada anak laki-laki, anak kembar identik, maupun pada anak yang mengalami kelainan bawaan seperti sindroma Fragil X.
Faktor lain yang diduga memicu kejadian ASD adalah tuanya usia ibu waktu melahirkan, penyulit kehamilan dan persalinan (ibu hamil dengan DM, prematur, asfiksia, infeksi bayi) dan faktor lingkungan (racun) yang menyebabkan gangguan perkembangan otak.
Direktur The Autism Initiative at Mercyhurst University Prof Bradley McGarry mengatakan pada prinsipnya autisme bukan tidak bisa disembuhkan tetapi memang tidak perlu disembuhkan.
Baginya, autisme merupakan bagian kekhususan dari anak itu sendiri.
"Maka orang tuanyalah yang sesungguhnya perlu diterapi supaya menganggap anak ini punya sesuatu yang lebih dan perlu diutamakan," kata Garry.* (Antara)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive