Berita Jambi
Hari Pertama Sekolah Anak-anak Orang Rimba Suku Pedalaman di Jambi, Bepanau Sebut Ingin Jadi Dokter
Hari pertama sekolah menjadi pengalaman tak terlupakan bagi sejumlah anak rimba di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi
Penulis: Dedy Nurdin | Editor: bandot
Hari Pertama Sekolah Anak-anak Orang Rimba, Suku Pedalaman di Jambi, Bepanau Gadis Cilik yang Ingin Jadi Dokter
TRIBUNJAMBI.COM - Tak hanya anak-anak di kota, Hari pertama masuk sekolah, Senin (15/7/2019) juga dirasakan oleh anak-anak di daerah pedalaman.
Satu diantaranya yakni anak-anak Orang Rimba yang notabene merupakan satu diantara suku yang masih hidup secara tradisional di hutan-hutan yang ada di Provinsi Jambi.
Hari pertama sekolah barangkali menjadi pengalaman tak terlupakan bagi sejumlah anak rimba di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.
Pagi sekitar pukul 05.00 WIB, suasana masih gelap, delapan anak Orang Rimba dari kelompok Tumenggung Grip mulai berebutan jadwal mandi.
Di tengah keriuhan itu, Yohana, sibuk mempersiapakan sarapan.
Telur dadar gulung menjadi menu pagi itu.
Yohana Pamella Berlianan Marpaung adalah fasilitator pendidikan Warsi.
Baru sekitar pukul 06.30 WIB Yohana mengantar mereka ke sekolah.
Baca: Niat Kelabuhi Razia Satpol PP Begini Nasib Luna Waria Pasar Jambi yang Kenakan Kerudung Saat Mangkal
Baca: Kerenina Sunny Halim Pernah Ditendang dari Girls Squad, Kakak Steve Emmanuel Punya Alasan Kuat
Baca: Keluarga Syok Lihat Perubahan Gaya Hidup Rey Utami Usai Dinikahi Pablo, Sepupunya Sampai Bilang Ini
Kehebohan itu hanya sebagian cerita dari pengalaman Yohana yang ia bagikan kepada Tribun lewat sambungan telepon.
Ada delapan anak dari kelompok Tumenggung Grip yang kemarin memulai pendidikan di SD 191 Air Panas Kecamatan Air Hitam, Sarolangun.
Dari delapan, dua orang di antaranya yakni Besimbur (9) dan Nyeser (8) baru menginjak kelas 1.
Sementara enam lainnya Besati (14) kelas 5, Ceriap (13) kelas 5, Bekaram (11) kelas 4, Bepuncak (10) kelas 3, Bepanau (10) kelas 2 dan Pengarang Gading (9) juga kelas 2.
Mereka lebih dahulu mengenal baca tulis lewat pendidikan sekolah alam di bawah kelapa sawit di sekitar pemukiman warga desa.

"Mereka sebagian masih tinggal di dalam rimba tepatnya di Sako Slensing Taman Nasional Bukit Duabelas, ada juga yang orangtuanya sudah bermukim di perumahan Sosial Bukit Suban," kata Yohana.
Namun dari delapan anak yang mulai masuk bangku sekolah, Bepanau mungkin sulit mendapat izin dari orangtuanya mengikuti pendidikan.
Ia merupakan satu-satunya perempuan yang ikut bersekolah bersama tujuh temannya.
Bepanau langsung masuk kelas dua dengan pertimbangan ia sebelumnya sudah aktif mengikuti sekolah alam dan sudah mengenal baca dan tulis.
Namun karena ia anak perempuan, ia sempat kesulitan mendapat akses untuk ikut sekolah.
"Tahun lalu sudah didaftarkan tapi karena orangtuanya tidak setuju karena dia anak perempuan akhirnya batal, tahun ini baru diperbolehkan," cerita Yohana.
Untuk mendapatkan izin, Yohana harus berulangkali menemui orangtua Bepanau.
Kata dia, Bepanau bercita-cita untuk menjadi dokter agar bisa mengobati anggota kelompok Orang Rimba yang mengalami gangguan kesehatan.
"Setelah diberi pemahaman akhirnya dia dapat izin dari orang tuanya, Bepanau satu-satunya perempuan yang masuk sekolah kali ini," ujarnya.
Baca: Ali Mochtar Ngabalin Menangis dan Memohon Agar Kader Muda PKS & Partai Gerindra Bergabung Ke Jokowi
Baca: Bikin Ngakak, Remaja Ini Berpose Depan Mobil Mewah, Setelah Itu Langsung Kena Akibatnya dari Pemilik
Baca: Komedian Ini Habiskan Sisa Hidup Hanya Makan Garam, Kisahnya Menyayat Hati hingga Dirinya Meninggal
Kendala lain yang juga sering dihadapi anak-anak orang rimba untuk menempuh pendidikan di sekolah adalah aktivitas melangun.
Bahkan seorang anak Orang Rimba baru-baru ini memutuskan berhenti dari sekolah karena mengikuti orangtuanya melangun.
Melangun merupakan kebiasaan berpindah-pindah tempat atau pergi jauh bagi masyarakat Suku Anak Dalam/Orang Rimba/Suku Kubu, Jambi.
Melangun biasanya dilakukan saat ada satu diantara anggota keluarga atau kelompok tersebut meninggal dunia, atau sakit.
"Untuk memudahkan mobilisasi ke sekolah, anak-anak ini sementara tinggal di kantor lapangan Warsi," kata Yohana.
Belum Punya NIS
Walaupun sudah bersekolah, delapan anak Orang Rimba itu belum memiliki Nomor Induk Siswa (NIS).
Orangtua mereka belum memiliki KK.
Kalaupun ada, kata Yohana, data di KK berbeda.
“Misalnya jenis kelamin laki-laki dibuat perempuan. Ada yang umurnya lebih tua dari orangtuanya,” kata dia.
Yohana merupakan penyandang gelar Master of Arts (M.A.) dari Ilmu Antropologi Budaya Universitas Gajah Mada.

Selain aktif mempersiapkan keperluan sekolah anak-anak Orang Rimba, ia dipercaya sebagai wali murid.
“Kami rombongan ke pasar, belanja seragam sekolah, merah putih dan pramuka, beli sepatu, ikat pinggang hingga topi dan dasi,” kata perempuan 26 tahun ini.
Yohana juga mengajak anak didiknya untuk mampir ke tukang cukur sehingga mereka bisa tampil rapi.
Ia ingin agar anak didiknya ini bisa tampil percaya diri dan bergaul dengan anak-anak dari desa.
Baginya pendidikan anak-anak Orang Rimba adalah hal penting yang mesti diperjuangkan.
“Semoga anak-anak rimba bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan bisa menjadi bagian anak-anak yang akan memberi warna untuk Indonesia ke depan,” ujarnya.
Selain di Air Hitam, ada empat anak Orang Rimba dari kelompok Sikap di Batin VIII dan di Pelakar Jaya. Yakni Riana, Meti, Juliyana dan Aladin.
Anak-anak rimba ini didaftarkan masuk ke sekolah di SD 256/VI Pematang Kancil II Desa Pelakar Jaya Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin.
Bagi anak rimba di kelompok ini relatif sudah hidup menetap dan mulai berbaur dengan warga lainnya.
“Namun persiapan kami tadi pagi untuk berangkat sekolah lumayan heboh, tapi yang penting anak-anak tetap semangat sekolah,” kata Astrid Manurung pendamping Orang Rimba dari KKI Warsi.
"Kalau untuk di sini mereka sudah bisa diterima dan lebih bisa berbaur karna sudah mengikiti pendidikan baca tulis dan hitung," pungkasnya. (Tribunjambi.com/Dedy Nurdin)