Ternyata Ini Penyebab Harga Tiket Pesawat Tinggi, Penumpang Harus Tahu
Satu diantara alasan melonjaknya harga tiket pesawat adalah tingginya harga avtur, sehingga pihak maskapai berinisatif menaikan harga tiket, benarkah?
TRIBUNJAMBI.COM - Satu diantara alasan melonjaknya harga tiket pesawat adalah tingginya harga avtur, sehingga pihak maskapai berinisatif menaikan harga tiket demi menghindari kerugian.
Presiden Joko Widodo beserta sejumlah menteri terkait, Rabu (13/2/2019) siang, menggelar rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta untuk membahas harga avtur yang dinilai terlalu tinggi.
Saat ini tingginya harga avtur dinilai mengerek harga tiket pesawat Indonesia.
Harga avtur mempengaruhi 25 persen hingga 40 persen dari harga tiket pesawat.
Presiden telah menginstruksikan menteri terkait untuk mengevaluasi harga avtur.
Ia berharap ada hal-hal yang bisa diefesiensikan agar harga avtur tak terlalu memberatkan perusahaan penerbangan.
Baca: Ternyata Ini Penyebab Petani Sawit di Jambi Tak Mau Replanting, Agusrizal Beri Paparan
Baca: Ketua Masjid Minta Prabowo tak Jumatan di Masjid Agung Semarang, Begini Reaksi Jubir Prabowo-Sandi
Baca: Daftar 7 Nama yang Diperiksa KPK di Mapolda Jambi, Ada Orang Kaya dan Mantan Ajudan Zumi Zola
"Tadi, saya sudah perintahkan menteri untuk dihitung ya. Mana yang belum efisien, mana yang bisa diefesiensikan. Nanti akan segera diambil keputusan," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu sore.
Hadir dalam rapat tersebut, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimulyono.
Ketika ditanya apakah ada target kepada para menterinya itu, Presiden mengatakan, yang terpenting kalkulasi harus dilakukan secara teliti.
"Segera, akan. Setelah ada kalkulasinya," ujar dia.

Ketika ditanya kembali mengenai apakah ada opsi-opsi tentang harga avtur yang dinilai berat, Jokowi mengatakan, justru dalam rapat terbatas tadi, ia baru memerintahkan menterinya untuk melakukan evaluasi.
Dari evaluasi itu, para menteri diharapkan menyampaikan opsi-opsi apa saja yang harus diputuskan olehnya.
"Wong baru saja saya perintah tadi untuk melihat, membuat perhitungan membuat kalkulasi. Apakah ada opsi-opsi seperti apa, baru disampaikan kepada saya," ujar Jokowi.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengeluhkan mahalnya harga tiket pesawat yang menyebabkam sepinya kamar-kamar hotel di Indonesia.
Ia menyampaikan keluhan tersebut langsung kepada Presiden Joko Widodo dalam sambutan acara perayaan HUT Ke-PHRI di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (11/2/2019).
Baca: Ini Jawaban Kenapa Tiba-Tiba Follower Instagram Berkurang
Baca: 46 Kata Mutiara Velentine Day Dijamin Bikin Baper
Baca: Siswa Sarolangun Kesulitan Masuk ke Laman SNMPTN 2019, Pendaftaran Diperpanjang 16 Februari 2019
Kenaikan harga tiket pesawat hingga 40 persen menyebabkan berkurangnya minat masyarakat untuk berlibur di dalam negeri.
Akibatnya, menurut dia, masyarakat lebih memilih berlibur ke luar negei sebab harga tiket lebih murah.
"Kondisi harga tiket yang mahal ini telah mengakibatkan berkurangnya perjalanan masyarakat yang berakibat menurunnya hunian hotel 20-40 persen," kata Hariyadi kepada Jokowi.
Solusi mengatasi polemik kenaikan harga tiket pesawat dan tuntutan penurunan harga avtur semakin menemukan titik terang.
Setelah masalah ini sampai ke Presiden Joko Widodo, pemerintah tengah mempertimbangkan menghapus Pajak Pertambahan Nilai ( PPN) untuk avtur.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan usulan penghapusan PPN avtur tersebut telah disampaikan kepada Presiden Jokowi.
Baca: Order Fiktif Ojek Online, Begini Caranya, Hasilkan Hingga Ratusan Juta Rupiah, Jangan Ditiru Ya
Baca: Dinas PUPR Tanjab Timur Berharap setelah Hibah ke Pemprov, Kondisi Jembatan Lebih Baik
Baca: Jokowi Dihadang Massa Pendemo, Begini Reaksi Cepat Iriana Jokowi
Menurutnya, usulan itu muncul karena PPN dinilai sebagai beban bagi harga avtur sehingga susah turun.
Pengenaan PPN membuat harga avtur di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.
"Kita tidak terlalu beda jauh kok sama Singapura, tapi ya perbedaannya pajak, kita kena PPN, di mereka tidak kena," ujar Rini usai menemui Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (13/2/2019).
Rini mengatakan, usulan penghapuasan PPN tersebut telah disampaikan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.
Selain itu, pemerintah juga terus mengkaji struktur biaya penjualan avtur.

Namun, terkait kehadiran pihak lain dalam menjual avtur perlu peninjauan terkait infrastruktur.
Pasalnya saat ini penjual avtur satu-satunya di Indonesia yaitu PT Pertamina (Persero) telah melakukan investasi infrastruktur.
"Infrastruktur di dalam, infrastruktur penyimpanan itu semua investasi Pertamina," terang Rini.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance ( Indef), Abra Talattof, memberikan saran bagi pemerintah agar harga tiket pesawat tak membebani masyarakat.
Salah satunya dengan mengurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi Pertamina saat menjual avtur.
"Pertama, mengkaji mengurangi PPN avtur. Jadi pajak pertambahan avtur di Indonesia 10 persen. Di Singapura 7 persen. Kira-kira bisa enggak Menkeu memberi stimulus untuk PPN avtur dikurangi, minimal kompetitif dengan negara tetangga, supaya harga avturnya bisa lebih murah," ujar Abra saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/2/2019).
Kedua, lanjut Abra, pemerintah juga perlu mengurangi biaya yang dikenakan otoritas bandara kepada Pertamina saat menjual avtur.
"Pungutan itu menyebabkan ada tambahan ongkos buat Pertamina. Di negara lain informasi yang saya dapat itu enggak ada. Solusinya duduk bersama antara stakeholder kira-kira ruang mana yang masih dimungkinkan untuk jadi jalan keluarnya," kata Abra.
Untuk solusi jangka panjangnya, kata Abra, Pertamina harus mengurangi ketergantungan impor minyak.
Sebab, saat ini Pertamina, menurut dia, harus mengimpor 40 persen minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan avtur dalam negeri.
Untuk mengurangi Impor, lanjut Abra, perlu dibangun kilang pengelolaan minyak yang berbasis green energy. Diharapkan, hal tersebut bisa mengurangi impor Pertamina.
"Misalnya dengan minyak kelapa sawit. Supaya impor avtur kita menyusut dan pada akhirnya kita bisa menyediakan harga avtur lebih murah lagi. Poinnya jangan terus merongrong Pertamina," ucapnya.
MASKAPAI TERAPKAN DYNAMIC PRICING
Selain dipicu harga avtur yang lebih mahal, pengamat penerbangan, Arista Atmajati mengatakan saat ini perusahaan maskapai penerbangan tengah menerapkan pola dynamic pricing.
Akibatnya, harga tiket pun dikeluhkan dan menjadi perhatian publik. Dynamic pricing adalah harga produk dan jasa akan bervariasi untuk satu produk dan jasa yang sejenis berdasarkan penentuan harga pada kondisi tertentu.
"Sebetulnya bukan harga naik, tapi memainkan (harga). Namanya dynamic pricing," ungkap Arista ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (12/2/2019).
Arista mengatakan, langkah ini pertama kali diterapkan oleh Garuda Indonesia sebagai maskapai dengan status price leader yang memiliki fasitas full service.
Mereka bisa menentukan sendiri kenaikan harga tiket.
"Dia (Garuda Indonesia) bisa mengutip 100 persen dari harga ketentuan yang ditentukan oleh pemerintah, berdasarkan Permenhub Nomor 14 Tahun 2016," ujarnya.
Dia menuturkan, langkah maskapai pelat merah itu juga diikuti Lion Air Grup ihwal dyanic pricing.
Sebagai maskapai kelas Low Cost Carrier (LCC), selain kenaikan harga tiket juga ada pengenaan bagasi berbayar.
Penerapan skema maskapai ini hampir secara bersamaan, sehingga terkesan sepekat dan mendadak hingga akhirnya jadi sorotan.
"Rupa-rupanya diikuti Lion Air Grup, jadi kesannya semua naik. Selain itu, Lion Air Grup tambah berani mengenakan bagasi berbayar, hampir berbarengan dengan perubahan dynamic pricing," jelasnya.
Ia menyatakan, apa yang dilakukan perusahaan penerbangan itu memang masih dalam koridor wajar dan tidak menyalahi aturan yakni termaktub dalam Permenhub Nomor 14 Tahun 2016.
Namun, langkah yang dipilih maskapai ini menimbulkan efek domino dan berkepanjangan. Hingga kini terkait harga tiket pesawat yang dinilai masih mahal dibahasan.
"Lion Air Grup selain memainkan dynamic pricing, juga memainkan bagasi berbayar. Itu yang jadi runyam, jadi seolah-olah masyarakat kena dua "rudal", rudal tarif dan rudal bagasi. Jadi rame karena beban masyarakat ada dua," bebernya.
Menurutnya, manajemen maskapai penerbangan mengambil keputusan itu karena karena alasan keuangan. Sebab, sejak dua sampai tiga tahun terakhir kinerja mereka terbilang buruk.
Salah satu cara memperbaikinya ialah menerapkan pola dynamic pricing tersebut.
"Memang rapot keuangan maskapai itu jeblok. Supaya bisnis maskapai ini tidak perang harga, jadi mempertahankan bisnis secara sustainable," tambahnya.
Besarnya market share kedua maskapai ini memberikan dampak besar ke dunia penerbangan Tanah Air, atas kebijakan yang diambil.
Hingga akhirnya polemik soal tarif atau harfa tiket masih hangat dibicarakan.
"Lion Air Group menguasai 55 persen market share di Indonesia. Garuda Indonesia market share-nya 40 persen. Jadi hampir 95 persen naik. Jadi kesannya seperti janjian naik, itu berdampak kepada masyarakat," lanjutnya.
"Pilihannya tinggal maskapai kecil-kecil, seperti AirAsia, XpressAir, TriganaAir, dan lainnya," sebut dia.