Kejatuhan Ahok Tak Hanya Diramal Kwik Kian Gie, Sudjiwo Tedjo Bilang 'Bukan Sentimen Agama'

Dari kabar yang beredar, menyeberangnya Kwik Kian Gie ke kubu Prabowo-Sandiaga karena dia merasa diacuhkan oleh Jokowi.

Editor: Suci Rahayu PK
istimewa
Ahok, Sudjiwo Tedjo dan Kwik Kian Gie 

TRIBUNJAMBI.COM - Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapatkan dukungan dari ekonom senior Kwik Kian Gie.

Dari kabar yang beredar, menyeberangnya Kwik Kian Gie ke kubu Prabowo-Sandiaga karena dia merasa diacuhkan oleh Jokowi.

Baca: Ada 878 Formasi CPNS 2018 Untuk Lulusan SMA di Kemenkumham, Pastikan Dulu NIK/KK

Dalam buku "MENELUSURI ZAMAN: Memoar dan Catatan Kritis" (2017), Kwik Kian Gie juga pernah bercerita pertemuannya dengan Jokowi dan Megawati.

Dalam buku itu, Kwik Kian Gie menulis pertemuan Megawati, dia, dan Jokowi terjadi saat kepergian Taufik Kiemas di Singapura.

"Saya ada di Surabaya. Maka saya menyatakan bela sungkawa kepada Mbak Mega sambil mengatakan bahwa saya di Surabaya, sehingga tidak mungkin hadir pada upacara pemakamannya," tulis Kwik Kian Gie.

Kwik baru tiba di Jakarta siang hari dan segera ke Jalan Teuku Umar (kediaman Megawati).

Tiba di lokasi pukul 14.30 WIB.

Saat itu pelataran parkir disulap menjadi ruang tamu kosong.

Kwik Kian Gie bertemu Megawati dan Joko Widodo yang saat itu baru tiba dari Kalibata.

"Mbak Mega tidak bisa diganggu dua hari. Maka saya ngobrol dengan Pak Jokowi," tulis Kwik Kian Gie.

Kolase Kwik Kian Gie dan Ahok. (tribunnews/kompas.com)
Kolase Kwik Kian Gie dan Ahok. (tribunnews/kompas.com) ()

Saat itu, Kwik mengatakan kepada Jokowi bahwa Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang menjabat Wakil Gubernur tidak akan bertahan sebagai pemimpin dalam jabatan publik apapun.

Itu karena perilaku dan tutur kata Ahok yang sangat kasar.

"Itu karakter, saya sudah memberitahukan berkali-kali. Paling-paling dia sembuhnya hanya tiga hari saja," jawab Jokowi.

Saat itu, Megawati yang tengah makan memanggil Kwik Kian Gie dan mengajak ngobrol.

Mereka bicara tentang siapa yang paling cocok dicalonkan PDI Perjuangan sebagai presiden dan calon gubernur DKI.

"Ternyata apa yang dipikirkan ketika itu berlainan dengan kenyataan," tulis Kwik.

Kwik selanjutnya mengungkapkan betapa dinamisnya kehidupan politik di negeri ini.

Dalam buku yang diterbitkan tahun 2017 itu juga diceritakan bahwa saat itu Jokowi sadar bahwa tutur kata dan perilaku Ahok akan membuatnya tidak bisa bertahan sebagai gubernur.

Baca: Link Live Streaming China Open 2018 - Laga Marcus/Kevin dan 12 Wakil Indonesia

Baca: Dipenjara Kasus Korupsi, Setya Novanto Jual Rumah Untuk Cicil Uang ke KPK, Segini Harga Rumahnya

"Ternyata sekarang semuanya benar," tulis Kwik Kian Gie.

Sejumlah kritik juga dituliskan Kwik Kian Gie terhadap para pendukung Ahok.

"Yang tidak disadari oleh pendukung Ahok ialah bahwa mereka itu terkesan menjadi politisi dadakan," tulis Kwik.

Menurutnya, Ahok dan para pendukungnya tak sadar bahwa manusia mempunyai perasaan, mempunyai emosi, dan juga mempunyai emotional intelligence di samping intelligent quotient.

"Sehingga hatinya tersaikiti ketika dimaki dengan tutur kata yang sangat kasar dan kotor," tulis Kwik Kian Gie.

 Baca: Video Cristiano Ronaldo Menangis Usai Diberi Kartu Merah Setelah Berduel dengan Jeison Murillo

Baca: Hasil Liga Champions Valencia vs Juventus - Ronaldo Nangis Diganjar Kartu Merah, Juve Menang 0-2

Sudjiwo Tedjo Beberkan Penelitian Doktor, 'Ahok Jatuh Bukan Karena Sentimen Agama'

Budayawan Sudjiwo Tedjo mengungkap hasil sebuah penelitian yang mengungkap bahwa jatuhnya Mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bukan karena sentimen agama.

Hal itu disampaikan oleh Sudjiwo Tedjo di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Selasa (18/9/2018) malam.

"Dua minggu yang lalu saya baca artikel-nya Edward Ghani, direkomendari sama bekas menteri keuangan Chatib Basri, itu Ahok jatuh bukan karena sentimen agama, hasil penelitian," ujarnya dilansir dari tayangan ulangnya di YouTube Indonesia Lawyers Club tvOne, Rabu (19/8/2018).

"Tapi karena ada beberapa titik yang tidak mengalami keadilan," tambahnya.

Sudjiwo Tedjo
Sudjiwo Tedjo (dakwatuna.com)

Ia kemudian menjelaskan kalau penelitian yang ia baca itu merupakan tulisan di tingkat doktoral dari penulis yang kuliah ekonomi politik di London.

"Dia meneliti tidak seperti pandangan orang jatuhnya Ahok karena sentimen Agama, tapi di beberapa titik, dia mengungkap pada hasil penelitian itu, ada ketidak adilan sosial," ujarnya menegaskan maksud dari apa yang ia sampaikan.

Ia pun menduga, upaya kedua pasangan capres-cawapres untuk menarik ulama bisa saja tidak ada pengaruhnya terhadap suara rakyat.

"Artinya rakyat rasional, dan jangan-jangan ini tidak ada pengaruhnya. Mau Pak Jokowi didukung ulama, mau Pak Prabowo didukung ulama, walaupun saya nggak pernah denger ada yang mendukung, misalnya Pak Jokowi mendukung ulama, Pak Prabowo mendukung ulama, kan lebih enak daripada Pak Prabowo didukung ulama," bebernya.

Ia kemudian kembali menegaskan kalau hasil penelitian itu ditulis dalam Bahasa Inggris.

"Aku ngerti sedikit-sedikit, bahwa tidak seperti dugaan selama ini, Ahok jatuh bukan karena sentimen agama, atau paling tidak bukan itu satu-satunya," tutupnya.

Baca: Kemenkeu Rekrut 597 Formasi untuk CPNS 2018, Ini Daftar Formasi dan Lulusan yang Dibutuhkan

Takut dengan takbir GNPF saat dukung Prabowo

Budayawan Sudjiwo Tedjo menyindir soal takbir yang sering dikumandangkan beberapa orang jelang Pilpres 2019.

Menurutnya, takbir yang diserukan oleh beberapa orang di antaranya Penasihat GNPF, Haikal Hasan, dan Ketua GNPF Ulama, Yusuf Muhammad Martak itu menakutkan.

Hal itu secara terang-terangan disampaikan Sudjiwo Tedjo dalam tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (18/9/2018).

"Saya jelek-jelek gini kerjaan saya keliling pesantren. Tapi kenapa kalau saya mendengar sampeyan-sampeyan takbir (Haikal Hasan dan Yusuf Muhammad Martak), kok takut saya? Ya, termasuk takbirnya sampeyan (menunjuk Nusron Wahid)," kata Sudjiwo Tedjo dilansir TribunnewsBogor.com di tayangan YouTube Indonesia Lawyers Club tvOne, Rabu (19/9/2018).

Ia pun tampak bingung dan mempertanyakan apa kira-kira yang jadi alasan, kenapa ia bisa merasa takut mendengar mereka mengucap takbir.

"Mereka kok kalau takbir saya takut gitu, apa karena hidup saya terlalu kotor? Tapi rasanya nggak kotor-kotor banget hidupku," ujarnya.

Kemudian Karni Ilyas menimpali pertanyaan itu dengan menjawab setengah kotor.

"Iya, setengah kotorlah," ujarnya membenarkan pernyataan Karni Ilyas.

Sebab menurut dia, ketika seseorang mendengar takbir, bukanlah seharusnya membuat seseorang menteskan air mata.

"Atau karena takbirnya takbir yang mau gagah-gagahan? Karena menurut saya orang yang denger takbir, mestinya meluluh air matanya," jelasnya.

Ia kemudian mencontohkan dalang yang bagus, yakni Narto Sapto yang melegenda.

"Karena begitu ia mendalang, Nartonya hilang jadi wayangnya yang muncul. Nah maksudku begitu takbir kepada Allah SWT, nggak ada lagi manusia, sudah lebur, hinas di dalam kebesarannya, Saya udah nggak melihat GNPF lagi, udah nggak melihat Kyai Ma'ruf lagi," jelasnya.

Ia pun membandingkan pengalamannya saat mendengar takbir di Butet Pesantren.

Di mana takbir yang ia dengar di pondok pesatren tersebut terdengar sangat mengharukan.

"Takbir sekarang menakutkan lho, Pak Karni. Itu bisa nggak takbirnya agak diolah sedikit gitu," ujarnya kepada Haikal dan Taufik sambil mencontohkan dengan nada lembut dan medayu.

"Mungkin ya seperti itu, saya tidak tahu," ujarnya.

Ia lalu mencontohkan ucapan takbir yang menakutkan baginya saat ini.

"Kita Pilih Prabowo! Allahuakbar!! Takut kita, takut kita, gimana nggak, saya usul seperti itu," ujarnya lagi.

Ia juga mengatakan, bahwa ulama yang berpengaruh di Indonesia menurutnya saat ini, yakni ulama yang menunjukkan jalan menuju Tuhan, ulama para pencari Tuhan.

"Bukan ulama tabligh yang dicium tangannya, sorry, tapi mungkin nggak terlalu berpengaruh," tegasnya.

Ia pun mempertanyakan soal ulama yang ada di kubu Jokowi dan kubu Prabowo.

"Saya disambungkan dengan teori perwayangan yang sudah cukup lama, bahwa goro-goro keos itu terjadi kalau pandito kalau rohaniwan, kalau ulama, sudah bergabung dengan istana, diperjelas boleh bergabung asal istananya yang mencari, bukan ulama yang seperti gayung datang ke kekuasaan," jelasnya.

"Nah, saya nggak tahu ulama yang begitu, apa yang di Pak Jokowi, apa yang di Pak Prabowo," tandasnya lagi.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved