Diduga Kelelahan Seorang Pengawas TPS di Jember Keguguran, Alami Pendarahan Sejak Hitung Suara

Seorang pengawas TPS di Desa Sruni, Kecamatan Jenggawah, Jember, Dewi Lutfiatun, mengalami keguguran janin saat proses pengawasan Pemilu 2019

Editor:
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) melakukan penghitungan surat suara Pilkada DKI Jakarta di TPS 27 Kebagusan, Jakarta, Rabu (15/2/2017). Warga yang mempunyai hak pilih melakukan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, yang diikuti tiga calon yaitu Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNJAMBI.COM - Seorang Pengawas TPS di Desa Sruni, Kecamatan Jenggawah, Jember, Dewi Lutfiatun, mengalami keguguran janin saat proses pengawasan Pemilu 2019, Kamis (18/4/2019).

Dewi merupakan Pengawas TPS 10 Desa Sruni yang diduga kelelahan hingga mengalami keguguran saat janin berusia tiga minggu.

Anggota Bawaslu Jember, Devi Aulia R, menuturkan Pengawas TPS itu mengalami pendarahan sedikit (flek) sejak penghitungan suara Pemilu 2019 Rabu (17/4/2019) tengah malam.

"Jam 12 malam itu sudah ada flek. Paginya periksa ke klinik dan masih pendarahan. Positif tiga minggu," kata Devi kepada Surya, Senin (22/4/2019).

Dokter akhirnya menyatakan Dewi Lutfiatun mengalami keguguran dan harus mendapatkan penanganan medis. Janin Dewi merupakan anak kedua.

Dewi adalah satu dari lima pengawas Pemilu di Jember yang kondisinya drop dalam proses Pemilu 2019.

Kelima orang pengawas itu terdiri atas dua orang pengawas TPS di Kecamatan Jenggawah, satu orang pengawas tingkat kelurahan di Kecamatan Kaliwates, satu orang staf Panwas Kecamatan Arjasa, dan satu orang anggota Panwas Kecamatan Wuluhan.

Keseluruhan pengawas itu di bawah koordinasi Bawaslu Jember.

"Ada yang opname, satu keguguran itu, ada yang harus diinfus di rumah, juga ada yang mendapatkan suntikan dari dokter tiap 12 jam," imbuh Devi.

Kelima orang pengawas Pemilu yang ambruk di Jember itu menambah daftar panjang petugas penyelenggara Pemilu yang sakit selama pelaksanaan Pemilu 2019.

Ambruknya mereka rata-rata terjadi usai pencoblosan pada 17 April lalu.

Baca: Serahkan Bantuan Bedah Rumah, Bupati Masnah Imbau ASN Tingkatkan Zakat Demi Bantu Warga Miskin

Baca: FOTO Hansip Cantik Amankan TPS Saat Pilpres 2019 di Tulungagung, Buat Hati Pria Meleleh

Baca: SHOTEL Sebilah Pedang Mematikan, Senjata Afrika Kuno Dipercaya Juga Bisa Pikat Hati Wanita

Komisioner Komisi Pemilihan Umum ( KPU) DKI Jakarta Nurdin menyebutkan sejumlah faktor yang membuat banyak kelompok penyelenggara pemungutan suara ( KPPS) yang sakit hingga meninggal selama penyelenggaraan pemilu dan pilpres 2019.

Faktor pertama adalah lantaran pemilu dan pilpres pada tahun ini digelar secara serentak untuk memilih presiden, DPR, DPRD, dan DPD.

Hal ini berpengaruh pada tenaga, waktu, hingga pikiran serta beban pada petugas.

"Kemudian secara enggak langsung tingkat pekerjaan kemudian pikiran, tenaga juga harus ekstra. Di samping itu memang anggaran sama saja artinya yang diperoleh teman-teman. Walaupun pekerjaan banyak dananya sama saja (seperti pemilu sebelumnya)," kata dia saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (20/4/2019).

Baca: Miris, Kakek 86 Tahun Tinggal di Semak-semak, Penghasilan Rp 2.000, Kalau Malam Ini yang Terjadi

Baca: BRT Kota Jambi Ditargetkan Beroperasi Juli Nanti, Target Ada 100 Bus

Baca: Jeritan Juriah Jadi TKW Ilegal, Ditempeleng Agen Sampai Diperjualbelikan Layaknya Dagangan

Nurdin mengungkapkan, dengan anggaran yang sama seperti pemilu sebelumnya namun dengan pekerjaan yang lebih banyak membuat sebagian petugas memutuskan untuk mundur.

Faktor lainnya adalah dengan adanya pemilihn serentak membuat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) kerepotan mengurus logistik yang sangat banyak.

"Apalagi mereka ini orang yang kita rekrut bekrja selama pemilu saja. Sehingga dia awalnya belum paham sistemnya learning by doing terus ditambah lagi ada pembatasan periodesasi PPK, PPS, dan KPPS. Sehingga yang sudah berkali-kali ikut pemilu harus kita stop dengan adanya regulasi itu," ujarnya.

Menurutnya para petugas akhirnya kaget karena tekanan yang datang semakin tinggi terutama tekanan dari para pemilih.

"Santai taunya gedebak gedebuk belum lagi pressure dari masyarakat," tutur Nurdin.

Ia mengungkapkan, petugas KPPS, PPK, dan PPS mempunyai masa kontrak kerja selama satu bulan dari 20 Maret - 20 April 2019. Mereka melakukan beberapa pekerjaan seperti melakukan pendistribusian C6, menyiapkan TPS minimal H-1, mempersiapkan sampai hari H, membuka TPS pada pukul 07.00 hingga 13.00, lalu melalukan penghitungan suara selambat-lambatnya selama 24 jam.

"Kemarin ada yang menghitung dari jam 1 sampai jam 8 pagi baru diantarkan kotaknya.

Kondisi ini walaupun tidak bisa dijadikan alasan utama tapi namanya tenaga manusia pikiran pasti ada errornya," tutupnya.

Sebelumnya, Nurdin mengatakan, pihaknya menerima sejumlah laporan terkait anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang sakit hingga meninggal selama penyelenggaraan pemilu dan Pilpres 2019.

Ia menyebut, ada satu anggota KPPS yang meninggal pada malam sebelum pemilu karena kelelahan.

"Kalau sakit banyak. Kalau meninggal ada 1 orang itu yang malam sebelum pemilu dia meninggal. Di TPS di Jakbar karena kecapekan," ucap Nurdin.

Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Diduga Kelelahan Kawal Proses Pemilu 2019, Seorang Pengawas TPS di Jember Alami Keguguran, http://surabaya.tribunnews.com/2019/04/22/diduga-kelelahan-kawal-proses-pemilu-2019-seorang-pengawas-tps-di-jember-alami-keguguran.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved