Harmoni Dalam Komunitas Orang Rimba, Kisah Perkawinan Lintas di Jambi
Mereka malu-malu bercengkerama satu sama lain. Dalam suasana jatuh cinta Baya dan Qori menikah.
Penulis: Jaka Hendra Baittri | Editor: Duanto AS
Rombongan Badai rata-rata menganut kepercayaan berdoa pada nenek moyang. Itu berbeda dengan rombongan Hari yang banyak memeluk Islam.
Pujiono selaku guru ngaji setempat, yang ditawari pemerintah untuk menjadi guru ngaji di perumahan itu, mengatakan dua rombongan saling menghormati.
“Menghormati pilihan masing-masing,” katanya.
“Orang tua mereka (rombongan Hari) ini kan banyak yang Islam. Tapi yang belum Islam yang sana (rombongan Badai). Istilahnya kamu-kamu dan aku-aku. Dak berani makso-makso (memaksa). Cuma istilahnya saling menghormati. Istilahnya aku menghormati kamu dan kamu menghormati kamu. Itu damai,” katanya.
Setiap maghrib mereka pun belajar mengaji di musala yang berukuran sekitar 7x6 meter, berbentuk persegi panjang dan berbahan asbes.
Beruntung tak seperti rumah asbes di kompleks itu pecah-pecah, musala ini masih terjaga.
Hanya musala dan rumah Pujiono, guru mengaji, yang diterangi lampu dari genset.
Mak Nur yang merupakan istri Tumenggung Hari mengatakan sudah empat tahun rombongannya banyak masuk Islam.
Sedangkan tinggal di perumahan SAD sudah tiga tahun.
Selama empat tahun itu mereka juga hidup berdampingan dengan rombongan Suku Anak Dalam atau orang Rimba rombongan lain.
Mak Nur mengatakan rombongan mereka ada 40 orang baik anak-anak, laki-laki dewasa dan perempuan dewasa.
Sedangkan rombongan Badai ada 20 orang. Rombongan Badai masih pindah-pindah, maksudnya kadang tinggal di rumah yang diberikan pemerintah.
Namun, tak jarang tidur di hutan belakang karena cuaca yang panas. Mereka memasang tenda untuk tidur di hutan.
Terkait agama rombongan Hari sudah banyak yang masuk Islam sebagian.
Sedangkan rombongan Badai belum ada. Namun, mereka tidak sibuk mengurusi agama satu dengan kepercayaan satunya.