Pemilu 2019
6 Pasal yang Membuat Dokter Ani Hasibuan Dipanggil Diperiksa Polisi, Ancaman Hukuman 10 Tahun
Ani adalah pendukung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono memberikan penjelasan terkait beredarnya surat panggilan polisi tersebut.
Argu Yuwono membenarkan surat panggilan S.Pgl/1158/V/RES.2.5/2019/Dit Reskrimsus dan surat penyidikan bernomor SP.DIK/391/V/RES.2.5/2019/Dit Reskrimsus tanggal 15 Mei 2019 tersebut.
"Iya betul," ujar Argo Yuwono.
Dia juga membenarkan bahwa surat panggilan yang beredar di media sosial adalah benar dari penyidik Polda Metro Jaya.
BACA
Polly Alexandria Tak Pernah Pulang Sejak 2018 Bagaimana Nasib Pernikahan Dengan Nur Khamid?
Masih Ingat Shandy Aulia Mantan Roger Danuarta? Terungkap Kondisinya Setelah 8 Tahun Menikah
Seusai Eks Ariel NOAH Lakukan Ini, Akhirnya Gisella Anastasia Restui Hubungan Gading Marten & Sophia
Novel Bamukmin Beberkan Tujuan Gerakan Kedaulatan Rakyat Prabowo: Berbagai macam cara kita tempuh!
Ani Hasibuan diminta menghadap penyidik pada hari Jumat (17/5/2019) sekitar pukul 10:00 WIB.
Seperti diketahui, Ani Hasibuan adalah dokter yang telah melaporkan adanya kejanggalan kematian penyelenggara Pemilu 2019 ke pimpinan DPR.
Ani Hasibuan juga telah 'membongkar' ke publik melalui televisi dan media massa lainnya sejumlah kejanggalan dalam kematian 500an penyelenggara Pemilu 2019.
Analisis Ani Hasibuan
Analisis Ani Hasibuan
Dokter Spesialis Syaraf, Ani Hasibuan tak sepakat apabila kematian 554 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) disebut karena kelelahan.
Dokter Ani Hasibuan lantas mengkritisi beban kerja petugas KPPS di Pemilu 2019.
Pernyataan dokter Ani Hasibuan rupanya memancing emosi Politikus PDI Perjuangan, Adian Napitupulu.
Adian Napitupulu kemudian menyemprot dokter Ani Hasibuan.
Kejadian tersebut terjadi saat dokter Ani Hasibuan dan Adian Napitupulu menjadi narasumber di acara Catatat Demokrasi Kita TV One, pada Selasa (7/5/2019).
Awalnya dokter Ani Hasibuan tampak memberikan analisanya terkait dengan beban kerja dari petugas KPPS.
Menurutnya, beban kerja yang diemban petugas KPPS tidak memiliki kelebihan yang berarti.
"Saya melihat beban kerjanya KPPS. Itu beban kerjanya saya lihat tidak ada fisik yang sangat capek. Kan dia bergantian ada 7 orang. Ada aturan boleh bergantian," ungkap dokter Ani Hasibuan dikutip TribunJakarta.com dari YouTube TV One, pada Rabu (8/5/2019.
Karenanya, jika ada pernyataan yang menyebut bahwa ratusan petugas KPPS meninggal karena kelelahan menurut Ani Hasibuan adalah tidak tepat.
"Jadi kematian karena kelelahan saya belum pernah ketemu. Saya ini sudah 22 tahun jadi dokter belum pernah saya ketemu adalah penyebab kematian karena kelelahan," imbuh dokter Ani Hasibuan.
Namun, berbeda kasusnya ketika ada seseorang yang memiliki riwayat penyakit kronis lalu meninggal akibat kelelahan.
Sebab menurutnya, kelelahan itu bisa memicu penyakit kronisnya itu muncul.
"Kalau dia ada gangguan jantung di awal, oke. Kemudian fisiknya diforsir kemudian sakit jantungnya terpicu dia meninggal, karena jantungnya dong bukan karena kelelahan," kata Ani Hasibuan.
Lebih lanjut, Ani Hasibuan pun mengungkap analisa selanjutnya berkenaan dengan penyebab kematian seseorang.
Lantas dengan tegas, dokter Ani Hasibuan menyebut bahwa kelelahan sejatinya tidak bisa secara langsung membuat seseorang meninggal.
"(Beban kerja, kondisi fisik bisa jadi pemicu meninggal ?) pemicu kalau dia punya penyakit. Misalnya ada orang dengan tumor otak, tapi beban kerjanya besar, mikir, psikis yaudah ada masalah di neurotransmitir. Bukan karena capeknya,"
"(Kelelahan bisa membuat orang meninggal ?) Tidak," pungkas Ani Hasibuan.
Tak hanya itu, Ani Hasibuan pun meminta kepada KPU agar mengusut dengan jeli penyebab kematian ratusan petugas KPPS tersebut.
Bahkan, Ani Hasibuan menyarankan untuk melakukan otopsi kepada jasad dari petugas KPPS yang meninggal dunia tersebut.
"Tiba-tiba KPU jadi dokter forensik, menyebutkan COD (Cause of death) kelelahan. Mana buktinya ? pemeriksaannya ? Yang saya minta ayo dong diperiksa. Saya enggak ada urusan soal politik. KPU harus tanggung jawab. Urus nih kenapa yang 500 orang meninggal ? Saya minta ini diotopsi," sambungnya.
Komentar Fahri Hamzah
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah memberikan komentar atas Ani Hasibuan dipanggil polisi khusus Polda Metro Jaya tersebut.
Melalui akun twitternya, Fahri Hamzah mengatakan, daripada polisi memanggil Ani Hasibuan dengan tuduhan ujaran kebencian, mending polisi memeriksa Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Seperti diketahui, IDI sebelumnya membuat pernyataan bahwa kematian ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bukanlah karena kelelahan.
"Halo pak @jokowi kenapa akademisi dilarang bicara ilmunya? Itu bukan kebencian tauk! Ampun deh.!!" tulis Fahri Hamzah di akun twitternya, Kamis (16/5/2019) dini hari.
@Fahrihamzah: Retweeted MERDEKA: Kepada yth: @DivHumas_Polri daripada memeriksa dokter ahli saraf Ani Hasibuan dengan tuduhan ujaran kebencian, mendingan periksa IDI yg sdh bikin pernyataan ini.
Halo pak @jokowi kenapa akademisi dilarang bicara ilmunya? Itu bukan kebencian tauk! Ampun deh.!!
@Fahrihamzah: Kalau dokter gak boleh analisa kematian, maka nanti arsitek gak boleh bicara bangunan, ulama gak boleh ngomong agama, politisi gak boleh bicara politik, lawyer gak bOleh bicara hukum, ekonom gak boleh bicara ekonomi karena SEMUA KENA DELIK UJARAN KEBENCIAN. Cc: @KomnasHAM
@Fahrihamzah: Kenapa aparat ikut memanaskan suasana ya? Kenapa gak mendukung pencarian fakta untuk menjawab kegelisahan publik ya? Loh yg nanya ini kan majikan..jawab dong...bukan malah majikan ditangkap dan diancam... aneh bin ajaib....! Cc; @KomnasHAM @jokowi
Pasal-pasal Disangkakan
Polisi memanggil Ani Hasibuan setelah mendapat laporan dari Carolus Andre Yulika pada 12 Mei 2019 bernomor LP/2929/V/2019/Dit.Reskrimsus.
Dirkrimsus Polda Metro Jaya kemudian mengeluarkan surat penyidikan Nomor SP.DIK/391/V/RES.2.5/2019/Dit Reskrimsus tanggal 15 Mei 2019.
Artinya, surat penyidikan hanya berselang 2 hari setelah ada laporan langsung dikeluarkan oleh pejabat Polda Metro Jaya.
Dalam surat itu disebutkan nama lengkap Ani Hasibuan sebagai Robiah Khairani Hasibuan.
Ani Hasibuan diminta menghadap polisi di Polda Metro Jaya pada Jumat (17/5/2019) sekitar pukul 10:00 WIB untuk menemui Kasubdit III Sumdaling AKBP Ganis Setyaningrum.
Ani Hasibuan tersangkut perkara tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA.
Tuduhan lain adalah menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemmberitahuan itu adalah bohong.
Tuduhan lainnya adalah menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patur dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.
Informasi yang disampaikan Ani Hasibuan tersebut dimuat di portal berita thanshnews.com pada 12 Mei 2019.
Pasal-pasal Disangkakan Kepada Ani Hasibuan setidaknya ada lima.
Perbuatannya dinilai bertentangan dengan pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 35 Jo Pasal 45 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No 11 tahun 2008 tentang ITE.
Pasal lainnya yang diduga dilanggar adalah Pasal 14 dan/atau Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo Pasal 55 ayat (1) Jo Pasal 56 KUHP yang terjadi pada 12 Mei 2019 di Jakarta.
Komentar IDI
Ketua Dewan Penasehat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia ( IDI) Prijo Sidipratomo mengatakan, publik dapat melaporkan Dokter Ani Hasibuan ke pihaknya apabila pernyataan dia dinilai membuat publik menjadi ragu terhadap sebuah proses medis.
“Kalau ada sesuatu yang tidak pas menurut masyarakat, masyarakat boleh melaporkan kepada MKEK. Apakah yang menjadi ucapan, tindakan, melanggar atau tidak,” ujar Prijo saat dijumpai di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (15/5/2019).
“Itu nanti MKEK akan melakukan klarifikasi untuk hal itu dengan memanggil yang bersangkutan, bertanya kepada yang bersangkutan. Kami punya SOP-nya untuk itu,” lanjut dia seperti ditulis di Kompas.com.
Prijo menjelaskan, dalam kode etik kedokteran, terdapat empat kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang dokter, yakni kewajiban terhadap umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap rekan sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri.
MKEK hanya berwenang soal tiga kewajiban terakhir.
Sementara, untuk kewajiban pertama, publik lah yang dinilai memiliki wewenang melaporkan.
“Kalau urusan tiga tadi, enggak usah dilapori, kita bisa ambil. Tapi kalau yang terhadap umum tadi, misalnya dia beriklan, misalnya dia mengeluarkan statement, misalnya dia ngomong sesuatu ke publik tentang sesuatu yang mestinya enggak disampaikan ke publik, itu ranahnya publik. Publik bisa melaporkan itu,” ujar Prijo.
Saat ditanya, perilaku apa yang dapat dijadikan bahan laporan publik ke MKEK IDI, Prijo merujuk pada kode etik kedokteran Indonesia bagian pertama.
Terdapat 13 pasal kode etik yang mengatur mengenai hubungan seorang dokter dengan khalayak.
Jika masyarakat merasa ada seorang dokter yang diduga melanggar salah satu pasal tersebut, maka layak untuk dilaporkan ke MKEK IDI.
“Masyarakat buka saja http://www.mkekpbidi.org/ buka tentang kode etik kedokteran, bisa dibaca di situ. Publik tinggal urut saja, ada pasal-pasal kode etik kedokteran dan yang awal adalah ranah umum. Ada enggak dia melanggar itu,” ujar Prijo.
“Kalau itu memang diindikasikan dia melanggar, laporkan saja. Kami bisa melakukan klarifikasi kepada yang bersangkutan. Tapi enggak mungkin kita sendiri ambil alih. Karena itu ranah publik,” lanjut dia.
Saat ditanya pendapat mengenai pernyataan Ani Hasibuan, Prijo menolak berkomentar.
Prijo memilih mengurusi itu sesuai mekanisme di IDI apabila ada laporan yang masuk.
Kontroversi Ani Hasibuan
Siapa dr Ani Hasibuan?
Diketahui, Ani adalah dokter ahli syaraf.
Pernyataannya mengenai banyak petugas Kelompok Panitia Pemunggutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2019 di salah satu televisi swasta, beberapa waktu lalu, memicu kontroversi publik, khususnya di media sosial.
Dikutip www.tribunnews.com, Ani awalnya mempertanyakan mengapa banyak petugas KPPS yang meninggal dunia di sela kerja.
“Saya sebagai dokter dari awal sudah merasa lucu, gitu. Ini bencana pembantaian atau pemilu? Kok banyak amat yang meninggal. Pemilu kan happy-happy mau dapat pemimpin baru kah atau bagaimana? Nyatanya (banyak yang) meninggal,” ujar Ani.
Kemudian, Ani menyanggah pernyataan pihak KPU yang menyebutkan bahwa kasus meninggalnya petugas KPPS disebabkan kelelahan bekerja.
“Kalau kita bicara fisiologi, kelelahan itu kan kaitannya dengan fisik. Kalau orang beraktivitas, dia pakai gula metabolisme. Kalau habis capek. Dia hipoglekimia dia lapar. Kalau enggak oksigennya dipakai dia ngantuk. Jadi orang capek itu, dia ngantuk, dia lapar. Kalau dipaksa, dia pingsan, enggak mati dong,” ujar Ani.
Ani juga berpendapat, beban kerja petugas KPPS pada Pemilu 2019 ini tidak terlalu berat.
Ia membandingkannya dengan dokter yang sedang mengambil spesialis.
“Saya melihat beban kerjanya. Ada di laporan kerja saya. Itu beban kerjanya saya tidak melihat ada fisik yang capek. Yang saya tahu, dokter yang ambil spesialis itu capek kerja tiga hari tiga malam tidak ada yang mati. Yang ada itu malah tambah gendut,” kata Ani.
Ani menambahkan, kemungkinan penyebab kematian adalah penyakit yang sudah diderita petugas KPPS. Ia mencontohkan seseorang yang terkena tumor otak.
Apabila penderita tidak dibebani kerja otak yang besar, maka ia akan baik-baik saja. Namun, apabila beban kerjanya besar, tumor itu disebutnya akan “bertingkah” sehingga dapat menyebabkan penderita meninggal dunia.
“Jadi, bukan karena capeknya,” ujar Ani.
Subscribe Youtube Tribun Jambi
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Ani Hasibuan Dokter Bongkar Kematian Anggota KPPS Diancam Hukuman 10 Tahun Hari Ini Dipanggil Polisi