Penderita Gizi Buruk Masih Banyak, Tapi Indonesia Peringkat Kedua Negara Pembuang Makanan Terbanyak
Namun, menyelesaikan masalah kelaparan tidak akan bisa dilakukan tanpa berhenti membuat sampah makanan.
Padahal, laporan dari organisasi yang sama pada tahun 2018 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara nomor delapan dari segi prevalensi kekurangan gizi di antara 67 negara (Arab Saudi nomor 20).
Menanggapi laporan ini, Anda mungkin beranggapan bahwa makanan kita yang terbuang adalah ulah produsen dan distributor.
Hal ini memang benar.
Baca: Panjaga Sekolah Rudapaksa Siswi SMA, Diberi Minuman Hingga Korban Pingsan
Baca: Siswi SMA Diperkosa Penjaga Sekolah, Pelaku Ancam Sebar Video dan Foto Jika Berani Melaporkan
Laporan mereka yang tahun 2016 menjelaskan di negara-negara berkembang, hilangnya makanan lebih sering terjadi karena infrastruktur dan praktik produksi yang tidak memadai.
Tidak adanya truk berpendingin, misalnya, membuat buah dan sayuran terbuang sebelum sampai ke pasaran. Akan tetapi, sampah makanan pada tingkat konsumen juga tidak main-main.
Para peneliti menulis, meskipun kesadaran mengenai masalah sampah makanan konsumen meningkat, hal ini masih menjadi halangan yang signifikan untuk mencapai sistem makanan yang berkelanjutan.
Mereka pun mengusulkan beberapa solusi. Salah satunya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memaksimalkan makanan yang ada.
Hal ini bisa dimulai dari program edukasi di sekolah dan perusahaan.
Lalu, pemerintah juga dihimbau untuk membuat panduan manajemen makanan di rumah.
Selain itu, pelabelan makanan yang lebih akurat juga dapat mengurangi sampah makan di tingkat konsumen.
Penggunaan istilah “Sell by” (dijual sampai), “best by” (terbaik sampai) dan “use by” (gunakan sampai); misalnya, seringkali membuat konsumen kebingungan.
Untuk makanan yang memang harus dibuang, para peneliti mengusulkan untuk melakukan pendekatan sirkular dan memasukkannya kembali dalam rantai produksi.
Salah satu contohnya dari produksi biogas dari sampah makanan. Lalu, ada juga ide yang lebih kreatif seperti start up Orange Fiber di Italia yang memproduksi kain dari ampas produksi jus jeruk.
Baca: Belum Genap Dua Bulan, sudah Belasan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Terjadi di Jambi
Gizi Buruk Anak di Indonesia Masih di Atas 20 Persen
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting (gizi buruk) balita di Indonesia berada di angka 30,8 persen, turun 6,4 persen dari tahun 2013.
Namun, jumlah tersebut masih jauh dari angka minimum stunting yang ditetapkan WHO, yakni 20 persen.
Riskesdas sendiri merupakan survei lima tahunan yang hasilnya dapat digunakan untuk menilai perkembangan status kesehatan masyarakat, faktor risiko dan perkembangan pembangunan kesehatan.
(Kompas, Sumber Lain)