Siapakah Muzakir Manaf? Pengusul Aceh Gelar Referendum, Ternyata Tak Sendiri, Dulu Panglima GAM
Pernyataan apa Karya dan Mualem jangan saling bertolak belakang mengenai masalah referendum. Jangan membuat kalangan bawah resah
Penulis: Nani Rachmaini | Editor: Nani Rachmaini
Peneliti Wain, Muhammad Ridwansyah dalam hal ini hanya menanggapi ancaman referendum yang dikemukan oleh Azhari Cagee.
Ia menuding, bahwa Azhari Cagee saat melontarkan isu tersebut tidak melakukan riset komprehensif sebelum bicara.
“Terutama terkait keadaan sosial ekonomi masyarakat. Itu hanya dongeng pengantar tidur,” kata Ridwansyah.
Pihaknya meminta para pihak untuk fokus pada hak dan kewenangan yang sekarang sudah ada.
Terlebih itu diungkapkan oleh anggota dewan terhormat yang padanya melekat kewenangan tersebut.
“Atau jangan-jangan isu ini sengaja dilempar sebagai bentuk buang badan dan lepas tanggung jawab? Saya pikir rakyat Aceh sudah sangat cerdas hingga tahu mana yang perjuangan dan mana yang pembodohan,” pungkasnya.

Sementara terkait usulan Referendum dari YARA, tanggapan datang dari Aliansi Masyarakat Sipil dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi di Aceh.
Menurut juru bicara aliansi, Muhammad Khaidir SH, usulan referendum terkait pencabutan dua pasal UUPA adalah suatu cara yang tidak tepat, karena, masih ada peluang untuk berdialog.
“Jika dialog gagal, tidak tertutup kemungkinan kami juga akan bergabung dan menyuarakan referendum di Aceh. Semua jalur akan dibuka untuk mempertahankan otonomi di Aceh,” pungkasnya.
Khaidir yang juga Direktur PAKAR Aceh ini juga menyayangkan sikap Pemerintah Aceh yang terkesan tidak peduli dengan polemik UUPA.
Pemerintah Aceh seharusnya merespons, karena UUPA adalah kepentingan seluruh masyarakat Aceh.
“Kenapa Pemerintah Aceh tidak ikut serta dengan elemen sipil untuk terus menyuarakan kepentingan rakyat? Kami sangat sayangkan sikap Pemerintah Aceh, terkesan UUPA adalah kepentingan kelompok,” ujarnya.
Pihaknya menyarankan Pemerintah Aceh melakukan dialog dengan pusat untuk menyelesaikan polemik UUPA yang dicabut akibat lahirnya UU Pemilu. Duduk bersama lebih bermartabat untuk menyelesaikan permasalahan saat ini.
Dia katakan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat mempunyai tanggung jawab besar dalam menyelesaikan masalah ini. “Karena keberlanjutan perdamaian Aceh harus ditempatkan di atas kepentingan politik, itu yang paling penting,” tandas Khaidir.
DPRA akan menggandeng ahli hukum tata negara, Prof Yusril Ihza Mahendra, sebagai saksi ahli pihak DPRA dalam gugatan UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, sidang gugatan perkara nomor 66/UU-XV/2017 sedang bergulir di MK.