Jadi Sorotan. Ini Deretan Korban UU ITE yang Menjadi Perhatian Publik Tanah Air
UU ITE bukan cuma menjerat Baiq Nuril. Sebelumnya ada kasus-kasus UU ITE yang juga menyedot perhatian publik Tanah Air
TRIBUNJAMBI.COM - Kasus UU ITE, yang dialami Baiq Nuril Makmun, akhir-akhir ini menjadi sorotan publik tanah air. Bahkan, publik memperjuangkan agar Baiq Nuril Makmun, terpidana UU ITE tidak dipenjara setelah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Kejari Mataran NTB.
Meluasnya dukungan bagi Baiq Nuril Makmun, mantan guru honorer SMAN Mataram, NTB, yang menjadi korban pelecehan kekerasan seksual dan divonis bersalah melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik ITE, mendorong Kejaksaan Agung untuk menunda eksekusi yang sedianya dilakukan pada Rabu (21/11/2018) lalu.
UU Informasi dan Transaksi Elektronik ITE yang diberlakukan sejak tahun 2008 awalnya dibuat untuk menjamin hak dan kebebasan orang menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi secara bertanggungjawab.
Baca: Kasus Baiq Nuril, Hotman Paris Temukan Celah Pada UU ITE Untuk Bebaskan Baiq Nuril dari Jerat Hukum
Baca: Baiq Nuril Bebas dari Ancaman Hukum UU ITE, Isi Rekaman di Putusan Kasasi Tersebar, Begini Isinya
Pasal 1 UU No.11 Tahun 2008 itu mendefinisikan “informasi elektronik” tidak saja terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, dan foto; tetapi juga electronic data interchange EDI, surat elektronik (email), telegram, teleks, telecopy, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki arti atau dapat dipahami.
Siapa saja yang merasa dirugikan oleh “informasi elektronik” yang dikumpulkan, disiapkan, disimpan, diproses, diumumkan, dianalisa dan/atau disebarkan orang lain, dapat dijerat UU ITE ini.
Cakupan yang begitu luas membuat banyak orang menjadi “korban.”
UU ITE bukan cuma menjerat Baiq Nuril. Sebelumnya ada kasus-kasus UU ITE yang juga menyedot perhatian publik Tanah Air
Prita Mulyasari, Pasien Rumah Sakit, Tangerang, 2008-2012

Prita bisa disebut sebagai orang pertama yang dijerat UU ITE, karena terjadi hanya satu tahun setelah UU No.11 Tahun 2008 itu diberlakukan.
Prita dilaporkan oleh RS Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, karena mengirim surat elektronik atau email yang berisi keluhan atas layanan rumah sakit itu kepada beberapa rekannya.
Ketika proses hukum bergulir Prita sempat ditahan di Lapas Perempuan Tangerang.
Prita Mulyasari dan sumbangan dari para pendukungannya untuk membayar denda yang dituntut oleh RS Omni International. Pengadilan Negeri Tangerang mewajibkan Prita membayar denda 204 juta rupiah kepada RS Omni, dan putusan ini dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Banten.
Baca: Jadwal Timnas Indonesia Vs Filipina Grup B Piala AFF Suzuki 2018, Garuda Muda Harus Berjuang Keras
Putusan ini memicu simpati publik yang kemudian membentuk kelompok ‘’Koin Untuk Prita’’ yang akhirnya berhasil mengumpulkan Rp. 825.728.550 – empat kali lipat dibanding denda yag harus dibayar Prita.
Melihat dukungan yang sangat besar itu, RS Omni mencabut gugatan perdata atas Prita sehingga ia terbebas dari kewajiban membayar denda. Namun di tingkat kasasi Prita tetap dinyatakan bersalah dan dipidana enam bulan penjara. Baru pada tahun 2012 Mahkamah Agung menyatakan Prita tidak bersalah.
Ariel Peter Pan

Nazriel Irham atau dikenal sebagai Ariel, dijerat pasal berlapis dalam UU ITE dan juga UU Pornografi karena merekam video porno yang dituduh diperankan oleh dirinya dan dua perempuan mirip artis Luna Maya dan Cut Tari.
Kasus mantan vokalis “Peter Pan” ini menarik perhatian luas publik karena sebagian pakar hukum menilai Ariel tidak bersalah mengingat rekaman videonya untuk konsumsi pribadi sehingga tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana.
Baca: Bus Tayo di Sukoharjo Mendadak Viral, Ini Dia Penampakannya, Ajak Wisatawan Keliling Taman
Tetapi UU ITE menjeratnya karena kemudian rekaman video itu tersebar luas. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Bandung tahun 2010, Ariel dinyatakan bersalah dan divonis 3,5 tahun penjara dan denda 250 juta rupiah.
Ia sempat dipenjara di Lapas Kebun Waru Bandung, sebelum akhirnya dipindahkan ke Mabes Polri dan kemudian ke Lapas Sukamiskin.
Setelah mendapatkan beberapa kali keringanan, Ariel hanya menjalani hukuman dua tahun satu bulan penjara.
Muhammad Arsyad, Aktivis, Makassar, 2013-2014
Aktivis anti-korupsi ini diperiksa selama tiga hari di Polda Sulawesi Selatan dan dipenjara selama 100 hari di rutan Makassar setelah dituduh melanggar UU ITE pada tahun 2013 lalu.
Ia dilaporkan oleh seorang anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar karena menulis pernyataan di Blackberry Messenger BBM yang dinilai mencemarkan nama baik pengusaha Nurdin Halid.
Belum jelas bagaimana tulisan “No fear, Nurdin Halid koruptor! Jangan pilih adik koruptor!” itu tersebar luas, tetapi sebelum dijerat UU ITE ini, Arsyad juga dituduh menghina keluarga Nurdin Halid ketika menjadi narasumber di Studio Celebes TV Makassar pada 24 Juni 2013. Setelah siaran Arsyad dikeroyok sekelompok orang. Pelaku sempat ditahan, tetapi dibebaskan tak lama berselang.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada 28 Mei 2014 Arsyad dibebaskan dari seluruh tuntutan jaksa karena tidak ada bukti kuat tentang kebenaran status BBM tersebut.
“UU ITE yang diberlakukan pada tahun 2008 ini harus dicabut karena jika masih ada, tindak kriminalisasi terhadap warga masyarakat masih akan terus terjadi. Hari ini menjerat Ibu Baiq Nuril, lima tahun lalu menjerat saya, delapan tahun lalu menjerat Ibu Prita; bukan tidak mungkin besok, minggu depan, bulan depan atau tahun depan menjerat Anda karena menyampaikan keluhan atau kritik atau curhat terhadap orang atau pihak lain. Hingga hari ini sudah 300 orang lebih jadi korban,” ujar Arsyad kepada VOA.
Muhammad Arsyad kini menjadi Ketua Paguyuban Korban UU ITE.
Anindya Joediono, Mahasiswa, Surabaya, 2018

Anindya Joediono, mahasiswa semester V Universitas Narotama, Surabaya, ketika berdemonstrasi menentang penggusuran Pasar Pandugo, Surabaya, (6/8/2018).
Aktivis Front Mahasiswa Nasional Universitas Narotama ini dijerat UU ITE karena mengunggah ‘curhat’ lewat akun Facebook pribadi, yang mengisahkan kronologi penggerebekan di asrama mahasiswa Papua di Jl. Kalasan 10 Tambaksari, Surabaya, oleh aparat keamanan Juli 2018, dan pelecehan seksual yang dialaminya.
Anindya menilai penggerebekan itu hanya untuk menghentikan diskusi tentang pelanggaran HAM di Papua, karena aparat gabung yang terdiri dari polisi, TNI dan Satpol PP ketika itu tidak dapat menunjukkan surat perintah penggerebekan mereka.
Ketika kemudian diperiksa, Anindya dilecehkan secara seksual dan diseret beramai-ramai. Anindya menuliskan kronologi yang dialaminya di Facebook.
Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya IKBPS Pieter F. Rumaseb, yang membantah adanya pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap mahasiswa dalam operasi penggerebekan itu, melaporkan Anindya ke otoritas berwenang.
Hingga kini kasusnya masih berjalan. Anindya, mahasiswa semester lima Universitas Narotama, kini masih berstatus saksi.
“Saya berharap tuntutan terhadap saya dicabut. Juga agar pemerintah serius merevisi UU ITE, terutama pasal-pasal karet yang berisi soal pencemaran nama baik. Harus ada definisi yang lebih rigid apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik,” tegas Anindya ketika diwawancarai VOA Minggu (18/11/2018) malam.(*)