Pilpres 2019
Kenapa Kepala Daerah Berpose 1 Jari Tak Diproses & Dibiarkan Saja, Sementara Pose 2 Jari Kena Sanksi
eorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) protes kenapa kepala daerah yang berpose 1 jari tak diproses dan dibiarkan saja, sementara pose 2 jari tak k
TRIBUNJAMBI.COM- Seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) protes kenapa kepala daerah yang berpose 1 jari tak diproses dan dibiarkan saja, sementara pose 2 jari tak kena sanksi.
Mahfud MD, memberikan komentar terkait pose-pose jari aparatur sipil negara (ASN) yang dianggap berafiliasi pada pilihan politik.
Hal ini diungkapkan Mahfud MD melalui Twitter miliknya, @mohmahfudmd, Senin (8/4/2019).
Baca: 784 Suku Anak Dalam di Sarolangun Ikut Pemilu 2019, Lakukan Simulasi di Desa Suka Jadi
Baca: Iklan SIrup Tayang Sebagai Tanda Ramadan Kian Dekat, Simak Penjelasan Pakar Iklan Soal Trend Sirup
Baca: Buru Preman, Kronologi Rumah Nenek Yuda Husnah (68) Dirusak Puluhan Anggota Brimob
Mulanya, netizen dengan akun @IdaNursadiah1 bertanya terkait ASN, khususnya kepala daerah, yang berpose jari 2 dan dianggap berafiliasi pada pilihan politik sering diproses hukum.
Sementara kepala daerah yang berpose 1 jari tak diproses dan dibiarkan saja.
Warganet itu lalu bertanya apakah hal itu juga sering terjadi pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
"P

ak Mahfud ....sah atau tidak sah .. menurut pengalaman Bapak apakah hal ini pernah terjadi sebelumnya?.
Seperti halnya ada yg diproses hukum gara-gara pose 2 jari sementara yg pose satu jari seorang gubernur atau Mentri sekalipun dianggap halal?!
Kami hanya mau tahu sejarah Pak," tulis akun @IdaNursadiah1.
Mahfud lalu mejawab bahwa kerap terjadi contoh kasus presiden mengirimkan surat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada instansi pemerintah.
Hal itu juga telah tertuang pada UU PTUN.
Namun, jika dikaitkan dengan pilihan politik itu merupakan keputusan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sudah mengantongi vonis dari MK terlebih dahulu.
"Sering terjadi Presiden mengirim surat utk melaksanakan vonis PTUN kpd instansi Pemerintah.
Itu tugas Presiden mnrt Psl 116 (6) UU PTUN.
Tp yg ke KPU kali ini bs ditolak oleh KPU krn KPU bkn bawahan Presiden dan KPU sdh mengantongi vonis MK lbh dulu," jawab Mahfud MD.
kicauan Mahfud MD soal pose dua jari, Senin (8/4/2019) (Capture Twitter @mohmahfudmd)
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat diperiksa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) soal pose dua jari.
Pose dua jari itu dilakukan Anies saat mengikuti Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul, Kabupaten Bogor, pada 17 Desember 2018 silam.
Pose ini diduga menyimbolkan pasangan calon presiden nomor urut 2 Prabowo - Sandi.
Anies diduga telah melakukan tindak pidana karena telah melakukan kampanye yang menguntungkan salah satu peserta pemilu presiden dengan statusnya sebagai pejabat.
Namun, Bawaslu memutuskan pose dua jari tersebut tak memenuhi unsur tindak pidana pemilu.
Atas keputusan tersebut kasusnya pun tidak dilanjutkan.
"Bawaslu melalui Gakkumdu karena sudah tidak memenuhi unsur, jadi (penanganan) berhenti sampai di sini, tidak ada kelanjutannya," kata Ketua Bawaslu Kabupaten Bogor, Irvan Firmansyah dalam jumpa pers di Cibinong Bogor, Jumat (11/1/2019) malam pada Tribunnews.
Lebih lanjut, Komisioner Bawaslu Kabupaten Bogor bidang Penindakan Pelanggaran, Abdul Haris, menuturkan bahwa berdasarkan hasil analisa, kajian serta proses klarifikasi yang sudah dilakukan pihaknya terdapat sejumlah fakta.
Pertama yakni kegiatan konferensi nasional Partai Gerindra merupakan kegiatan internal yang rutin dilaksanakan tiap tahun sebagai konsolidasi partai.
Baca: Prabowo Subianto Sebut Dapat Pesan Penting Usai Temui Sri Sultan & GKR Hemas di Bangsal Kepatihan
Baca: Surat SBY untuk Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, Tulis Jangan bermain api, terbakar nanti
Baca: Gaji Warga China Bakal Dipotong Jika Tak Menginstal Aplikasi Pemikiran Xi Jinping.
Kedua, terlapor diundang sebagai Gubermur DKI Jakarta dan sudah menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kemendagri bahwa yang bersangkutan akan menghadiri kegiatan konferensi nasional partai Gerindra di SICC Sentul Bogor.
Ketiga, terkait simbol 2 jari yang ditampilkan saat berpidato saudara terlapor menyatakan bahwa itu merupakan bentuk salam kemenangan tim sepak bola Persija, salam literasi gemar membaca, dan simbol hubungan vertikal dan horzontal.
Sebenarnya seperti diberitakan Kompas.com, Gubernur Jawa Barat (Jabar) juga sempat dilaporkan ke Bawaslu oleh Aliansi Anak Bangsa (AAB) soal pose satu jari sewaktu ia menghadiri harlah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di GOR Padjadjaran, Kota Bandung pada Januari 2019.
Gubernur Jabar yang disapa Kang Emil ini mengaku siap diperiksa Bawaslu.
Namun ia sempat mempertanyakan aturan apa yang dilanggar olehnya hingga dilaporkan ke Bawaslu.
"Jadi saya dilaporkan ke Bawaslu, pertanyaan saya, jika dipanggil saya akan hadir enggak ada masalah bentuk ketaatan kepada negara. Pertanyaannya sederhana itu yang melaporkan tolong sebutkan pelanggaran hukumnya apa? Kan melaporkan itu kalau diduga ada pelanggaran hukum atau aturan," ujar Ridwan saat ditemui di Gedung Pakuan, Jalan Cicendo, Kamis (10/1/2019) sore.
Kang Emil menyebut, ia datang ke acara PKB itu pada hari Minggu dan sama sekali tak menggunakan fasilitas negara.
"Saya ini melaksanakan kegiatan selalu taat aturan. Aturan membolehkan pejabat negara melakukan aktivitas politik di akhir pekan Sabtu Minggu," katanya.
"Saya datang ke acara PKB itu di hari Minggu. Sekali lagi, melanggar aturan atau tidak? Tidak. Karena sudah konsultasi, secara aturan, naik mobil juga pribadi, naik Kijang bukan mobil dinas," imbuh Emil.
Menjawab soal pose satu jari, sambung Emil, itu merupakan simbol nomor urut partai, sedangkan simbol Jokowi menggunakan jempol.
"Jadi acaranya PKB jari saya itu simbolnya PKB, kalau Pak Jokowi jempol kalau tidak salah," ucapnya.
"Jadi saya balikin, tolong sebutkan dengan jelas pelanggaran hukum dan aturannya apa. Kalau tidak bisa jawab ya berarti melaporkannya itu asal melaporkan karena tidak ada dasar hukumnya," tegas Kang Emil
"Demokrasi ini harus pakai akal sehat, kalau memang ada pelanggaran ya kita akui dan sepakati, kalau tidak ya jangan diada-ada. Waktu kita kan bisa dipakai untuk hal lain," pungkasnya.