Sejarah Indonesia

Tiga Sosok Si Baret Merah Kopassus yang Berani Taklukkan Gunung Everest, Hingga Jadi Perhatian Dunia

Sudah mendunia karena setiap aksinya yang selalu menelurkan cerita heroik. Cerita tentang kehebatan Pasukan elite TNI Kopassus

Editor: Andreas Eko Prasetyo
surya/rtr
Everest 

TRIBUNJAMBI.COM - Sudah mendunia karena setiap aksinya yang selalu menelurkan cerita heroik.

Cerita tentang kehebatan Pasukan elite TNI Kopassus memang tak pernah ada habisnya.

Contohnya seperti penumpasan pemberontakan G30S/PKI, berperang melawan pasukan elite SAS di hutan Kalimantan, pertempuran dengan Fretilin di Timor Timur hingga pembebasan penyanderaan pesawat Garuda di Woyla, Bangkok.

Salah satu cerita patriotisme anggota Kopassus yang tak boleh ketinggalan untuk dibahas adalah saat pendakian ke Gunung Everest puncak tertinggi yang disebut juga atap dunia pada tahun 1997.

Seperti dikutip dari buku 'The Climb: Tragic Ambitions on Everest' karya Anatoli Boukreev (1997)

Tim Nasional Ekspedisi Everest berjumlah 43 orang, terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, Rakata, dan Mapala UI.

Setelah ekspedisi besar, tersisa 16 orang yang kemudian dibagi menjadi dua tim.

Baca: Nyawa Kopassus ini Dipertaruhkan dengan Ledakkan Diri ke Arah Fretelin Demi Kawan di Medan Perang

Baca: Apakah kamu mau menjadi istri saya? Prasetyo Bilang Ahok Memang akan Menikahi Polwan Cantik

Baca: Pembajakan Pesawat DC-Woyla Bisa Saja Tak Terjadi, Andai Prajurit TNI ini Tidak Dibunuh

6 orang naik dari sebelah utara melalui Tibet, 10 orang naik dari sebelah selatan melalui Nepal.

Tim yang dipimpin Anatoli Nikolaevich Boukreev (Kazakhastan), yang dikenal dengan The Ghost of Everest serta Richard Pawlosky (Polandia) dipilih menjadi pelatih tim.

Vladimir Bashkirov dipercaya menjadi film maker, sedangkan Dr. Evgeni Vinogradski menjadi dokter tim.

Dalam catatannya, Boukreev terkesima dengan semangat juang dan rasa patriotisme para anggota baret merah yang ikut dalam pendakian itu

Tiga orang anggota Kopassus yang berhasil menaklukkan Everest (1997) yakni Prajurit Satu (Pratu) Asmujiono, Sersan Misirin, dan Lettu Iwan Setiawan

Dalam bukunya yang berjudul The Climb, Anatoli Boukreev menceritakan kisah heroiknya mereka sebagai berikut:

"Misirin berjalan maju, perlahan tanpa pertolongan.

Asmujiono bergerak mantap, tapi seperti orang yang sedang bermeditasi.

Iwan berjalan pelan pula, namun bisa dilihat kemampuan koordinasinya berkurang meski mentalnya masih kuat.

Misirin menunjukkan dari semuanya ialah yang paling mantap, karena itu kami memberikan dia kesempatan sebagai orang yang pertama mencapai puncak.

Tekad dari orang tiga ini tidak terpecahkan, kesempatan mencapai puncak, tidak mau mereka sia-siakan.

Terpikir diotak saya, biar satu orang saja yang muncak, biarkan yang lainnya turun. Ah…! nanti saja saya pikirkan, kalau kami sudah melalui Hillary Step.

Tiba-tiba saya bisa merasakan Asmujiono konsentrasinya semakin berkurang, dan saya instruksikan Dr. Vinogradski untuk mengamati Asmujiono.

Bashkirov dan Misirin berjalan paling depan, setelah itu Iwan dan saya, Asmujiono dan Dr. Vinogradski terakhir di belakang.

Punggungan gunung hari ini tampaknya lain dari biasanya, lebih terjal dan saljunya tebal sekali.

Iwan bisa maju dengan perlahan, namun pada satu tempat badannya oleng.

Untunglah di saat yang kritis itu ia berhasil diselamatkan dengan tali pengaman.

Ketika saya sedang memperlihatkan padanya bagaimana cara menggunakan linggis es (Ice Pickels) di punggung gunung secara benar, disini jelas terlihat bahwa saya sedang berhadapan dengan orang yang baru 4 bulan lalu untuk pertama kali dalam hidupnya melihat salju.

Sebenarnya melalui rute punggung gunung ini, dengan hanya menggunakan tali pengaman sudah cukup.

Hal ini sudah saya perhitungkan sebelumnya, jadi tidak perlu menggunakan Linggis Es.

Tapi sekarang saya terpaksa harus mengajarkan menggunakan itu ke anak muda yang sabar dan bertekad bulat ini.

Saya bertanya kembali kepada diri saya sendiri “Apa artinya semua ini, bagi orang Indonesia?”.

Bahkan sebagai seorang atlet, saya tidak akan mempertaruhkan nyawa hanya sekedar untuk sampai ke puncak.

Tapi serdadu ini punya prinsip luar biasa.

Mereka rela mempertaruhkan nyawa mereka untuk keberhasilan ekspedisi ini.

Setelah Iwan berjuang melalui punggungan gunung, dimana pada fase ini saya harus terus mengamati, kami mendaki terus perlahan dan saya sampai di kaki Hillary Step.

Saya sampai di ujung Hillary Step, selagi Iwan dan Asmujiono yang berjalan dibelakang saya melewati punggung gunung.

Disitu saya berdiskusi dengan Bashkirov, dimana kami harus memutuskan apakah hanya Misirin sendiri yang terus mendaki sampai di puncak, dan yang lainnya turun.

Asmujiono sedang berusaha melewati Hillary Step, Vinogradski nampak di belakang.

Dia berusaha meyakinkan Iwan untuk turun, tapi dia tidak mau.

Bisa dilihat bagaimana Iwan berjuang pantang mundur, terus mendaki keatas melalui Hillary Step.

Tidak satupun dari orang Indonesia ini bersedia untuk menyerah."

Hingga akhirnya, tiga prajurit Kopassus itu berhasil menaklukkan puncak tertinggi dunia, Gunung Everest.

Kisah Ekspedisi Kopassus di Gunung Jayawijaya

Pada tahun 1961 Michael Rockfeller putra raja minyak AS yang super kaya melaksanakan ekspedisi ke pedalaman Papua Nugini, hingga kemudian Rockfeller dinyatakan hilang.

Dikutip dari buku 'Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando', Hendro Subroto, Penerbit Buku Kompas, 2009

Sekitar dua bulan melakukan pencarian, jasad Rockfeller hanya ditemukan berupa sepotong kaki yang masih mengenakan sepatu.

Berdasar jenis sepatu itulah kemudian dikenali sebagai jasad dari mendiang Rockfeller.

Kabar kematian Rockfeller yang sangat tragis itu pun menjadi perhatian dunia internasional termasuk rumor bahwa Rockfeller telah dimakan oleh suku terasing yang tinggal di hutan belantara Papua Nugini.

Kopassus Grup 3 Sandi Yudha
Kopassus Grup 3 Sandi Yudha 

Rumor tentang keberadaan suku pemakan manusia tidak hanya beredar di Papua Nugini tapi juga menyebar ke kawasan pedalaman Irian Barat (Papua) yang di tahun 1960-an masih merupakan hutan lebat dan belum terjamah.

Pada 5 Mei 1969 meski rumor tentang keberadaan suku pemakan manusia di pedalaman Papua masih santer beredar, sekitar 7 anggota pasukan baret merah (RPKAD/Kopassus), 5 anggota Kodam XVII Cenderawasih Papua dan tiga warga asing yang juga kru televisi NBC (AS), serta satu wartawan TVRI, Hendro Subroto melaksanakan ekspedisi ke Lembah X yang berlokasi di lereng utara gunung Jayawijaya.

Tim ekspedisi yang berjumlah total 16 orang itu dipimpin oleh personel RPKAD Kapten Feisal Tanjung sebagai Komandan Tim dan Lettu Sintong Panjaitan sebagai Perwira Operasi.

Lokasi ekspedisi disebut sebagai Lembah X dan berada di lereng utara Gunung Jayawijaya yang berpemandangan elok sekaligus merupakan tempat yang belum pernah dijamah oleh peradaban luar.

Suku setempat masih dikenal sebagai suku yang sangat terasing dan dimungkinkan merupakan suku yang masih memakan manusia seperti yang santer dikabarkan.

Dengan risiko tersebut, pengendali ekspedisi Pangdam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo berpesan agar tim siap menghadapi kemungkinan terburuk.

Ilustrasi suku
Ilustrasi suku

Dalam menjalankan ekspedisi semua anggota militer mengenakan seragam militer lengkap, bersenjata senapan serbu AK-47 dan pistol, parang, tali-temali dan lainnya.

Sebelum tim ekspedisi diterjunkan melalui udara, Lettu Sintong terlebih dahulu melakukan orientasi medan melalui udara dengan cara menumpang pesawat misionaris jenis Cesna.

Lalu sesuai rencana tim akan diterjunkan pada lokasi padang ilalang yang berdekatan dengan perkampungan yang diduga masih dihuni oleh suku terasing pemakan manusia.

Pada 2 Oktober 1969, semua tim bersama keperluan logistik diterjunkan sesuai rencana meski dengan perasaan tak karuan.

Pasalnya, mereka harus mendarat di daerah sangat terpencil yang konon didiami suku terasing yang masih suka memakan manusia.

Dengan perhitungan seperti itu maka aksi penerjunan termasuk misi nekat.

Baca: Wasekjen MUI Tanggapi Persekusi ke Ustaz Abdul Somad, Saya Menyesalkan, Jika. . .

Baca: Sophia Latjuba Akhirnya Bongkar Kapan Kisah Asmaranya Kandas dengan Ariel NOAH, Ternyata

Apalagi meski bersenjata lengkap para personel RPKAD dan Kodam Cenderawasih dilarang melepaskan tembakan kecuali dalam kondisi sangat terpaksa.

Itu pun harus tembakan yang dilepaskan ke atas untuk tujuan menakut-nakuti.

Semua tim akhirnya bisa melakukan penerjunan dengan selamat.

Tapi Lettu Sintong yang seharusnya mendarat di padang ilalang yang jauh dari perkampungan suku terasing, justru mendarat di tengah kampung.

Ia langsung dikepung oleh warga yang hanya mengenakan koteka sambil mengacungkan tombak, panah, dan kapak batu.

Sadar sedang menghadapi bahaya dan masih terbayang oleh suku ganas pemakan manusia, secara reflek Sintong meraih senapan AK-47 miliknya serta mengokangnya.

Tapi Sintong terkejut ketika melihat senapan miliknya ternyata tanpa magasen.

Dengan kondisi senapan AK-47-nya tanpa peluru, jelas sama sekali tidak berguna jika harus menghadapi warga suku terasing yang terus memandanginya secara curiga sambil mengacungkan semua senjata tradisional itu.

Tiba-tiba Sintong melihat magasennya yang jatuh berada di antara warga suku dan bahkan sedang ditendang-tendang oleh seorang pemuda yang merasa bingung dengan benda asing itu.

Di luar dugaan pemuda itu justru mengambil magasen dan memberikannya kepada Sintong. Sebuah pertanda bahwa warga suku itu ingin bersahabat.

Sintong akhirnya membiarkan saja ketika sejumlah warga suku menyentuhnya, lalu memeganginya, untuk memastikan bahwa ‘manusia burung’ yang jatuh dari langit itu masih hidup dan merupakan manusia seperti mereka.

Meski diliputi oleh perasaan was-was dan awalnya merasa akan diserang dan ‘dimakan’, semua tim ekspedisi ternyata diperlakukan secara bersahabat dan kemudian bisa berinteraksi secara normal dengan suku terasing itu.

Sebagai suku terasing dan menggunakan bahasa yang saat itu tidak bisa dipahami, semua anggota tim ekspedisi pun harus belajar keras memahami bahasa setempat dengan cara mencatatnya.

Meski bukan merupakan suku kanibal, suku terasing di Lembah X masih sangat primitif dan sama sekali belum mengenal korek api, cermin, pisau, pakaian, apalagi kamera televisi yang bisa merekam mereka.

Warga suku Lembah X juga masih lari tunggang langgang setiap ada pesawat lewat atau sedang melaksanakan dropping logistik karena mengira sebagai burung raksasa yang akan menyambarnya.

Semua warga suku juga takut air dan tidak pernah mandi dan untuk minum mereka mengandalkan tanaman tebu liar.

Kebiasaan memakan tebu itu sekaligus berfungsi sebagai sikat gigi sehingga semua warga suku giginya tampak putih bersih.

Meski sempat mengalami musibah ketika sejumlah perahu karet yang ditumpanginya terbalik di jeram dan tim NBC kehilangan rekaman film yang sangat berharga, semua tim ekspedisi bisa pulang selamat pada akhir Desember 1969.

Bagi anggota RPKAD dan Kodam Cenderawasih ekspedisi Lembah X terbilang sukses karena menginspirasi ekspedisi berikutnya yang kemudian dikenal sebagai Ekspedisi Nusantara Jaya.

Tapi bagi kru NBC, ekspedisi itu gagal total karena telah kehilangan semua rekaman yang bernilai jutaan dollar.

IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved