Sebut 'Istana' dan 'Plonga-Plongo', Rocky Gerung Sindir PLN Gegara Mati Lampu di Jakarta
Listrik PLN yang padam di Jakarta, Jawa Barat dan Banten membuat sejumlah tokoh nasional berkomentar di media sosial terutama twitter.
Menurut Rocky Gerung, selama pembahasan di Indonesia Lawyers Club tersebut tak ada seorangpun yang menjawab telah keberadaan kelompok 212.
"Dari tadi gak ada yang jawab secara telak soal dimana posisi kelompok 212 karena memang sulit," tutur Rocky Gerung dilansir TribunJakarta.com pada Rabu (31/7/2019).
Bahkan, Rocky Gerung menilai perlu sosok Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menjawab mengenai keberadaan kelompok 212 diantara kubu Jokowi dan Prabowo.
"Saya kira perlu Donald Trump untuk menjawabnya. Kalau dia kesini sekalian tanya saja 'menurutnya kelompok 212 ke Gondangdia atau Teuku Umar?'," beber Rocky Gerung.
Lantas Rocky Gerung menjelaskan lebih lanjut mengenai analisisnya dengan mengibaratkan Donald Trump yang gagal datang ke Indonesia dan justru Habib Rizieq Shihab yang kembali.
"Andai Rizieq Shihab yang kembali dan makan bersama nasi padang dengan Sandiaga Uno. Pertanyaannya adalah kemana Gondangdia dan Teuku Umar?
Anything goes, itu yang disebut sebagai dinamika. Problem utama dari pembahasan ini ya hal tersebut dan perihal lainnya itu receh," jelas Rocky Gerung.
Rocky Gerung memaparkan, jika eksistensi kelompok 212 dipertanyakan hanya karena pertemuan antar tokoh politik maka seolah-olah 212 merupakan permainan kemarin sore.
"Saya menangkap ada roh jujur di kelompok tersebut lepas dari kontroversinya. 212 bukan permainan politik Prabowo dan memperoleh legitimasinya di Monas.
212 itu adalah tax social bangsa ini, hasil imajinasi bangsa ini dan kita harus menghormatinya," ucap Rocky Gerung.
Menurut Rocky Gerung, legitimasi kelompok 212 itu sebenarnya berada di sejarah konstitusi Indonesia.
"Namanya aja 212 padahal dulunya bernama Piagam Jakarta. Nah ngaconya adalah segala konsep bernegara itu lalu disederhanakan sebagai ancaman dan disebut istilahnya teroris. Presiden menyebutkan itu.
Untuk itu, saya ingin Presiden membaca tag social kita sebagai catatan historis agar tak menjadi kedunguan lokal dalam membaca politik. Kan itu yang membuat jengkel kita. Jadi kita diarahkan melihat 212 sebagai musuh negara," kata Rocky Gerung.
Rocky Gerung lantas mempertanyakan soal pernyataan Jokowi 'kami memerlukan oposisi' itu berarti memerlukan dikritik atau untuk masuk ke dalam kelompok tersebut.
Joko Widodo dan Prabowo Subianto. (Kolase TribunJakarta.com)
"Kenapa diskusi mengenai tema ini terus berlanjut di masyarakat? Karena enggak ada imajinasi sosial yang diucapkan presiden, selain cebong dan kampret yang udah selesai.