Tak Ada Kerajaan Sriwijaya, Wenri Wanhar Ungkap Tabir Misteri Seabad

Lewat penelusuran ke lapangan dalam kisah yang sangat panjang, dia menemukan bahwa sebenarnya Kerajaan Sriwijaya tidak pernah ada.

Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Andreas Eko Prasetyo
TribunJambi/Suang Sitanggang
Sejarawan Wenri Wanhar (baju merah) sedang memberi paparan tentang sejarah Sriwijaya, Minggu (23/9). Wenri menyebut Sriwijaya bukanlah sebuah kerajaan, dan hal itu dia ulas dalam dua buku yang akan segera terbit. 

Dalam majalah ilmiah itu. Kern menerangkan bahwa 10 baris tulisa yang berpahat di Prasasti Kota Kapur menggunakan aksara Pallawa berbahasa Melayu Kuno, dibuat pada 608 saka atau 686 Masehi.
Menurut bacaan dan tafsirnya, prasasti di tepi Sungai Mendu itu dimaklumatkan oleh seorang raja bernama Wijaya, yang menguasai Pulau Bangka pada abad 7.

Ada empat kata "Sri Wjiaya" dalam prasasati tersebut. Sri Wijaya menurut Kern, berdasarkan apa yang tertulis di prasasti, adalah nama seorang raja. Sri sebutan untuk raja, dan Wijaya adalah nama orangnya.

Kern menerjemahkan bahwa Sri Wijaya adalah Raja Wijaya. namun Kern tidak pernah menyebut bahwa Sriwijaya adalah nama kerjaaan.

"Namun perlu diketahui bahwa hingga kini tidak ada narasi tertulis, pun tutur lisan yang menyebut hal ikhwal Kerajaan Sriwijaya," tutur Wenri.

Selanjutnya George Coedes, ilmuwan Perancis kelahiran 1886, menulis artikel Le Royyaume de Crivijaya, sebuah naskah berbahasa Perancis, yang artinya Kerajaan Sriwijaya.

Baca: Rahasia Ahok Tambah Kaya di Penjara, Pabrik Uang dan 4 Investasi Besarnya Meski Tak Jadi Pejabat

"Inilah narasi pertama yang memperkenalkan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan. Ini baru seabad yang lalu," ungkapnya.

Lalu ilmuwan bernama Ferrand memaknai buku Coeder dan tafsir-tafsir pada pendukung Coedes dan berhasil membangun narasi Kerajaan Sriwijaya yang meyakinkan, karena lihainya dia untuk menggunakan sumber dari berita Arab dan China.

Ferrand membangun dramaturgi dengan memanfaatkan sumber berita Arab awal Masehi, seperti catatan Ibnu Hordazbih (844-848) berjudul Kitab al masalik wa'l mamalik.

Padahal di kitab itu jelas-jelas tertulis "Raja Zabak dinamai Maharaja".

"Tapi mereka main sirkus dengan mengatakan bahwa dalam Bahasa Arab dan Parsi, Sriwijaya dinamai Zabak," ungkap Wenri.

Baca: Sriwijaya Bukan Kerajaan, Bukan Pula Nama

Lalu sarjana-sarjana berikutnya mengamini saja teori-teori tersebut, sehingga setiap muncul diksi Zabak atau yang sebunyi dengan itu, langsung dianggap Sriwijaya. Padahal, terang Wendri, tak satu pun kata Sriwijaya terdapat di dalamnya.

Wendri mengatakan bahwa dua buku yang akan cetak Oktober ini layaknya sepasang kekasih, kedua naskah buku ini saling melengkapi.

Ia meyakini bahwa kabar dari masa lampau, peradaban di Jambi kita yang paling tua. Ia juga mengatakan bahwa di dalam buku tersebut, ia hanya bercerita apa adanya.

"Tak penting meganggap cerita kita yang benar, cerita ini hanya segemgam daun kebenaran di antara rimbunnya dedaunan di hutan," tuturnya.

Ia juga mengatakan, di dalam kedua bukunya itulah nanti akan di jelasnkan mulai dari teori sejarah kerajaan Sriwijaya hingga meceritakan tentang nenek moyang seorang pelaut.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved