Muhasabah Akhir Ramadan
Puasa selain berdimensi ritual, juga berdimensi sosial. Pada dimensi ritual sudah dapat dikatakan kita telah sukses menjalankannya,
Puasa selain berdimensi ritual, juga berdimensi sosial. Pada dimensi ritual sudah dapat dikatakan kita telah sukses menjalankannya, paling tidak telah terpenuhinya rukun dan syarat puasa ditambah ibadah sunat lain seperti tarawe, witir, sahur, tadarusan, dll. Tetapi pada dimensi sosial, tampaknya puasa kita masih butuh perjuangan untuk menemukan jati dirinya.
Sebagian besar orang yang melaksanakan puasa, masih terkonsentrasi untuk menjaga puasanya agar dapat dikatakan bahwa puasanya sah, atau sesuai dengan perspektif fiqh, tapi pesan-pesan dan rahasia puasa yang seharusnya dikedepankan dan diburu oleh mereka, belum tampak menjadi perhatian, karena terhijab oleh pandangan yang sudah terlanjur dipahami bahwa berpuasa hanya cukup dengan pemenuhan rukun-syarat semata.
Dimensi Sosial
Untuk membuka tirai akan makna puasa yang berdimensi sosial, setidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu memahami tujuan disyariatkan puasa dan berusaha mencari rahasia di balik puasa;
Pertama, dilihat dari segi doktrin atau ajarannya, puasa bertujuan untuk menuju kepada kualitas ketaqwaan, dan salah satu dimensi ketaqwaan adalah harus berdimensi sosial. Bila dilihat dalam al-Qur’an, kata yunfiqu disebutkan sebanyak 73 kali yang berarti menafkahkan harta atau yang lain, baik itu nafkah wajib maupun sunnah (Lihat Ashaf Shaleh, 2008 : 83). Beberapa nash tentang anjuran menafkahkan harta dapat dilihat pada QS.al-Baqarah : 2-3 dan 177. Dari ayat-ayat tersebut tergambar bahwa bertaqwa kepada Allah, mesti ditopang oleh pemberian nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, baik pada saat kita lapang, waktu sulit, waktu senang maupun susah, baik di waktu sendirian maupun di waktu ramai.
Dengan demikian terlihat bahwa konsep taqwa adalah menempatakan manusia pada posisi seimbang antara hubungan vertikal dan horizontal. Jika konsep taqwa itu betul-betul diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan sulit menemukan orang muslim atau pejabat yang korupsi, dan semacamnya. Sehingga kenyataan adanya orang miskin dan orang kaya, akan disadari sebagai hukum alam yang perlu saling membantu dan menjaga, bukan saling memeras dan menipu.
Kedua, dilihat dari segi praktisnya, puasa mengandung banyak rahasia. Dengan berpuasa kita akan merasakan bagaimana penderitaan orang yang tidak mampu untuk menghidupi hari-harinya, di sinilah seharusnya tumbuh kepedulian dan keikhlasan untuk membantu mereka yang serba kekurangan, dan tentu saja tidak hanya dilakukan pada bulan ramadhan saja, tapi kesadaran itu mesti terus terpatri sebelas bulan kemudian. Di sisi lain dalam sebuah hadis disebutkan bahwa orang yang berpuasa, tetapi tetap aktif menggunjing orang lain, maka bukan saja puasanya kehilangan pahala, tetapi juga akan mengalami kebangkrutan pahala, karena pahalanya akan ditransfer kepada orang yang digunjingnya. Jadi ibadah puasa lagi-lagi membuktikan bahwa kehadirannya tidak berdiri sendiri, tapi terkait dengan orang lain (dimensi sosial).
Lalu muncul pertanyaann, apakah puasa yang kita kerjakan sudah seperti gambaran di atas?. Jika sudah, mengapa persoalan-persoalan sosial dan dekadensi moral masih banyak kita temukan pada bangsa kita yang notabene berpenduduk muslim terbesar di negeri ini. Atau dengan pertanyaan yang lebih menukik, ”mengapa masih banyak petinggi-petinggi atau pejabat di negeri ini yang notabene sudah diajarkan agama sejak kecil dan taat menjalankan ibadah-termasuk puasa, tetapi tetap saja masih banyak yang melakukan korupsi? Di isinilah barangkali ada sesuatu yang salah (something wrong) dari ibadah kita termasuk puasa kita, apakah karena pengetahuan dan pemahaman yang masih dangkal atau sikap pragmatisme yang tinggi yang sudah menghinggapi? Ini tentu saja menjadi muhasabah dan sekaligus PR (pekerjaan rumah) tidak saja bagi ulama/da’i, umara tapi juga bagi cendekiawan di perguruan tinggi.
Menjawab Pertanyaan
Sudah tentu jawaban dari pertanyaan di atas tidak tunggal, namun ada beberapa kemungkinan jawabannya. Pertama, boleh jadi agama telah disikapi secara formalisme semata. Kelima rukun Islam misalnya, dijalankan hanya untuk memenuhi tuntunan agama (menggugurkan kewajiban) dengan sekedar memenuhi syarat rukunnya, sehingga amalan menjadi hampa dan tidak meninggalkan kesan spiritual bagi yang mengerjakannya.
Misalnya puasa tidak dijalankan dengan mengutamakan tujuannya, yaitu menuju kualitas ketaqwaan yang lebih tinggi. Kedua, meski di Indonesia banyak yang memeluk agama Islam, tetapi masih banyak juga yang kurang menghayati dan menyakini doktrinnya, dalam hal ini terutama belum memahami rahasia/hikmah disyariatkannya berbagai ibadah termasuk puasa. Ketiga, bagi yang menjalankan puasa masih banyak yang memisahkan antara ibadah dalam dimensi ritual dan ibadah dalam dimensi sosial, artinya kedua hal ini belum sejalan, masih berjalan sendiri-sendiri.
Keempat, mekanisme kontrol dalam kehidupan sosial kita belum dapat diterapkan sesuai dengan tuntunan agama yang sebenarnya. Kelima, bisa jadi pengaruh budaya luar yang terus melakukan penetrasi terhadap budaya asli kita, sehingga posisi agama jadi terpinggir atau menjadi kelas kedua (the second class), misalnya budaya hidup materialistis dan hidup hedonistik yang melanda seluruh belahan dunia menjadi trend.
Jadi, puasa hendaklah dijadikan latihan untuk mewujudkan kehidupan yang seimbang baik secara vertikal (hablumminallah) maupun secara horisontal (hablumminannas). Maka tidak hanya rukun-syarat puasa saja yang perlu diajarkan,diketahui, dipahami dan diamalkan akan tetapi makna, pesan-pesan dan substansi puasa itu sendiri harus dipahami, dijalankan dan disampaikan kepada umat, yang dapat mengantarkan mereka menuju keshalehan, tidak saja shaleh individual tapi juga shaleh sosial. Wallahu A’lam.
Penulis Dr Bahrul ’Ulum, MA, Dosen Fak.Syariah UIN STS Jambi