PEMBAJAKAN Pesawat Berakhir Mencekam, Pilot Tembak Mati Pembajak yang Masih Pegang Granat
TRIBUNJAMBI.COM - Sebuah pesawat komersil Vickers Viscount 613 milik maskapai penerbangan Merpati
TRIBUNJAMBI.COM - Sebuah pesawat komersil Vickers Viscount 613 milik maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines dengan nomor penerbangan MZ-171 yang sedang terbang dari Surabaya ke Jakarta dibajak, pada 4 April 1972, .
Pesawat yang dibajak kemudian dipaksa untuk mendarat di Bandara Adisucipto, Yogyakarta.
Pelaku pembajakan yang bernama Hermawan ternyata unik karena hanya bertindak sendiri dan mengancam akan meledakkan granat tangan yang dibawanya jika tuntutannya tidak dipenuhi.
Tuntutannya ternyata bermotif ekonomi karena Hermawan meminta disediakan uang sebesar Rp50 juta dan diberikan parasut untuk terjun free fall dari pesawat.
Jadi setelah Hermawan mendapatkan uang ia akan memaksa pesawat untuk terbang di ketinggian tertentu di suatu tempat kemudian kabur dengan cara terjun payung.
Rupanya Hermawan yang merupakan atlet terjun payung memang bertindak atas kemauan sendiri sehingga tindakan pembajakan pesawat yang dilakukannya merupakan kasus kriminal.
Oleh karena itu penganganan pembajakan kemudian dilakukan oleh aparai kepolisian dan bukan oleh tentara (ABRI).
Polisi berusaha melakukan nego dan taktik mengulur waktu terhadap Hermawan dengan cara menurunkan nilai uang tuntutan serta pemberian parasut yang ditunda waktunya karena sedang dicarikan.
Pesawat MNA yang dibajak saat itu diterbangkan oleh seorang Kapten Pilot Hindarto yang juga seorang anggota TNI AU lulusan Sekolah Terbang Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA), AS.
Dia memiliki pengalaman tempur dalam operasi penumpasan pemberontakan PRRI, Operasi Trikora, dan Perang Kemerdekaan.
Ketika pembajak sedang menuju kabin penumpang sambil mengacung-acungkan granat dan pemicunya masih diikat tali rafia agar tidak capai saat digenggam tangan, diam-diam Hindarto membuka pintu jendela kokpit dan menjulurkan tangan kirinya.
Seorang polisi berpangkat Letnan Kolonel dan sedang bertugas untuk mengendalikan aksi pembajakan segera tanggap dan diam-diam memberikan sepucuk revolver Colt 38 berisi 6 peluru kepada Hindarto.
Pada saat yang tepat dan ketika pembajak tampak lengah Hindarto melancarkan serangan dadakan dengan menembakkan pistolnya dua kali ke arah Hindarto yang langsung tewas seketika.
Granat yang kemudian jatuh ternyata tidak meledak meskipun pen pengunci granat sudah dicabut.
Tapi karena pengungkit picu masih `terkunci' tali rafia pemantik untuk mengaktifkan ledakan jadi ikut macet.
Atas kasus pembajakan yang sukes dilumpuhkan oleh Kapten Pilot itu, TNI/ABRI kemudian berinisiatif untuk membentuk pasukan khusus antiteror.
Sementara iru, pada 28 Maret 1981, atau hari ini 35 tahun lalu, pesawat DC 9 milik Garuda Indonesia dibajak.
Pesawat rute Jakarta-Medan yang dikenal dengan sebutan "Woyla" itu dikuasai kelompok yang menamakan diri Komando Jihad.
Mengutip arsip Harian Kompas tanggal 29 Maret 1981, pesawat itu dibajak di udara antara Palembang -Medan sekitar pukul 10.10 WIB.
Saat itu pesawat yang transit di bandara Talangbetutu, Palembang baru saja lepas landas menuju Bandara Polinia, Medan.
Pesawat kemudian dibelokkan menuju bandara internasional Penang, Malaysia.
Awalnya, belum diketahui siapa pelaku pembajakan pesawat dengan nomor penerbangan 206 itu.
Departemen Pertahanan dan Keamanan yang menangani pembajakan itu hanya mengatakan pembajak dapat berbahasa Indonesia.
"Pesawat dibajak oleh enam orang yang dapat berbahasa Indonesia. Mereka bersenjatakan pistol dan beberapa buah granat," tulis Harian Kompas, berdasarkan keterangan Menteri Hankam Muhammad Jusuf.
Beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa pembajak berjumlah lima orang.
Mereka menuntut pembebasan 80 orang tahanan yang terlibat dalam penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki di Bandung pada 11 Maret 1981.
Para pembajak juga menuntut tebusan uang tunai sebesar 1,5 juta dollar AS.
Pembajakan ini tercatat sebagai peristiwa terorisme pertama dan hingga saat ini menjadi satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Dephankam kemudian menugaskan Wakil Panglima ABRI Laksamana Sudomo untuk menangani pembajakan pesawat itu.
Berdasarkan informasi, ada 48 penumpang di dalam pesawat. Sebanyak 33 orang terbang dari Jakarta, dan sisanya berasal dari Palembang.
Pesawat itu dibawa oleh pilot Kapten Herman Rante dan kopilot Hedhy Djuantoro.
Sekitar pukul 11.20 WIB, pesawat itu tiba di Penang. Ketika itu, pesawat minta bahan bakar, tanpa memberitahu tujuan berikutnya.
Pembajak juga menurunkan seorang penumpang, Hulda Panjaitan yang berusia 76 tahun.
Karena pesawat itu dimanfaatkan untuk rute dalam negeri, maka tidak dilengkapi peta untuk rute penerbangan internasional.
Pesawat itu kemudian diketahui diterbangkan ke Bangkok.
Puncaknya terjadi pada 31 Maret 1981, saat pasukan Grup 1 Para Komando dari Komando Pasukan Sandi Yudha (Koppasandha, sekarang bernama Kopassus) yang dipimpin Letkol Infanteri Sintong Panjaitan melakukan operasi pembebasan.
Empat orang teroris ditembak mati dalam peristiwa pembebasan yang berlangsung selama tiga menit itu. Sedangkan satu orang teroris, Imran bin Muhammad Zein, ditangkap lalu dihukum mati.
Pilot Kapten Herman Rante dan anggota Koppasandha bernama Achmad Kirang menjadi korban tewas dalam operasi pembebasan.
Keduanya menderita luka tembak, dan gagal diselamatkan meski sudah dibawa ke rumah sakit.
Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul 35 Tahun Silam Pesawat Ini Dibajak Kelompok Komando Jihad,
(Sumber Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Hendro Sibroto, Penerbit Buku Kompas, 2009).