Sejarah Indonesia
Keseharian Soeharto yang Tak Diketahui Orang Setelah Terjungkal Dari Kekuasaan Menurut Pengawal
Mei 1998 huru-hara terjadi di Jakarta, Ibu kota Indonesia ini mencekam dengan aksi demonstrasi dan penjarahan
Keseharian Soeharto Setelah Terjungkal Dari Kekuasaan Menurut Kesaksian Pengawal
TRIBUNJAMBI.COM - Mei 1998 huru-hara terjadi di Jakarta, Ibu kota Indonesia ini mencekam dengan aksi demonstrasi dan penjarahan.
Pusat-pusat perbelanjaan dijarah dan dibakar, demonstrasi menuntut Soeharto turun terjadi.
Di gedung DPR/MPR mahasiswa melakukan aksi menduduki Senayan mendesak Soeharto untuk segera turun tahta.
Selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden, Soeharto berulang kali mengalami unjuk rasa menentang dirinya, namun baru pada Mei 1998 dirinya seperti kehabisan cara untuk bisa meredamnya.
Krisis ekonomi parah yang terjadi pada periode tersebut membuat rakyat bergerak menuntut Soeharto mundur.
Pasalnya satu diantara penyebab parahnya krisis ekonomi di Indonesia yakni kebijakan perekonomian pemerintah Soeharto yang rapuh karena tudingan sarat dengan KKN.
Dan puncaknya pada 23 Mei 1998 Soeharto akhirnya memutuskan untuk lengser.
Baca: Pos Polisi di Perumahan Elite Solo Terbakar, Jaraknya 2,7 Km dari Rumah Presiden Jokowi
Baca: Daftar Tokoh di Tim Hukum Jokowi-Maruf Vs Prabowo-Sandiaga Sidang PHPU di Mahkamah Konstitusi
Baca: Siap-siap! Bakal Ada CPNS 2019 untuk Pusat dan Daerah, Dibuka 100 Ribu Lowongan
Setelah "lengser", tak banyak yang mengetahui kehidupan kesehariannya.
Soeharto dilengserkan melalui gerakan mahasiswa pada 1998, setelah 32 tahun berkuasa.
Peristiwa itu puncaknya pada 23 Mei 1998, setelah desakan mahasiswa dari penjuru Tanah Air.
Meski lengser, Soeharto masih mendapat pengawalan khusus dari militer.

Cerita sosok 'The Smiling General', sebutan orang Barat untuk presiden ke-2 RI itu karena raut mukanya yang selalu tersenyum, disampaikan oleh Maliki Mift.
Maliki Mift menyimpan kenangan berarti selama mendampingi Soeharto, setelah lengser pada 1998.
Dia diperintahkan Kepala Staf Angkatan Darat kala itu menjadi pengawal khusus Soeharto.
Kesan tersebut ditulisnya dalam salah satu bab di buku berjudul Soeharto: The Untold Stories (2011).
Pak Harto, begitu Maliki menyebut Soeharto, kerap mendapat pandangan miring selama memimpin Indonesia.
Namun, dia mendapati sisi lain Soeharto yang jarang terekspose, yakni kesederhanaan.
Satu di antaranya soal pengawalan.
Soeharto sangat anti dikawal setelah tak lagi menjadi presiden.
Padahal, hak mendapat pengawalan dari polisi masih melekat kepada mantan presiden.
"Tetapi, begitu satgas polisi datang dan mengawal di depan mobil kami, Pak Harto mengatakan, 'Saya tidak usah dikawal. Saya sekarang masyarakat biasa. Jadi, kasih tahu polisinya'," tulis Maliki dalam buku tersebut, menirukan ucapan Soeharto waktu itu.

Maliki mencoba memahami keinginan Soeharto, tetapi ia tetap merasa pengawalan sangat penting.
Dia memutar otak mencari cara agar Soeharto tetap dikawal, tetapi tanpa terlihat.
Akhirnya, Maliki meminta polisi mengawal di belakang saja, bukan di depan untuk membuka jalan.
Jika jalanan macet, barulah petugas pengawal maju ke depan.
"Namun, tetap saja Pak Harto mengetahui siasat itu. Beliau pun bertanya, 'Itu polisi kenapa ikut di belakang? Tidak usah'," kata Maliki.
Hari berikutnya, ide baru melintas di benak Maliki.
Ia meminta pihak kepolisian agar tidak lagi mengawal mobil Soeharto.
Sebagai gantinya, ia akan berkoordinasi dengan petugas lewat radio.
Baca: Sindiran Tompi ke Amien Rais Tanpa Tedeng Aling-aling, Kebanyakan hoaks nih Pak Amien Rais
Baca: Download lagu MP3 Religi Saat Ramadan, Ada Album Video Maher Zain, Opick dan Haddad Alwi
Baca: Sandro Tewas Tertembak di Jakarta, Warga Merangin Jambi Korban Kerusuhan 22 Mei
Jadi, setiap kali mobil Soeharto melewati lampu lalu lintas, petugas harus memastikan lampu hijau menyala.
Kalau lampunya merah, harus berubah menjadi hijau.
Akhirnya, hari itu, Soeharto berangkat tanpa pengawalan polisi.
Setiap kali melewati lampu lalu lintas di persimpangan, lampu hijau selalu menyala agar mobilnya tidak berhenti menunggu rambu berganti.
Namun, lagi-lagi Soeharto mengendus keanehan.
Ia mempertanyakan mengapa setiap persimpangan yang ia lewati tidak pernah ada lampu merah.
Ia pun menegur Maliki agar jangan memberi tahu polisi untuk mengatur lalu lintas.
"Sudah, saya rakyat biasa. Kalau lampu merah, ya, biar merah saja," ujar Pak Harto sebagaimana ditulis Maliki.
Maliki, saat itu, hanya terdiam dengan perasaan malu.
Kesederhanaan Soeharto, menurut Maliki, juga terlihat dari cara berpakaian.

Sewaktu awal-awal menjadi pengawal khusus Soeharto, Maliki berpikir bahwa ia harus punya baju bagus untuk mendampingi Soeharto, paling tidak batik berbahan sutra.
Di hari pertama bertugas, Maliki mengenakan pakaian terbaiknya untuk mendampingi Soeharto keluar rumah.
Namun, apa yang dikenakan Soeharto sama sekali berbeda dengan bayangannya.
Soeharto hanya mengenakan baju batik sederhana yang biasa dia pakai sehari-hari di rumah.
"Diam-diam saya langsung balik ke kamar ajudan untuk mengganti batik sutra yang saya kenakan dengan batik yang sederhana pula," kata Maliki.
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul "Cerita Paspampres Soeharto dan Lampu Hijau yang Tak Pernah 'Merah'"