Bakal Gantikan Ganjar Pranowo, Gibran Disebut Bakal Jadi Calon Kuat Gubernur Jawa Tengah

Direktur eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari mengatakan kalau anak sulung Presiden Jokowi Gibran Rakabuming bisa berpeluang mengikuti jejak ayah

Editor: andika arnoldy
kompas.com
Gibran dan Kaesang 

Dari kategori akseptabilitas, Achmad Purnomo menempati peringkat tertinggi dengan persentase 83 persen, diikuti Gibran Rakabuming dengan persentase 61 persen, dan Teguh dengan 49 persen.

Baca: Nunung Resmi Diganti, Artis Cantik Ini Bergabung dengan Sule dan Andre dalam Acara Ini Talkshow

Baca: Kabar Syahrini Hamil Terjawab Sudah, Aisyahrani Angkat Bicara: Semoga Baby Jepang Sunda Segera Hadir

Dari segi elektabilitas, Achmad Purnomo juga masih menempati urutan pertama dengan angka 38 persen, diikuti Gibran dengan 13 persen, dan Teguh Prakosa dengan angka 11 persen.

Menanggapi soal kemunculan namanya di bursa calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming pun menanggapinya dengan santai.

Dalam tayangan progam Kompas Pagi di Kompas TV, Gibran pun mengucapkan terima kasih kepada warga Kota Solo yang telah memilihnya dalam survei.

"Baru kemarin saya baca surveynya. Saya mengapresiasi, terima kasih kepada warga Solo yang sudah memberi penialaian yang positif untuk saya," ucapnya.

Ia menjelaskan, pada intinya keluarganya tak memaksakan untuk Gibran Rakabuming terjun ke dunia politik.

Namun, ia juga tak menampik bila nantinya ada kemungkinan untuk menjadi politisi, akan ia jalani dengan sungguh-sungguh.

"Pada intinya keluarga saya, bapak ibu sangat demokratis, dan dari dulu prinsip saya harus mandiri. Jadi pengusaha pun saya jadi pengusaha yang mandiri. Kalau pun nanti jadi politisi, harus jadi politisi yang mandiri. Pokoknya bapak gak pernah memaksa ataupun gak pernah mengarahkan. Semuanya bebas," ucap Gibran.

Sementara, Peneliti Senior LIPI, Siti Zuhro mengatakan untuk pemilihan kepala daerah tidak bisa hanya mengandalkan popularitas belaka.

Selain itu, ia juga mengkritisi bila anak Jokowi benar-benar maju di Pilkada, berpotensi menimbulkan anggapan akan dibentuknya dinasti politik.

"Itu yang termasuk sangat dikedepankan waktu pembahasan revisi UU Pilkada. Saat itu diperdebatkan karena pada dasarnya usulan dari pemerintah bagaimana memberikan pembatasan, kalau katakan lah sudah 2 periode berarti kepala daerah yang bersangkutan tidak bisa maju lagi. Tolong jangan mengajukan istri, anaknya, suaminya, kakaknya, sepupunya dan seterusnya jadi membangun pohon kekerabatan atau dinasti politik. Itu yang tidak bagus," ucapnya dalam tayangan Sapa Indonesia Malam di Kompas TV.

Bila terjadi hal demikian, lanjutnya, demokrasi Indonesia akan menjadi paradoks, dari yang esensinya memberikan peluang yang sama kepada warga negara tanpa membedakan latar belakang keluarga.

"Dengan kasus yang seperti ini, bukan kasus yang pertama kali, tapi utuk rekrutmen pimpinan daerah itu bukan sekedar popularitas, karena yang diperlukan kualitas," ucapnya. (*)

Artikel ini telah tayang di tribunnewsbogor.com

Sumber: Tribun Bogor
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved