Gara-gara Ini Nyaris 'Perang Dunia III', Beruntung Pak Harto Berhasil Mendinginkan Suasana
TRIBUNJAMBI.COM---Bung Karno, pada 1964/1965 kembali menggelorakan semangat revolusioner bangsa
Sebaliknya dalam hubungan internasionalnya Bung Karno juga membangun poros Jakarta-Peking-Moskow, kekuatan komunis yang sangat berpotensi melemahkan pengaruh Barat.
Jika Indonesia berhasil dikuasai oleh PKI dipastikan akan meminta jaminan keamanan kepada Moskow dan Peking.
Pasalnya pada tahun itu Indonesia sedang memiliki hubungan dekat dengan Uni Soviet (Rusia) dan jika terjadi peperangan antara Sekutu melawan Indonesia, Rusia pasti membantu.
Rusia mengincar Indonesia karena akan dijadikan sebagai pangkalan kapal selam, penimbunan logistik, dan mungkin saja tempat menaruh senjata nuklir.
Dalam tahap seperti itu hubungan antara Bung Karno dan AS betul-betul memburuk apalagi di dalam negeri demo anti AS makin gencar dan diwarnai perusakan terhadap properti AS di Jakarta.
Melihat kondisi yang makin tak menguntungkan itu pimpinan AS, Presiden Johnson tetap memiliki harapan positif.
Ia memberikan komentar, "Tujuan utama kita masih tetap mengendarai badai yang panjang dengan pengurangan staf diplomatik di dalam suatu upaya bertaruh untuk jangka panjang pasca Soekarno."
Pada 30 September 1965 PKI melancarkan kudeta yang mengakibatkan gugurnya enam jenderal Angkatan Darat.
Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto kemudian mengambil alih tongkat komando AD mengingat Jenderal Ahmad Yani diyakini telah diculik.
Soeharto segera mengambil tindakan cepat. Dalam sehari situasi telah dipulihkan.
Pada tanggal 2 Oktober Bung Karno menyiarkan ke seluruh negeri bahwa dia sendiri yang memegang komando AD.
Bung Karno juga telah mengangkat Jenderal Pranoto sebagai kepala administratif AD serta mengangkat Jenderal Soeharto untuk melakukan restorasi keamanan.
Lewat Surat Perintah 11 Maret, ia mengangkat Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib yang bertugas mengembalikan keamanan dan ketertiban.
Sejalan tuntutan rakyat, PKI pun dibubarkan disusul penangkapan anggota-anggotanya yang ternyata berlangsung bertahun-tahun.
Sejarah telah membuktikan ketika tahun 1967 Bung Karno berpidato untuk menyampaikan pertanggungjawaban terhadap peristiwa 30 September di dalam sidang istimewa, pidatonya ditolak oleh MPRS.