Masa-masa Kritis Kerajaan Majapahit Terungkap Setelah Ratusan Tahun, Sebelum Runtuh oleh Serangan
Penyebab runtuhnya Kerajaan Majapahit masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, karena ada beberapa versi. Benarkah itu karena serangan Kerajaan Demak
Ini benih konflik sangat berat yang akan berlanjut turun-temurun, membuat Majapahit kian lemah dan tercerai-berai.
Ahli sejarah Hasan Djafar dalam buku “Masa Akhir Majapahit (Komunitas Bambu, 2012)”, mencatat Prasasti Pamintihan bertarikh 1395 Saka (1473 M), menyebut Bhre Pandanalas atau Dyah Suraprabhawa, yang saat itu memerintah Majapahit dari Tumapel, disingkirkan.
Bhre Krtabhumi merebut kekuasaan dari tangan Suraprabhawa pada tahun 1390 Saka (1468 M).
Prasasti-prasasti Girindrawarddhana dari bertarikh 1408 Saka, menyebut upacara sradha memperingati 12 tahun wafatnya Paduka Bhatara ring Dahanapura.
Tokoh ini diidentifikasi sebagai Bhre Pandanalas alias Suraphrabawa.
Dihitung mundur, Bhre Pandanalas ini meninggal pada tahun 1396 Saka setelah tersingkir dari Kedaton Tumapel dan tinggal di Daha.
Setelah meninggal, ia digantikan putranya, Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya.
Benih permusuhan berlanjut ke anak keturunan Majapahit. Ranawijaya menyusun kekuatan dan berusaha merebut Majapahit dari tangan Krtabhumi.
Ambisi itu terwujud tahun 1400 Saka (1478 Masehi).

Krtabhumi ditumpas di kedatonnya, dan Ranawijaya mempersatukan kembali sisa-sisa Majapahit yang nyaris berantakan oleh konflik keluarga.
Kemunculan nama Girindrawarddhana ini sangat menarik karena terkesan memunculkan klan baru di luar garis keturunan Sri Ranggah Rajasa atau Ken Arok (Singasari) sebagai titik awal dinasti Rajasa.
Hasan Djafar menyebut ada dua nama pengguna Girindrawarddhana yang dikenal dalam sejumlah prasasti. Yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawiijaya dan Girindrawarddhana Sri Singhawardana atau Dyah Wijayakusuma.
Keduanya memiliki hubungan darah sangat dekat. Hasan Djafar meyakini mereka kakak beradik yang pernah berkuasa di Klin (Keling).
Identifikasi itu berdasar sejumlah prasasti batu yang ditemukan di berbagai lokasi di sekitar Daha, Kadiri, dan Trowulan.
Babad Tanah Jawi sulit dijadikan rujukan karena genealogis raja-raja Majapahit ditulis sebagai percampuran data historis dan mitos.
Sebagian bahkan mencampuradukkan genealogi dari panteon Hindhu dan Islam.