Kisah Mertua SBY, Danjen Kopassus Sang Pembasmi PKI yang 'Disingkirkan' Soeharto ke Negara Komunis
Namun bila menyebut nama Agus Harimurti Yudhoyono dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) banyak yang mengetahuinya.
Penulis: Andreas Eko Prasetyo | Editor: Andreas Eko Prasetyo
TRIBUNJAMBI.COM - Bagi anak milenial saat ini, nama Sarwo Edhie pasti tidak banyak diketahui.
Namun bila menyebut nama Agus Harimurti Yudhoyono dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) banyak yang mengetahuinya.
Untuk diketahui, Sarwo Edhie merupakan mertua dari SBY dan juga kakek dari Agus Harimurti.
Menelisik kisah Sarwo Edhie sebagai perwira tinggi TNI di masanya. Banyak sejarah yang telah ia buat.
Baca Juga:
Ini Pria yang Mengaku Mantan Pacar Syahrini, Polisi Membenarkan, Ikut Ditangkap Bersamaan Aris Idol
Anya Geraldine Gelagapan Ditanya Kekayaan, Sudah Sukses, Sobat Awkarin Ini Ingin Dikenal Jadi Artis
Curhatan Mahasiswi Selingkuhan Dosen Kupang, Sebut Tuhan Akan Tunjukkan Kuasanya, Ini Lengkapnya
Satu diantaranya yang paling dikenal sebagai pemimpin pembasmi Gerakan 30 September.
Namun tahukah kamu, bahwa mertua SBY itu pernah disingkirkan oleh Soeharto?
Berawal Pada tahun 1967, baru sekitar enam bulan menjabat Pangdam II/Bukit Barisan di Medan, Sumatra Utara, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo mendapatkan penugasan baru yang cukup memukulnya.
Dia menerima kabar akan dijadikan duta besar di Moskow, Rusia.
Berita ini membuat seisi rumah gempar.

Kristiani Herawati, yang kemudian menikah dengan Susilo Bambang Yudhoyono, masih ingat dengan jelas, pada suatu sore ayahnya mengumpulkan keluarga di ruang tengah.
“Papi akan ditempatkan di Rusia. Moskow. Negara dengan faham komunis,” kata Sarwo Edhie, lirih. Dia merasa sangat nelangsa dengan tugas baru ini.
“Bagaimanapun, dia selama ini dikenal sebagai penumpas komunis. Lalu kemudian dia diceburkan ke negara berfaham komunis. Bagi Papi ini seperti meledek dirinya,” kata Ani Yudhoyono dalam biografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit karya Alberthiene Endah.
Terlebih, Sarwo Edhie merasa tak ada yang salah dengan tugasnya di Medan.
Enam bulan adalah waktu yang pendek bagi seorang Pangdam untuk membuktikan prestasi kerjanya.
Kalaupun ada, tentu masih sebatas pembenahan awal semata.
“Papi merasa niat baik dan semangatnya diputus sepihak,” kata Ani.
Baca Juga:
Fenomena Aneh di Selat Sunda, Air Laut Orange & Penampakan Pulau Panjang Jadi Zona Kematian
Unggah Foto dengan #10YearChallenge, Titi Rajo Bintang Diledek Maia Estianty & May Chan
Netizen Satu ini Rela Mati Bila Benar Jokowi Lulus SMAN 6 Surakarta di Tahun 1977-1982, ini Faktanya
Mengutip Historis, sehabis mengungkapkan kesedihannya, Sarwo Edhie mengatakan bahwa keluarga harus ikhlas ikut ke Rusia.
“Anak-anak prajurit harus siap menghadapi situasi baru, apa pun juga,” kata Sarwo Edhie yang kemudian menyarankan agar mulai belajar menari.
“Sebagai anak-anak calon duta besar, Papi ingin kami memiliki kebolehan menari yang cukup banyak. Bukan hanya tari Jawa, tapi juga tari Melayu,” kata Ani.
Namun, Ani dan saudara-saudaranya tidak bersemangat latihan menari karena terbawa suasana kesedihan ayahnya.
Ani kemudian memergoki ayahnya menjadi banyak melamun di depan rumah.
Pandangannya kosong dan menerawang. Rumah berubah menjadi senyap.
Suatu kali, Ani mendengar ayahnya berkata kepada ibunya, “kalau aku memang mau dibunuh, bunuh saja. Tapi jangan bunuh aku dengan cara seperti ini. Apa salahku sampai aku harus dihentikan begini rupa?”
“Papi amat terpukul dengan keputusan pemerintah menempatkan dirinya di Rusia, selagi karier militernya sedang begitu cemerlang,” kata Ani.
Sarwo Edhie kemudian menghubungi teman-temannya di Jakarta. Dia mempertanyakan apakah tugasnya ke Rusia murni sebagai “takdir tugas” atau karena ada hal lain.
“Aku melihat-lihat lagi koran-koran yang pernah memuat berita tentang Papi, Sarwo Edhie Wibowo yang berprestasi menumpas PKI, dengan foto Papi mengenakan seragam RPKAD kebanggaannya. Aku bisa merasakan betapa hati Papi dibuat luruh ketika dia harus melepaskan seragam militernya dan menjadi seorang duta besar,” kata Ani.
Baca Juga:
Curhat Vanessa Angel, Dicampakkan Keluarga Usai Jadi Tersangka dan Hanya Didukung Pacar & Pengacara
Pesawat MH370 Berputar-putar Tanpa Suara, Oleng, Lalu Menyelam ke Laut di Utara Aceh
Valentino Rossi Blak-blakan Sebut Pebalap Indonesia Masuk Daftar Pebalap Berani dan Gila, Siapa?
Tidak berapa lama, datang kabar lagi dari Jakarta. Sarwo Edhie tidak jadi diberangkatkan ke Rusia, tapi dialihkan ke Irian Barat menjadi Pangdam XVII/Cenderawasih (1968-1970).
Saat itu, di Irian Barat tengah terjadi pertempuran yang mengiringi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.
“Sebetulnya dibandingkan tugas di Moskow, tugas di Irian lebih mencuatkan risiko yang besar akan keselamatan. Jelas, tugasnya pun jauh lebih berat. Namun, Papi terlihat sangat bersemangat, berbanding terbalik dengan saat dia mendengar akan dikirim ke Moskow,” kata Ani.
Menurut Jusuf Wanandi, mantan aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang anti-PKI, Sarwo Edhie dan Soeharto memang tidak pernah dekat.
Sarwo Edhie dekat dengan Ahmad Yani dan menganggapnya sebagai kakak.
Ketika Sarwo Edhie memimpin pasukan RPKAD ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menumpas PKI, ini lebih merupakan balas dendam pribadi.
Sarwo Edhie dekat dengan Yani karena sama-sama berasal dari Purworejo. Dan Yani yang mengangkat Sarwo Edhie menjadi komandan RPKAD (1964-1967).
“Pada pagi 3 Oktober 1965, Soeharto dipanggil ke Bogor... Soeharto berangkat ke Bogor pagi itu dan melihat Sarwo Edhie yang baru saja keluar dari pertemuan dengan presiden. Dia tidak pernah percaya kepada Sarwo Edhie sejak itu,” kata Jusuf dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1995-1998.
Menurut Christianto Wibisono dalam Jangan Pernah Jadi Malaikat: Dari Dwifungsi Penguasaha, Intrik Politik, sampai Rekening Gendut, di antara generasi jenderal yang menonjol, memang tidak ada yang dijadikan wakil presiden oleh Soeharto.
Semua yang berpotensi disingkirkan, termasuk Sarwo Edhie, yang hanya berputar dari Pangdam Bukit Barisan, Pangdam Papua, gubernur Akademi Militer, duta besar di Korea Selatan, inspektur jenderal Departemen Luar Negeri, kepala BP7, dan terakhir mengundurkan diri dari DPR sampai akhir hayatnya pada 9 November 1989.\
Komandan Pembantaian Pasca-G30S
Pagi buta 1 Oktober 1965, menurut Julius Pour dalam G30S: Fakta dan Rekayasa (2013), rumah Sarwo di Cijantung didatangi dua ajudan Menpangad.
Dua ajudan itu melapor kepada Sarwo soal Yani yang mengenaskan.
Tak tunggu lama, Sarwo Edhi segera menghubungi Komandan Batalyon I RPKAD, Mayor Chalimi Iman Santoso.
Setelah tahu pasukan Mayor Santoso di Senayan, Sarwo beri perintah: “Tarik semua, kembalikan segera ke Cijantung [markas RPKAD].”
Baca Juga:
Suiswanto Khawatir Bangunan Ambruk Sewaktu-waktu, Kondisi Kantor Kecamatan Kuala Jambi Rusak
Ini Penjelasan Syahirsah Terkait Insiden ASN Ditahan di Ruangan Usai Pelantikan
Laporan Dugaan Perusakan Baliho Caleg PAN Hendri Novriza Dibatalkan, Ini Penjelasannya
Kebetulan, di Cijantung ada pasukan RPKAD dari Kandang Menjangan, Solo.
Salah satu kompinya dipimpin Letnan Satu Feisal Tanjung yang di dalamnya terdapat peleton yang dikomandani Letnan Dua Sintong Pandjaitan.
Sedianya, pasukan Kandang Menjangan akan dikirim ke Kalimantan dalam rangka operasi ganyang Malaysia.
Hari itu, pasukan tersebut ikut serta di bawah komando Sarwo.
Mereka dilibatkan dalam pembersihan G30S. Peleton pimpinan Sintong bahkan merebut RRI.
Setelah 1 Oktober itu, Sarwo bersama pasukannya bergerak ke arah pangkalan udara Halim Perdanakusumah.
“Kolonel Sarwo Edhie Wibowo masuk pertigaan HEK dengan menumpang APC FV603 Saracen Kompi B Kostrad yang berstatus B/P pada RPKAD,” aku Sintong dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) yang disusun Hendro Subroto. Ketika bergerak maju, pasukan ini terlibat baku tembak dengan lawannya.
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:
NONTON VIDEO TERBARU KAMI DI YOUTUBE:
IKUTI FANSPAGE TRIBUN JAMBI DI FACEBOOK: