Selain Sekda, Pengurus Koperasi dan Notaris Turut Bersaksi di Kasus Perumahan PNS Sarolangun

Usai memeriksa Sekda Sarolangun, Thabroni Rozali, sidang lanjutan kasus dugaan korupsi perumahan PNS di Kabupaten Sarolangun

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Nani Rachmaini
tribunjambi/mareza sutan a j
Sidang kasus perumahan PNS Sarolangun. (22/10/2018). 

Laporan Wartawan Tribunjambi.com, Mareza Sutan A J

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Usai memeriksa Sekda Sarolangun, Thabroni Rozali, sidang lanjutan kasus dugaan korupsi perumahan PNS di Kabupaten Sarolangun masih berlanjut dengan pemeriksaan empat saksi lain, Senin (22/10/18).

Di antaranya, Irmayanti selaku ketua KPN Pemkasa, Ahmad Effendi selaku Sekretaris KPN Pemkasa, Teti Kartika Sunansih selaku Bendahara KPN Pemkasa, dan Syahrit Tanzil selaku notaris.

Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Edi Pramono itu, Irmayanti mengakui sempat rapat untuk menarik sertifikat yang diagunkan di Bank BTN.

"Tanggal 11 Desember 2013, ada rapat, untuk menarik sertifikat karena ada temuan BPK," katanya.
Selain itu, mereka juga membahas tentang perjanjian kerja sama dengan PT NUA. Namun, kata dia, perjanjian itu terkesan berat sebelah.

"Surat itu sangat memberatkan koperasi karena ada kalimat 'dengan menjaminkan sertifkat 16,17,18'. Lalu diubah pengawas kami. Yang kalimat itu dihilangkan. Baru sudah itu kami tanda tangani," jelasnya.

Effendi menambahkan, pada Desember 2013, diadakan rapat dua kali.

"Rapat ada dua kali, tanggal 2 dan 11 Desember. Rapat itu untuk menarik sertifkat di BTN. Kami pengawas sebagai yang ditunjuk, mengadakan rapat supaya ditarik dulu srtifikat itu.

Kemudian baru dilanjutkan (perjanjian), tapi bukan untuk menggadaikan sertifikat," jelasnya.
Selanjutnya, Teti menyebutkan, hasil rapat tersebut, mereka sepakat untuk kembali melanjutkan pembangunan dengan PT NUA.

"Dalam rapat itu sepakat tetap dengan PT NUA," katanya.

Selanjutnya, Syahrit menjelaskan, sertifikat sudah dipegang Bank Muamalat Desember 2013 dan koperasi sebagai pemegang jaminan.

"Sertifikat itu sudah di Bank Muamalat Desember 2013. Sertifikat dan permohonan roya (pelunasan hak tanggungan) sudah saya terima tanggal 16 Desember 2013," katanya.

Namun, berdasarkan barang bukti lain, pembayaran baru dilakukan pada tanggal 20 Desember 2013.
Persidangan sempat berlangsung alot. Lebih lanjut, diketahui Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) baru diterima sekitar Januari 2014.

Atas hal tersebut, Syahrit mengaku tidak tahu. Dia hanya menjelaskan sebagaimana yang dia ketahui.
"Saya sampaikan ke bank mau pun nasabah, kami menunggu perjanjian kredit Bank Muamalat. Kemudian menunggu royal keluar, sehingga SKMHT jadi tanggal 28 Januari 2014," katanya.

Sidang tersebut akan kembali digelar pada Kamis (25/10/18) masih dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.

Untuk diketahui, kasus ini menjerat tiga terdakwa, di antaranya M Madel selaku mantan Bupati Sarolangun, Joko Susilo selaku mantan Ketua Koperasi Pemkasa dan Ferry Nursanti selaku rekanan.
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan hasil penghitungan kerugian daerah nomor 2/LHP-PKM/XVIII.JMB/8/20!6 tanggal 3 Agustus 2016 dari BPK RI perwakilan provinsi Jambi tentang Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Daerah atas pengalihan hak atas tanah Pemerintah Kabupaten Sarolangun kepada Koperasi Pegawai Negeri Pemkasa pada Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Sarolangun, tahun anggaran 2005 yang menyatakan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 12.956.240.172.

Perbuatan ketiga terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Secara subsidair, perbuatan ketiga terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus ini turut menyeret sejumlah nama, di antaranya Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Sarolangun, Hasan Basri Harun (HBH), dan Ade Lesmana Syuhada.

Diberitakan sebelumnya, kasus perumahan PNS Sarolangun merupakan pembangunan rumah 600 unit sesuai perencanaan. Namun, yang terealisasi hanya 60 rumah. Temuan BPK (Badan Pemetiksa Keuangan) menemukan adanya dugaan korupsi pada pelepasan hak atas aset berupa tanah milik Pemerintah Kabupaten Sarolangun yang luasnya 241.870 meter persegi dengan nilai Rp12,09 miliar.
(cre)

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved