Tetap Kokoh, Ini Rahasia Dibalik Rumah Adat di Lombok yang Tahan Gempa

Pascagempa bermagnitudo 7 yang mengguncang wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu

Editor: rida
Jro Mangku Nir Arta menunjukkan rumah krama Bali yang hancur diguncang gempa di Dusun Kebaluan, Lombok Utara, Jumat (10/8/2018). (Tribun Bali / Busrah Hisyam Ardans) 

TRIBUNJAMBI.COM- Pascagempa bermagnitudo 7 yang mengguncang wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu sejumlah infrastruktur, fasilitas umum dan sosial serta rumah-rumah warga rusak.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, tak kurang dari 71.962 unit rumah rusak dengan klasifikasi 32.016 unit rusak berat, 3.173 unit rusak sedang, dan 36.773 rusak ringan per 13 Agustus 2018.

Untuk memulihkannya, paling tidak memerlukan anggaran sebesar Rp 6,02 triliun serta waktu hingga mencapai dua tahun.

Namun, dari sekian banyak rumah yang rusak, justru rumah adat di Senaru dan Batu Layar, Lombok Utara, yang hanya terbuat dari kayu dapat bertahan.

Dua rumah ada di Senaru, Lombok Utara, NTB ketika terjadi gempa bermagnitudo 7. Rumah ada yang lebih alami tahan dari guncangan gempa tersebut.(Antaranews.com)
Dua rumah ada di Senaru, Lombok Utara, NTB ketika terjadi gempa bermagnitudo 7. Rumah ada yang lebih alami tahan dari guncangan gempa tersebut.(Antaranews.com) ()

Baca: Ajak Jangan Golput, Mahfud MD: Halangi yang Jahat Jadi Pemimpin

Baca: Gara-gara Donald Trump, Nilai tukar Rupiah Bergerak Menguat

Baca: Ini Tiga Alasan Kenapa MUI Membolehkan Penggunaan Vaksin MR

Kondisi berbeda terjadi pada rumah adat serupa yang telah dimodifikasi dengan menggunakan material semen dan batu bata.

Dosen Program Studi Kehutanan Universitas Mataram Indriyanto mengatakan, masyarakat Lombok memiliki kearifan lokal dalam menyesuaikan diri saat tinggal di kawasan rawan gempa.

"Walaupun hidup di daerah bencana, (rumah adat) mereka cukup dapat beradaptasi awalnya," kata dia seperti dilansir dari Antaranews.com.

"Justru teman saya seoarang relawan dari Belgia yang menyadarkan pentingnya rumah ekologi di daerah rawan bencana," imbuh relawan dari Yayasan Lingkungan Tanpa Batas itu.

Indriyanto menaksir, biaya pembangunan rumah adat tersebut jauh lebih murah dari rumah konvensional, yaitu hanya berkisar antara Rp 30 juta hingga Rp 40 juta.

Terlebih, bila materialnya dikombinasi dengan bambu.

"Apalagi kalau pengerjaannya bergotong-royong. Bisa untuk menata kampung sekaligus untuk tujuan destinasi wisata," tambah Indriyanto.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved