Suasana Idul Adha di Lokasi Pengungsi Gempa Lombok, Sedih Rasanya, Tapi Ini Harus Kami Jalani
Di tengah rasa khawatir dan trauma akibat guncangan gempa yang bertubi-tubi, warga yang berada di lokasi
TRIBUNJAMBI.COM- Di tengah rasa khawatir dan trauma akibat guncangan gempa yang bertubi-tubi, warga yang berada di lokasi pengungsian di Desa Kekait, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat ( NTB), tetap merayakan Hari Raya Idul Adha dengan khidmat, Rabu (22/8/2018).

Ada sekitar 1.600 kepala keluarga yang mengikutinya.
Khatib Shalat Idul Adha, Hafazal Makrib, di lokasi ini menuturkan bahwa pelaksanaan Hari Raya Kurban kali ini memang tidak seperti biasanya karena dilaksanakan di lokasi tenda pengungsian korban gempa.
“Kita harus mengambil hikmah atas apa yang kita alami di dunia ini. Allah memberi cobaan agar kita selalu sabar dan bisa mencari jalan keluarnya,” katanya dalam khotbahnya.
"Kita diingatkan untuk kembali memperbaiki kehidupan kita. Kita mulai dari nol, yang rumah-rumahnya hancur. Kita telah bersama-sama mencari solusi dengan membuat tenda sementara di mana bahan bahannya mudah didapat dan bisa aman dari hujan dan angin. Ini ujian dan kita harus kuat menghadapinya,” tambahnya lagi.
Warga mengaku mendapat pelajaran berharga dalam hidup mereka akibat gempa yang mulai mereka hadapi sejak 29 Juli 2018.
Meski sepanjang hari rangkaian gempa terus meneror mereka, warga tetap tabah menghadapinya dan mencoba menjalaninya dengan ikhlas.
“Kami mendapat pelajaran yang sangat berharga dari musibah ini bahwa gempa yang menguji kami warga Lombok tak akan membuat iman dan keteguhan serta kepercayaan kami kendor pada kekuatan Allah SWT. Tak kami pungkiri kami berduka atas musibah ini, tetapi inilah makna Hari Raya Kurban yang sebenarnya,” tutur Busairi, salah satu pengungsi di Desa Kekait.

Tetap saling kunjung dan berbagi Setelah ibadah shalat Id, yang menarik perhatian adalah walau berada di pengungsian, warga tetap menjalankan tradisi saling berkunjung dan bersalaman untuk saling memaafkan.
“Pada Lebaran Kurban tahun ini tentu rasanya berbeda. Biasanya kami berada di rumah bersama keluarga. Sekarang kami berada di tenda pengungsian. Sedih rasanya, tapi ini harus kami jalani,” kata Busairi.
Hal yang sama juga dilakukan oleh korban gempa bernama Fitriah.
Kaki kirinya masih bengkak lantaran tertimpa tetuntuhan tembok rumahnya. Jalannya pun masih tertatih.
Namun, dia melawan rasa sakit demi mengunjungi keluarga dan kerabatnya di tenda pengungsian lain.
Tradisi saling mengunjungi dan bersalaman untuk bermaaf-maafan itu, lanjut dia, tetap harus dijaga.
“Ini sudah biasa kami lakukan, mengunjungi para orangtua, saudara yang lebih tua untuk minta maaf. Tiap Lebaran, kami menjalani ini,“ ungkapnya.