Siapa Sebenarnya Ayah dari Ibu Ani Yudhoyono? Ternyata Seorang Kopassus, Kecewa dengan Soeharto

Ani Yudhoyono, istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono saat ini tengah berjuang keras melawan kanker darah

Penulis: Leonardus Yoga Wijanarko | Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
istimiwa handout Tribunjambi/wikipedia
Sarwo Edhie Wibowo 

Siapa Sebenarnya Ayah dari Ibu Ani Yudhoyono? Ternyata Seorang Kopassus, Kecewa dengan Soeharto

TRIBUNJAMBI.COM - Ani Yudhoyono, istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono saat ini tengah berjuang keras melawan kanker darah, tapi tahukah anda ayah dari Ibu Ani Yudhoyono merupakan seorang Kopassus?

Ani Yudhoyono sudah sekitar 4 bulan ini menjalani perawatan di National University Hospital, Singapura.

Sempat dikabarkan membaik pada pertengahan Mei 2019 lalu, kondisi Ani Yudhoyono saat ini mengalami penurunan.

Kabar terbaru mengenai kondisi Ani Yudhoyono datang dari elit Demokrat.

Baca: Menteri Jonan Diperiksa KPK 6 Jam, Terkait Kasus Proyek Rp 12,8 Triliun

Baca: Pengakuan Sandiaga Uno Bakal Jadi Pengangguran, Setelah Tidak Lagi Melanjutkan Karir Politik

Baca: Mahfud MD Sebut Tiga Tokoh Lain Lagi yang Diduga Jadi Target Pembunuhan di Balik Aksi 22 Mei

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Rachland Nashidik mengabarkan kondisi terkini ibunda dari Agus Harimurti Yudhoyono itu.

Rachland Nashidik menyebut kondisi Ani Yudhoyono pagi ini kembali menurun, Sabtu (1/6/2019).

Hal itu diungkapkannya lewat akun Twitter pribadinya, @RachlanNashidik pagi tadi.

Ia membagikan video yang berisi foto-foto Ani Yudhoyono bersama keluarga serta kerabat.

Lewat keterangan, Rachland memohon doa untuk kesembuhan Ani Yudhoyono.

"Indonesia, kami mohon doa. Keadaan Ibu Ani Yudhoyono kembali memburuk," tulisnya.

Ani Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)
Ani Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) (Instagram Agus Yudhoyono)

Sederet doa untuk kesehatan Ani Yudhoyono pun membanjiri postingan Rachland.

"Semoga ibu Ani diberikan kesembuhan, diangkat segala penyakit nya dan kembali berkumpul dengan keluarga.. Amiin ya Allah.." tulis @mintypetite.

"Semoga bu Ani segera sembuh, dan dosa2nya digugurkan lewat penyakitnya. Aaamiiin," tulis @@ElangIslamy.

"Berdoalah dgn kebaikan kebaikan yg kita perbuat.. meskipun segala kebaikan hanyalah karena kebaikan Nya. Insya Allah ibu ani bisa cepat sembuh dan diberikan kesehatan kembali..amiin." tulis @MhdHida70558206.

"Syafakillah, la'a ba'sa thohuruun insyaALLOH. Semoga ALLOH Ta'ala menyembuhkannya," tulis @@PutraRanggalaw7.

"Semoga Bu ANi segera sembuh... Ya Allah angkatlah penyakit Bu Ani... Engkau maha penyembuh ya Allah," tulis @pw_iin.

Lalu Siapa sebenarnya ayah dari Ibu Ani Yudhoyono?

Dilansir dari WIkipedia, Sarwo Edhie Wibowo (lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1925 – meninggal di Jakarta, 9 November 1989pada umur 64 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia.

Baca: Luna Maya Sampai Nangis, Akui Salah, Kesandung Masalah Film Aladdin dan Terancam Denda 2 Miliar

Baca: Sandiaga Uno Beberkan Poin Perdebatan BPN Soal Gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi Hingga Alot

Ia adalah ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara Republik Indonesia, yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.

Ia juga ayah dari mantan KSAD, Pramono Edhie Wibowo. Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini).

Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.

Sarwo Edhie lahir di Purworejo, Jawa Tengah berasal dari keluarga PNS bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai seorang anak, ia belajar silat sebagai bentuk pertahanan diri.

Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap Tentara Jepang dan kemenangan mereka melawan Pasukan Sekutu yang ditempatkan di Pasifik dan Asia.

Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air(PETA), yang merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia.

Sarwo Edhie kecewa karena tugas-tugasnya selama periode ini sebagian besar hanya memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang.

Soeharto dan Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo
Soeharto dan Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo ()

Ketika dia berlatih, Sarwo Edhie harus menggunakan senjata kayu.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesiapada tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan BKR, sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal ABRI (Tentara Nasional Indonesia saat ini) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.

Teman satu kampung halamannya, Ahmad Yani yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalion di Magelang, Jawa Tengah.

Karier Sarwo Edhie di ABRI, dia pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953), Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962-1964), dan Komandan RPKAD (1964-1967).

RPKAD adalah usaha Indonesia untuk menciptakan sebuah unit pasukan khusus (yang kemudian akan menjadi Kopassus) dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai komandan unit elit ini berkat Ahmad Yani.

Pada tahun 1964, Yani telah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.

Operasi pembersihan PKI saat itu berlanjut ke Jawa Tengah dan Jawa Timur karena perlawanan masih ada.

Bahkan, Komandan Korem 072 Yogyakarta Kolonel Katamso dan Kepala Staf Letkol Sugiono menjadi korban penculikan kelompok perlawanan yang ternyata juga beranggotakan tentara.

Baca: Beredar Kabar Ibu Ani Yudhoyono Wafat, Wasekjen Demokrat Bersuara, Seluruh Keluarga Besar Berkumpul

Baca: Heboh, Desain Masjid Ridwan Kamil Disebut Terpapar Iluminati, Apa Itu Iluminati? Ini Kata RK

Pertempuran tak terhindarkan. Bukan hanya melawan tentara pembelot, tetapi juga masyarakat sipil bersenjata, bahkan Gerwani yang melawan dengan penghinaan.

Tanpa ragu-ragu Sarwo Edhie menindak, bahkan dengan jalan kekerasan.

Korban berjatuhan tak terhindarkan. Juga di Bali dan Sumatera Utara.

Petaka terjadi karena kematian tidak hanya karena pertempuran. Tapi banyak juga karena dibunuh setelah penangkapan.

Terdengar berita-berita sadistis semacam penyembelihan, pembunuhan massal, hingga penghanyutan mayat di sungai.

Dunia internasional menyoroti. Pemerintah lantas membentuk Komisi Pencari Fakta (FFC – Fact Finding Commission) agar jumiah korban bisa diketahui lebih pasti.

Dalam rapat pleno terakhir, Komisi yang diketuai Menteri Dalam Negeri merangkap Gubemur Djakarta Raja Mayjen dr. Soemarno itu menyepakati jumlah korban yang ditinjau di daerah sekitar Medan, sebagian Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Bali, pendeknya belum seluruh Indonesia, selama kurun waktu Desember 1965 sampai 2 januari 1966 sudah berjumlah 80.000 orang.

"Apa yang terjadi sesudahnya tidak diketahui setelah aksi pembunuhan ternyata berlangsung terus, malahan semakin meningkat," kenang Oei Tjoe Tat, Menteri Negara yang juga anggota FFC.

Sesudah semua anggota membubuhkan tanda tangan, Oei bertanya kepada Jenderal (Pol.) Soetjipto Joedodihardjo, Panglima Angkatan Kepolisian, "Apa benar angka korban hanya 80.000 yang tewas?"

Soetjipto menjawab, "Sudah pasti lebih banyak, tapi apa gunanya dibuat ramai-ramai?"

Dari anggota lain, Menteri Penerangan Mayjen Achmadi, Oei mendapat jawaban, "Jumlahnya ya, ada kalau sepuluh kali lipat."

"Kamu kok bersedia tanda tangan angka 80.000?" Oei mendesak.

“Yo wis ben (yah, biarkan saja)."

Setelah dr. Soemarno menyerahkan laporan kepada Presiden Soekarno, 2 Januari 1966, Presiden memanggil Oei secara pribadi. "Jumlah sebenarnya berapa?"

"Berdasarkan pengalaman mengikuti FFC, jumlah korban sekitar lima sampai enam kali lipat, jadi lebih kurang angkanya 500.000 atau 600.000," jawab Oei.

Sementara itu, Rum Aly, Redaktur Mingguan Mahasiswa Indonesia, dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 melukiskan,

"Perkiraan moderat, memang menyebut angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain antara satu juta sampai dua juta jiwa. Tetapi, Sarwo Edhie, yang berada di lapangan pascaperistiwa, suatu ketika pernah menyebut angka tiga juta jiwa. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo EdhieWibowo bahkan tak pernah meralat angka itu."

Baca: Perut Buncit Syahrini Jadi Perhatian, Kelihatan Pas Nyender, Gampang Lelah Sampai Digendong Reino

Baca: Siapakah Mayjen (Purn) Soenarko? Sampai Dibela Mantan Kasum TNI: Sadis Dibilang Makar Hanya Karena

Menurut Rum Aly, Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan mengenai pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 maupun masa-masa sesudahnya, termasuk tentang malapetaka sosiologis tersebut.

Sarwo Edhie Wibowo pimpin RPKAD tumpas PKI
Sarwo Edhie Wibowo pimpin RPKAD tumpas PKI ()

Mungkin saja ada angka-angka signifikan dalam catatannya.

Namun sayang, catatan Sarwo Edhie hilang di tangan orang, justru dalam rangka untuk menerbitkannya.

Mengingat, integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan yang hilang tersebut pasti berisikan hal-hal yang sangat berharga dan relatif tidak mengandung unsur-unsur pemalsuan sejarah.

Atau, naskah catatan itu hilang karena justru bersih dari pemalsuan sejarah?

Hilangnya catatan Sarwo Edhie melengkapi hilangnya naskah asli Surat Perintah 11 Maret, juga telah dihilangkannya surat pengakuan Aidit, yang ditulis hanya sehari sebelum menjalani eksekusi.

Sabtu sore, 12 Maret 1966:

Satu kompi pasukan RPKAD menyerbu sebuah rumah di Jalan Madiun, Menteng, Jakarta Pusat.

Tembak-menembak terjadi ketika para penjaga keamanan berpakaian sipil mencoba melawan.

Sesudah pertempuran, 21 penjaga keamanan dan karyawan gedung tanpa papan nama tersebut dapat diringkus.

Sejumlah dokumen dan senjata yang disita menunjukkan bangunan tersebut markas Badan Pusat Intelijen (BPI) yang diketuai Soebandrio.

Senin pagi, 14 Maret 1966:

Para mahasiswa melakukan pawai berkabung keliling Jakarta, berangkat dari halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jln. Salemba Raya, Jakarta Pusat.

Biro penerangan KAMI mengumumkan, tujuh rekan mereka di tiga kota gugur selama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.

Arief Rahman Hakim mahasiswa di Jakarta, Djubaedah dan Moh. Syafei pelajar di Jakarta, Hassanudin dan Syarief Akadir mahasiswa di Makassar, Margono dan Arief Winangun pelajar di Yogyakarta.

Senin malam, 14 Maret 1966:

Jakarta dalam suasana mencekam. Tapi kesibukan justru terjadi di markas pasukan empat angkatan.

Di Tjidjantung pasukan RPKAD, di Tjilandak pasukan KKO-AL, demikian pula Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AU di Tjililitan.

Mereka menerima kabar bahwa pasukan Brimob Kepolisian disiagakan.

Ketegangan baru berakhir Selasa dini hari setelah Jenderal Nasution, yang tak lagi punya jabatan setelah disingkirkan Presiden Sukarno dari jabatan Menteri Keamanan Nasional, memanggil panglima angkatan ke rumahnya.

"Ketegangan dipicu oleh informasi yang menyesatkan dari Waperdam Soebandrio bahwa RPKAD akan menyerbu Halim, seperti kejadian awal Oktober tahun lalu."

Selasa siang, 15 Maret 1966:

Dalam rapat raksasa gemuruh di Taman Suropati, Jakarta Pusat, Zamroni, anggota Presidium KAMI Pusat menantang Bung Karno,

"Kalau benar aksi-aksi mahasiswa selama ini dibiayai CIA, gantung saya di depan umum." Zamroni memberikan bantahan setelah dari Istana muncul tuduhan, Dinas Rahasia AS CIA pernah mengirim dana AS$ 50.000 untuk membiayai aksi penggulingan Presiden Sukarno.

Info itu sekian tahun kemudian, sesudah dokumen-dokumen CIA dibuka, ternyata memang benar terjadi. CIA pernah menyerahkan dana tersebut lewat Adam Malik.

Baca: Modus Bantu Cari Jodoh, Petani Perkosa 2 Putri Kandung dan Paksa Minum Pil KB Pakai Pisang!

Baca: Jelang Lebaran 2019, Asus Zenfone Ada Potongan Harga Besar-besaran, Simak Harga Terbaru!

Rabu siang, 16 Maret 1966:

Mahasiswa dan pelajar kembali membanjiri Gedung DPR Gotong Rojong, menyampaikan daftar anggota Kabinet yang haus di-retool karena dituduh sebagai pendukung gelap PKI.

Mereka adalah Soebandrio, Johannes Leimena, Chaerul Saleh, Astrawinata, Jusuf Muda Dalam, Surjadi, Sutomo Martopratomo, Suhadi Reksowardojo, Armunanto, Setiadi, Surachman, Achadi, Prijono, Soemmardjo, Sadjaro, Mayjen dr. Soemamo, Mayjen Achmadi, Laksamana Oemar Dhani, Kurwet Kartadiredja, Ali Sastroamidjojo, Sudibjo, Oei Tjoe Tat, Gusti Subamia, dan Asmara Hadi.

Rabu malam, 16 Maret:

Siaran warta berita RRI Pusat dimulai dengan pengumuman dari Istana Merdeka. Waperdam III Chaerul Saleh membacakan pengumuman Presiden No. 1/Pres/66 yang menyatakan penyesalan sebesar-besarnya karena masih ada sikap dan usaha dari sebagian anggota masyarakat untuk memaksakan kehendak.

Terlebih-lebih dilakukan secara ultimatif kepada Presiden dan para menteri yang sedang bertugas membantu Kepala Negara.

Kamis pagi, 17 Maret:

Pengumuman Presiden Rabu malam dijawab massa dengan menyerbu ke berbagai departemen yang menterinya harus diretool. Soegiarso Soerojo melukiskan,

"Para menteri yang masih di kamar kerjanya langsung diminta segera meninggalkan tempat. Kalau menolak akan ramai-ramai dibopong keluar dan diamankan di Markas Komando Kostrad."

Kamis malam, 17 Maret:

Jakarta menjadi kota mati. Jalan-jalan lengang, hanya disibukkan oleh lalu-lalang kendaraan militer. Warta berita pukul 19.00 WIB yang biasanya dipancarkan ke seluruh RRI daerah mendadak menghilang.

Sepanjang malam, siaran RRI Pusat hanya berisi lagu-lagu perjuangan yang diputar berulang-ulang. Semua perjalanan kereta api dan pesawat terbang dibatalkan oleh pasukan Kostrad.

Jumat pagi, 18 Maret:

Panglima Angkatan Darat selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret, Letnan Jenderal Soeharto, lewat Stasiun RRI Pusat membaca pengumuman Nomor 5,

"... atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, telah mengambil tindakan pengamanan terhadap 15 menteri karena ada indikasi, mereka tersangkut dalam petualangan G30S/PKI atau setidak-tidaknya diragukan itikad baiknya ketika menjalankan tugas."

Untuk pertama kalinya, pemakaian istilah G30S dikaitkan dengan PKI.

Tugas menangkap Soebandrio, yang sejak Peristiwa G30S meletus tinggal di Istana, ditangani sendiri oleh Panglima Kodam V Djaja. Amirmachmud menghadap Bung Karno dan melapor bahwa dirinya ditugaskan untuk mengamankan Soebandrio.

"Terserah," jawab Bung Karno singkat.

"Siap, kerjakan," kata Amirmachmud sambil menghormat.

Beberapa saat setelah Soebandrio dinaikkan ke atas jip, Bung Karno mendekat, merangkul Amirmachmud sambil berbisik,

"Mir, jangan kau bunuh ya ...."

"Siap Pak. Saya jamin tidak terjadi. Orde Baru kami tidak akan meniru praktik-praktik Lubang Buaya." (*) 

Baca: Sepotong Timun di Organ Intim Jadi Petunjuk Kematian Pembantu Rumah Tangga Diduga Dianiaya Majikan

Baca: Ibu Muda Siram Air Panas ke Tubuh Anak Angkat Menangis Saat Diciduk Polisi, Ngaku Mabuk dan Emosi!

Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Membongkar Catatan Sarwo Edi pada Malapetaka 30 September 1965, Korban Berjatuhan Hingga di Bali, http://bali.tribunnews.com/2018/09/28/membongkar-catatan-sarwo-edi-pada-malapetaka-30-september-1965-korban-berjatuhan-hingga-di-bali?page=all.

Editor: Ady Sucipto

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved