Sejarah Perjuangan Sultan Thaha Saifuddin, Pahlawan Nasional Jambi, Gugur Saat Gerilya Usir Belanda

Sultan Thaha Saufuddin, telah diangkat sebagai pahlawan nasional yang telah membumi dari negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: bandot
TRIBUNJAMBI/MAREZA SUTAN AJ
Patung Sultan Thaha Saifuddin 

Laporan Wartawan Tribunjambi.com, Mareza Sutan A J

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Namanya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Provinsi Jambi.

Sultan Thaha Saufuddin, telah diangkat sebagai pahlawan nasional yang telah membumi dari negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, melalui Keputusan Presiden Rapublik Indonesia (Kepres RI) no 079 TK/ 1977.

Menelusuri sejarah singkatnya, Tribunjambi.com mengunjungi Museum Perjuangan Rakyat Jambi.

Di sana, kisah perjuangan Sultan Thaha Saifuddin terungkap.

Dia adalah keturunan ke-17 dari Ahmad Salim (Datuk Paduko Berhalo) dan Putri Selaras Pinang Masak.

Sultan Thaha dilahirkan pada 1816, di Keraton Tanah Pilih Jambi.

Ayahnya adalah seorang Raja di Kejaraan Melayu Jambi, bernama Sultan Muhammad Fachrudin.

Pahlawan yang dikenal dengan kegigihannya berjuang di Tanah Jambi itu memiliki nama kecil Raden Thaha Jayadiningrat.

Menginjak usia remaja, Raden Thaha sudah menonjolkan karakter sebagai seorang pemimpin.

Anak Raja Kerajaan Melayu Jambi itu merupakan sosok yang berpendirian Teguh dan tegas dalam mengambil keputusan, bersikap terbuka, lapang dada, berjiwa kerakyatan, dan taat menjalankan agama Islam.

Tidak sampai di sana, untuk lebih memperdalam pengetahuan tentang ajaran agama Islam Raden Thaha menuntut ilmu agama di Kesultanan Aceh.

Baca: Video Drone Kondisi Terkini Gunung Anak Krakatau, Puncak Kawah Hilang dan Air Laut Kuning

Baca: VIDEO: Detik-detik Kuburan di Gorontalo Dibongkar Paksa Gegara Beda Pilih Caleg, 2 Jenazah Dipindah

Baca: Konglomerat dan Pejabat yang Dilayani Artis Prostitusi Online Diminta Diungkap, Hotman Paris Kesal

Baca: Kondisi Terbaru Ustaz Arifin Ilham yang Dirawat di Rumah Sakit Malaysia, Ungkap Keajaiban Doa

Selama dua tahun, dia memperdalam ajaran Islam. Dari sanalah, selain mendapatkan ilmu agama, dia juga mendapatkan pendidikan tentang kebangsaan.

Semangat juang untuk menegakkan Islam dan tekad untuk menentang imperialisme Belanda selalu tertanam dalam jiwanya.

Berita Terkini Unik dan Menarik Ikuti Fans Page Tribun Jambi

Konon, saat itu Belanda sudah menjadi musuh kesultanan Aceh dan Jambi.

Dengan semangat dan tekad itu, Sultan Aceh kemudian menyematkan nama imbuhan padanya, yakni Saifuddin.

Kata itu diambil dari bahasa Arab yang berarti 'pedang agama'.

Sejak saat itulah, Raden Thaha mulai dikenal dengan nama Raden Thaha Saifuddin.

Kembali dari perantauannya, Raden Thaha yang pulang dari Aceh disambut tulus oleh ayahnya, Sultan Muhammad Fachruddin.

Follow Instagram Tribun Jambi

Dia diberi kepercayaan sebagai duta keliling yang tugasnya mempererat hubungan persahabatan dan ukhuwah Islamiyah dengan kerajaan-kerajaan sahabat di Malaya, Tumasik (Singapura), juga di Patani (Siam).

Dalam lawatannya jualah, Raden Thaha Saifuddin sekaligus menimba pengalaman dari tempat yang dia kunjungi.

Pada tahun 1841, ayahnya wafat.

Tahtanya diserahkan kepada pamannya, Abdurrahman Zainuddin.

Raden Thaha Saifuddin diangkat sebagai Pangeran Ratu (putra mahkota) dengan gelar Pangeran Ratu Jayadiningrat sekaligus Perdana Menteri.

Dalam menemban tugasnya itulah, dia mencanangkan agar seluruh rakyat pandai membaca Alquran dan menulis aksara Arab.

Tidak hanya itu, dia juga turut memajukan pertanian, perkebunan, peternakan, dan pengelolaan hasil hutan serta mengintensifkan penambangan emas.

Semua kegiatan itu dipertanggungjawabkan kepada pepatih dalam, pepatih luar, dan jenang.

Raden Thaha naik tahta ketika Sultan Abdurrahman Zainuddin wafat. Dia dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu Jambi.

Baca: Aturan Pacaran Ala Anggota TNI, Komandan Tentukan Jodoh, Dilarang Lakukan Hal Ini Atau Babak Belur

Baca: Foto Mantan Panglima TNI Ini Terpasang di Baliho Prabowo-Sandi, Gatot Nurmantyo: Turunkan Secepatnya

Dalam pidato pengukuhannya, dia menyatakan rasa tidak senang terhadap Belanda. Itu pula yang menjadi alasan Sultan Thaha Saifuddin membatalkan semua perjanjian yang telah dibuat sultan-sultan terdahulu.

Dia menganggap perjanjian itu tidak adil, juga sangat merugikan rakyat dan Kesultanan Jambi.

Mendengar pernyataan itu, pemerintah Belanda memberi wewenang kepada residen yang berkedudukan di Palembang untuk berunding, agar Kesultanan Jambi mau mengakui pemerintahan Belanda.

Dalam rundingan itu disebutkan, Sultan Thaha Saifuddin tetap berkuasa, namun wilayah kekuasaannya diakui sebagai pinjaman dari pemerintahan Belanda.

Dengan tegas, Sultan Thaha Saifuddin tetap bersikukuh menentangnya, sehingga Belanda mengancam akan menurunkan Sultan Thaha Saifudin dari tahtanya. Meski begitu, dia tetap tidak berkenan untuk berunding.

Bahkan, dia menyatakan kerajaan Jambi adalah hak rakyat Jambi dan akan dipertahankan hingga tetes darah penghabisan.

Mendengar pernyataan tegasnya, pemerintahan Belanda naik pitam. Bendera perang berkibar. Pertempuran tak dapat dielakkan dan pecah sejak 1858.

Subscribe Youtube Tribun Jambi

Pertempuran terus meluas hingga ke daerah-daerah di wilayah Jambi. Dalam peperangan panjang itu, Sultan Thaha Saifuddin beserta pasukannya melakukan gerilya ke daerah Uluan, guna menghindari kepungan musuh.

Berbagai taktik dilakukan dalam pertempuran itu.

Dalam pertempuran sengit itu, Sultan Thaha dan pasukannya sempat melumpuhkan pertahanan Belanda di Batang Asai.

Selain itu, bersama pasukannya, dia juga berhasil menenggelamkan kapal perang Hotman milik Belanda.

Selama menjabat, Sultan Thaha Saifuddin melakukan banyak hubungan diplomasi dengan beberapa negara, seperti Turki, Inggris, dan Amerika.

Tujuannya, untuk memperoleh bantuan persenjataan dan amunisi, guna menghadapi pertempuran dengan Belanda.

Baca: VIDEO: Bak di Film, Pesinetron Ammar Zoni Berlutut di Depan Irish Bella, Maukah Kau Jadi Istriku?

Baca: Tampang Personel Girlband BLACKPINK Sebelum Terkenal, Ada yang Wajahnya Masih Lugu dan Polos

Masa perlawanan terhadap Belanda di bawah kepemimpinan Sultan Thaha berlangsung sekitar 46 tahun.

Sekali waktu dalam pertempuran yang sengit, dini hari 27 April 1904 di Betung Bedarah, Sultan Thaha Saifuddin tak henti-hentinya mengumandangkan takbir.

Dalam pekikan takbir itu pula, akhirnya Tuhan menjemputnya.

Dia gugur dalam peperangan itu, pada usia 88 tahun sebagai Kesuma Bangsa.

Sepeninggal Sultan Thaha Saifuddin, perjuangan melawan Belanda tidak sampai di situ.

Satu di antara pengikut setianya, Muhammad Thahir, yang lebih dikenal dengan Raden Mattaher melanjutkan perjuangannya, memegang panji Kerajaan Melayu dan rakyat Jambi.

Raden Mattaher adalah seorang panglima perang gerilya yang dikenal dengan sebutan 'Singa Kumpeh' ini tidak membiarkan seorang pun Belanda bercokol di negeri Jambi.

Namun, setelah beberapa tahun bergerilya, dia pun gugur pada 1907. (mareza sutan a j)

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved