Tak Ada Kerajaan Sriwijaya, Wenri Wanhar Ungkap Tabir Misteri Seabad
Lewat penelusuran ke lapangan dalam kisah yang sangat panjang, dia menemukan bahwa sebenarnya Kerajaan Sriwijaya tidak pernah ada.
Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Andreas Eko Prasetyo
Laporan Wartawan Tribun Jambi, Suang Sitanggang
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Sejarawan muda Wenri Wanhar melakukan riset kemaritiman, dan menemukan serta mengungkap fakta mencengangkan.
Lewat penelusuran ke lapangan dalam kisah yang sangat panjang, dia menemukan bahwa sebenarnya Kerajaan Sriwijaya tidak pernah ada.
Hal itu disampaikan Wenri Wanhar dalam dialog yang membahas rencana kelahiran sepasang buku yang sedang dalam tahap finalisasi, di Candi Kedaton komplek percandian Muarojambi, Minggu (23/9/2018) siang hingga sore.
Penulis buku berjudul Jejak intel Jepang: kisah pembelotan Tomegoro Yoshizumi mengatakan, Sriwijaya memang muncul dalam sejumlah prasasti dan batu bersurat, dan seluruhnya diiringi dengan kata kedatuan dan datuk.
"Sriwijaya memang kedatuan, kedaton, semacam civitas akademika atau perguruan tinggi. Sriwijaya itu tempat orang mengampuh ilmu," papar Wendri pada diskusi yang diadakan oleh AJI Kota Jambi, Seloko Institute, dan Padmasana Foundation.
Wenri mengungkapkan, karena ilmu yang didapatkan di kedaton cukup luas, maka alumni dari kedaton mendapat julukan sebagai dato, datu, datuk, atau datuak. Dalam bahasa sansekerta memiliki arti yang mulia.
Artinya, alumni kedaton merupakan manusia yang mulia yang ilmunya dimajukan selangkah dan seranting ditinggikan.
Baca: Sriwijaya Bukan Nama Kerajaan dan Bukan Nama Raja, Reportase dari Wenri Wanhar

Pada diskusi ini juga turut hadir Staf Ahli Menteri Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi, DR Ir Tukul Rameyo MT.
Selain itu dihadiri unsur pemerintahan, akademisi, sejarawan, dan budayawan Jambi, warga di sekitar Candi Muarojambi, dan para jurnalis.
Semua terlihat antusias mendengarkan penjelasan dari Wenri, yang sedang memaparkan isi dan latarbelakang sepasang buku yang mengulas hal tersebut, yakni Sri Buddha: Bukan Sriwijaya dan Bangsa Pelaut: Kisah Setua Waktu.
Ia mengatakan bahwa hingga kini tidak ada narasi tertulis, pun tutur lisan yang menyebut hal ikhwal Kerajaan Sriwijaya.
Penggunaan Kata Sriwijaya bermula H Kern yang meneliti batu bersurat menyerupai lingga di Pulau Bangka.
Batu itu setinggi 177 sentimeter, dengan lebar dasar 32 cm, dan lebar puncak 19 cm.
Kern meneliti batu itu secara cermat sejak 1902. Pada 1913 dia menulis buku yang berjudul De Inscriptie van Kota Kapur, yang dimuat di majalah ilmiah bergengsi, Bijdragen Koninklijk Institut.
Baca: Sriwijaya Bukan Kerajaan, Bukan Pula Nama, Wenri Wahar Paparkan Teori dan Sejarah Nenek Moyang

Dalam majalah ilmiah itu. Kern menerangkan bahwa 10 baris tulisa yang berpahat di Prasasti Kota Kapur menggunakan aksara Pallawa berbahasa Melayu Kuno, dibuat pada 608 saka atau 686 Masehi.
Menurut bacaan dan tafsirnya, prasasti di tepi Sungai Mendu itu dimaklumatkan oleh seorang raja bernama Wijaya, yang menguasai Pulau Bangka pada abad 7.
Ada empat kata "Sri Wjiaya" dalam prasasati tersebut. Sri Wijaya menurut Kern, berdasarkan apa yang tertulis di prasasti, adalah nama seorang raja. Sri sebutan untuk raja, dan Wijaya adalah nama orangnya.
Kern menerjemahkan bahwa Sri Wijaya adalah Raja Wijaya. namun Kern tidak pernah menyebut bahwa Sriwijaya adalah nama kerjaaan.
"Namun perlu diketahui bahwa hingga kini tidak ada narasi tertulis, pun tutur lisan yang menyebut hal ikhwal Kerajaan Sriwijaya," tutur Wenri.
Selanjutnya George Coedes, ilmuwan Perancis kelahiran 1886, menulis artikel Le Royyaume de Crivijaya, sebuah naskah berbahasa Perancis, yang artinya Kerajaan Sriwijaya.
Baca: Rahasia Ahok Tambah Kaya di Penjara, Pabrik Uang dan 4 Investasi Besarnya Meski Tak Jadi Pejabat
"Inilah narasi pertama yang memperkenalkan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan. Ini baru seabad yang lalu," ungkapnya.
Lalu ilmuwan bernama Ferrand memaknai buku Coeder dan tafsir-tafsir pada pendukung Coedes dan berhasil membangun narasi Kerajaan Sriwijaya yang meyakinkan, karena lihainya dia untuk menggunakan sumber dari berita Arab dan China.
Ferrand membangun dramaturgi dengan memanfaatkan sumber berita Arab awal Masehi, seperti catatan Ibnu Hordazbih (844-848) berjudul Kitab al masalik wa'l mamalik.
Padahal di kitab itu jelas-jelas tertulis "Raja Zabak dinamai Maharaja".
"Tapi mereka main sirkus dengan mengatakan bahwa dalam Bahasa Arab dan Parsi, Sriwijaya dinamai Zabak," ungkap Wenri.
Baca: Sriwijaya Bukan Kerajaan, Bukan Pula Nama
Lalu sarjana-sarjana berikutnya mengamini saja teori-teori tersebut, sehingga setiap muncul diksi Zabak atau yang sebunyi dengan itu, langsung dianggap Sriwijaya. Padahal, terang Wendri, tak satu pun kata Sriwijaya terdapat di dalamnya.
Wendri mengatakan bahwa dua buku yang akan cetak Oktober ini layaknya sepasang kekasih, kedua naskah buku ini saling melengkapi.
Ia meyakini bahwa kabar dari masa lampau, peradaban di Jambi kita yang paling tua. Ia juga mengatakan bahwa di dalam buku tersebut, ia hanya bercerita apa adanya.
"Tak penting meganggap cerita kita yang benar, cerita ini hanya segemgam daun kebenaran di antara rimbunnya dedaunan di hutan," tuturnya.
Ia juga mengatakan, di dalam kedua bukunya itulah nanti akan di jelasnkan mulai dari teori sejarah kerajaan Sriwijaya hingga meceritakan tentang nenek moyang seorang pelaut.
Dukungan Tokoh
Para peserta dialog buku di Candi Kedaton mendukung penuh Wenri Wanhar untuk segera mencetak dan mengedarkan sepasang buku yang naskahnya sudah selesai tersebut.
Dukungan di antaranya disampaikanStaf Ahli Menteri Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi, DR Ir Tukul Rameyo MT.
Tukul mengatakan buku tersebut sebaiknya segera dicetak, untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan masyarakat, terutama tentang kemaritiman.
Dia bilang, kalaupun nantinya akan ada polemik, hal itu bukan sebuah masalah. "Kalau nantinya ada polemik, itu hal biasa," ungkap Dr Tukul.
Baca: Siapa Sangka, Anak Broken Home yang Selalu Berpindah-pindah Keluarga ini Jadi Presiden RI Terlama
Dia menganggap buku ini sangat penting juga sebagai masukan bagi pemerintah untuk mematangkan konsep poros kemaritiman Indonesia.
Buku Bangsa Pelaut yang ditulis Wendri ini, menurutnya, ke depan bisa menjadi bagian penting dalam ilmu dan pengetahuan.
Dukungan juga disampaikan oleh utusan dari Bupati Muarojambi, dari budayawan dan akademisi di Jambi, serta penyelenggara acara.
Tujuannya adalah membuka tabir kebenaran, memperdalam literasi sejarah negeri. (*)
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM: