AKSI Senyap Tim Biru, Tim Merah, Tim Hijau Kopassus 'Operasi Woyla', Drama 65 Jam Dibajak Teroris
TRIBUNJAMBI.COM- Sabtu pagi pada tanggal 28 Maret 1981, pesawat DC-9 Garuda Indonesia Woyla GA 206 yang
TRIBUNJAMBI.COM- Sabtu pagi pada tanggal 28 Maret 1981, pesawat DC-9 Garuda Indonesia Woyla GA 206 yang terbang dari bandara sipil Talang Betutu, Palembang, menuju Bandara Polonia, Medan, dibajak oleh lima orang bersenjata api.
Pesawat yang dipiloti Kapten Herman Rante diperintahkan oleh pembajak yang menodongkan senjata di kepalanya agar mendarat ke Kolombo, Sri Lanka.
Namun Kapten Herman menolak karena tidak cukup bahan bakar. Pesawat kemudian dialihkan ke Penang, Malaysia, guna pengisian bahan bakar sebelum kemudian dipaksa terbang ke Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand.
Para teroris yang mengaku berasal dari kelompok Islam ekstremis Komando Jihad kemudian membacakan tuntutan mereka, yakni agar pemerintah Indonesia membebaskan anggota Komando Jihad yang ditahan dan meminta uang tebusan sejumlah US$ 1,5 juta.
Mereka mengancam telah memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan-segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut.
Presiden Soeharto tegas menyatakan tidak mau bernegosiasi dengan pembajak. Bagaimana mungkin sebuah negara yang berdaulat penuh bersedia bernegosiasi dengan penjahat? Selengkapnya.
Pada pukul 21.00, 29 Maret, 35 anggota Grup-1 Para-Kopassandha (sekarang Kopassus) dibawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan meninggalkan Indonesia dalam pesawat DC-10, mengenakan pakaian sipil.
Operasi kontra terorisme pembebasan pesawat DC-9 yang dikenal dengan sebutan Operasi Woyla dimulai.
Pukul 02.30, 31 Maret, Kopassandha bersenjata mendekati pesawat secara diam-diam. Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping.
Semua jendela pesawat telah ditutup. Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang. Semua tim akan masuk ketika kode diberikan.
Pada pukul 02.43, Tim Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos.
Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk, dengan Tim Hijau terlebih dahulu, mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga di pintu belakang.
Teroris tersebut menembak dan menewaskan Achmad Kirang, salah seorang anggota Tim Hijau di bagian bawah perut yang tidak terlindungi.
Teroris tersebut kemudian ditembak dan tewas di tempat. Tim Biru dan Tim Merah masuk, menembak dua teroris lain, sementara penumpang menunduk. Para penumpang kemudian disuruh keluar.
Seorang teroris dengan granat tangan tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak. Lalu anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar. Teroris terakhir dinetralisir di luar pesawat.
Teroris juga menembak pilot pesawat, Kapten Herman Rante, yang tewas beberapa hari kemudian di RS Bangkok.
Sedangkan pemimpin kelompok Islam ekstremis Komando Jihad, Imran bin Muhammad Zein yang selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut berhasil ditangkap oleh Satuan Para Komando Kopassandha.
Imran selaku otak peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Imran merupakan salah seorang yang terlibat dalam Peristiwa Cicendo bersama 13 orang lainnya.
Operasi kontra terorisme pembebasan sandera yang hanya 81 detik itu sukses besar. Operasi inilah yang menempatkan Kopassus sebagai pasukan elite terkuat ketiga dunia setelah SAS (Inggris) dan Mossad (Israel).
Sewaktu Indonesia memutuskan untuk melakukan operasi militer di Thailand, Kerajaan Thailand sebagai tuan rumah awalnya menolak militer asing beroperasi di wilayah kedaulatan negara mereka, karena itu melanggar UU dalam negeri mereka.
Tapi dua jenderal yang memimpin operasi ini, yakni Jenderal LB Moerdani (Wakil Kepala BAKIN saat itu) dan Jenderal Yoga Sugama ngotot.
Kabarnya sampe gebrak-gebrakan meja dengan jenderal Thailand. Akhirnya Thailand mau mengizinkan operasi prajurit Kopassandha itu dengan syarat pasukan Thailand ikut serta sebagai pasukan penjaga perimeter bandara.
Mengenai Jenderal LB Moerdani, setelah mendapat perintah langsung dari Presiden Soeharto setelah meyakinkan presiden bahwa para pembajak seharusnya tidak diperbolehkan untuk mengintimidasi pilot pesawat untuk terbang ke negara-negara lain, berangkat bersama prajurit Kopassandha ke Don Mueang.
Jenderal yang kontroversional ini langsung turun sendiri menyamar sebagai staf catering diutus oleh pemerintah Thailand untuk mengantar makanan bagi para teroris dan penumpang.
Dengan hanya berbekal nyali dan Bahasa Thai yang pas-pasan ditambah Bahasa Inggris yang sengaja dibuat terbata-bata, sang jenderal mengantarkan ransum makanan ke dalam pesawat.
Kalau saja pembajak tahu bahwa si pengantar makanan ini adalah seorang jenderal yang akan menumpas aksi mereka, tentu .....dooor! Tamat lah nyawanya.
Dengan masuk ke pesawat Moerdani bisa mengidentifikasikan secara akurat dimana para posisi teroris berada dan dimana para sandera berada.
Akhirnya setelah semuanya dapat terbaca dengan jelas, dan dengan posisi masih berada di dalam pesawat, sang jenderal memberikan komando rahasia kepada pasukan Para-Komando Kopassandha (Kopassus) yang sudah mengepung pesawat di luar.
Dan ketika melakukan pendobrakan, pasukan sudah tahu dengan pasti kemana arah senapan akan ditembakkan.
PESAN SINTONG PANJAITAN:
Dalam briefing terakhir kepada Capa Kirang, Sintong memerintahkan, "Kirang, setelah ketiga pintu terbuka, kamu masuk terakhir. Kalau pembajak ke situ, kamu ndak usah tergesa-gesa."
Menurut evaluasi Sintong, Kirang terlalu cepat berlari menaiki tangga. Hal itu disebabkan sifat prajurit Komando yang penuh pengalaman tempur itu, sangat agresif.
Ketika masuk, Kirang langsung berhadapan dengan pembajak yang berada di belakang dengan sikap siap menembak.
Firasat gugurnya Achmad Kirang sudah dirasakan rekannya.
Mereka menceritakan Ahmad Kirang sempat menukar rompi antipeluru dengan yang lebih pendek, karena merasa tidak nyaman.
Barangkali, memang sudah menjadi takdirnya gugur di medan laga menjalankan tugas.
Nama Achmad Kirang menjadi pahlawan bagi Kopassus.
Di kampung halamannya, di jantung Kota Mamuju, Sulbar, dibuat Monumen Ahmad Kirang. Ahmad Kirang merupakan prajurit TNI kelahiran Mamuju, kebanggaan Sulbar.
Nama Ahcmad Kirang juga diabadikan menjadi lapangan tempat latihan Sat-81 Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur.
Kronologi proses pembebeasan
Pada 29 Maret, 35 anggota Kopassandha meninggalkan Indonesia menggunakan pesawat DC-10 yang disewa. Tujuan mereka ke Bandara Don Muag di Thailand.
Pasukan itu mengemban misi khusus untuk melumpuhkan para teroris yang menyandera 36 penumpang pesawat DC-9 Woyla.
Para anggota pasukan elite TNI ini hanya mengenakan pakaian sipil.
Tujuan penggunaan pesawat DC-10 karena terdapat kemungkinan bahwa pelaku akan menerbangkan pesawat tersebut sampai ke Libya.
Sampai di Thailand persiapan dilakukan.
Latihan terakhir telah usai.
Ketua tim Operasi Letkol Sintong Panjaitan sempat "menipu" anak buahnya sebelum operasi digelar.
Berpura-pura operasi gagal, Sintong meminta semua anak buahnya tidur.
Ini semata-mata dilakukannya agar anak buahnya cukup istirahat dan segar saat melakukan operasi berbahaya ini.
Dan waktunya tiba. Pada tengah malam, 31 Maret sekira pukul 02.30, seluruh pasukan dibangunkan.
Prajurit bersenjata itu mendekati pesawat.
Berpakaian loreng dan mengenakan baret merah kebanggaan Kopassus, mereka telah siap tempur.
Sebagian pasukan menyandang senapan serbu H&K MP5 SD-2 kaliber 9 Mm. Para tentara Kopassus ini siap menyergap teroris.
Pelaku penyanderaan telah teridentifikasi, ada enam orang.
Belakangan, identitas mereka diketahui. Yaitu Abdullah Mulyono, Wendy Mohammad Zein, Zulfikar, Mahrizal dan Abu Sofyan. Kelimanya tewas ditembak mati saat operasi.
Tim telah dibagi. Ada tim merah, tim biru dan tim hijau.
Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping.
Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang.
Semua tim akan masuk ketika kode diberikan.
Pada pukul 02.43, tim Komando Angkatan Udara Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos.
Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk, dengan Tim Hijau
Mahrizal menembak dan mengenai Achmad Kirang, seorang anggota Tim Hijau.
Sepertinya, Mahrizal merupakan teroris yang paling keras memberikan perlawanan. Selain menembak Achmad Kirang. Tembakan Mahrizal juga mengenai rekan Ahmad Kirang.
Pasukan Komando segera membalas. Mahrizal tewas di dekat pramugari.
Aksi tim biru dan tim merah juga mendapat perlawanan.
Di dalam pesawat tim bertemu dengan Zulfikar, teroris yang sempat melemparkan granat. Beruntung, granat tersebut tak meledak karena saat dilemparkan pin pemicunya belum dibuka secara sempurna.
Lalu anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar.
Sementara itu, Abdullah Mulyono sempat berusaha merebut senjata anggota Kopassus.
Namun upaya tersebut tidak berhasil, pelaku teror ini ditendang keluar pesawat dan lansung disambut rentetan peluru pasukan Komando yang telah disiagakan di luar pesawat.
Nasib serupa, tertembus peluru, juga dialami Wendy Mohammad Zein. Dia berhasil dilumpuhkan ditembak di dekat pintu darurat.
Para penumpang kemudian disuruh keluar.
Namun, satu diantara pelaku yang bernama Abu Sofyan juga turut turun dengan berpura-pura sebagai penumpang.
Abu Sofyan teridentifikasi setelah penumpang yang mengenalinya memberikan kode kepada pasukan Komando yang berada di landasan.
Abu Sofyan yang berlari menjauhi pesawat langsung ditembak.
Imran bin Muhammad Zein, pimpinan teroris, selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut. Dia ditangkap Kopassus.
Tim medis kemudian datang untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang ditembak teroris dalam serangan tersebut.
Dalam aksi kilat tiga menit tersebut, Calon Perwira Achmad Kirang juga mesti gugur mengorbankan nyawanya demi keselamatan para penumpang.
Sedangkan pilot pesawat Garuda Kapten Herman Rante meninggal di Rumah Sakit di Bangkok beberapa hari setelah kejadian tersebut.
Kedua korban peristiwa terorisme ini kemudian dimakamkan di TMP Kalibata.
Usai operasi yang mencengangkan dunia tersebut, para anggota yang terlibat dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat. Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi terebut dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.
Operasi pembebasan sandera DC-9 Woyla mengangkat nama Kopassus TNI AD ke jajaran pasukan elite dunia. Tak ada satu pun sandera yang terluka dalam misi ini. Lima orang pembajak berhasil ditembak mati.
Keberhasilan ini membuat dunia tercengang karena tak menyangka pasukan Indonesia bisa melakukan operasi khusus yang selama ini baru dilakukan militer negara maju.
Siapkan 17 peti mati
Belakangan terungkap, tak cuma negara lain yang ragu dengan peluang keberhasilan operasi.
Kepala Operasi, Letjen Benny Moerdani, pun memperkirakan keberhasilan timnya hanya 50:50.
Benny ternyata menyiapkan 17 peti mati dalam operasi itu.
Hal itu sesuai dengan perkiraan Benny bakal jatuh banyak korban dalam misi pembebasan sandera.
Perkiraan ternyata meleset, karena usai operasi hanya dibutuhkan lima peti jenazah, itupun diperuntukkan bagi para pelaku teror.
Tulisan ini dikutip dari buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, penulis Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, 2009. (*)
Bravo Kopassus. Tribuana Chandraca Satya Dharma. Lebih Baik Pulang Nama Dari Pada Gagal di Medan Tugas. (sumber: kompasiana)
Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Teroris Tewas di Dekat Pramugari, Kisah Kopassus Bebaskan Sandera Pesawat Woyla,