Pancasila Lahir di 1 Juni dengan Bantuan Gaib? Kisah Soekarno Duduk di Bawah Pohon Sukun Jumat Malam
Pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato dalam rapat besar Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
TRIBUNJAMBI.COM - Pada 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila.
Lahirnya Pancasila pada 1 Juni merupakan gagasan sang Proklamator, Soekarno.
Pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato dalam rapat besar Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Di dalam rapat itu Bung Karno secara berapi-api menyadarkan peserta rapat tentang perlunya Indonesia memiliki dasar negara yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca: Lagi Viral Indomie Donat Goreng, Mau Nyoba Buat Untuk Sahur Atau Berbuka, Nih Cara Buatnya
Baca: Zidane Mengundurkan Diri dari Pelatih Real Madrid, Ternyata Ini Alasannya, Mengejutkan
Lima prinsip dipaparkan Soekarno beserta relevansinya bagi bangsa Indonesia. Kelima butir itulah yang disebut Soekarno sebagai Pancasila.
Ini pula yang mendasari penetapan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila.
Proses perenungan Bung Karno
Dilansir tribunnews, Buah pemikiran Soekarno akan Pancasila tidak muncul secara tiba-tiba.
Pancasila hadir sebagai hasil dari proses perenungan diri Bung Karno selama empat tahun diasingkan ke Ende, Nusa Tenggara Barat.
Pada 14 Januari 1934, Bung Karno bersama sang istri, Inggit Garnasih serta ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami, tiba di rumah tahanan yang terletak di Kampung Ambugaga, Ende.
Baca: Mengejutkan! Resmi, Zinedine Zidane Mundur dari Kursi Kepelatihan Real Madrid
Baca: Klasemen Liga 1 Pekan 11, Ini Dia Statistik 5 Kiper Terbaik Liga 1
Kehidupan Soekarno dan keluarga di Ende serba sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk politik seperti di kota besar.
Dibuangnya Soekarno ke daerah terpencil dengan penduduk berpendidikan rendah memang sengaja dilakukan Belanda untuk memutus hubungan Soekarno dengan para loyalisnya.
Dikutip dari buku "Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara", Soekarno jadi lebih banyak berpikir daripada sebelumnya.
Dia mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam hingga belajar soal pluralisme dengan bergaul bersama pastor-pastor di Ende.
Tak banyak yang bisa dilakukan Soekarno di tempat pengasingan yang begitu jauh dari Ibu Kota itu.
Sehari-hari, Soekarno memilih berkebun dan membaca.
Untuk menghilangkan kebosanannya dengan aktivitas yang monoton itu, jiwa seni Bung Karno kembali tumbuh.
Baca: Sering Serang Pemerintahan Jokowi, Amien Rais Dapat Serangan Balik dari Ali Mochtar Ngabalin
Baca: Sama Kuat? Berikut Prediksi Laga Timnas Indonesia U23 vs Thailnd U23 Pukul 20.30 Live di RCTI
Dia mulai melukis hingga menulis naskah drama pementasan.
Di sela kegiatan seninya, Soekarno berkirim surat dengan tokoh Islam di Bandung bernama T. A. Hassan dan berdiskusi cukup sering dengan pastor Pater Huijtink.
Dari sinilah Soekarno menjadi lebih relijius dan memaknai keberagaman secara lebih dalam.
Sebuah tempat favoritnya untuk berkontemplasi adalah di bawah pohon sukun yang menghadap langsung ke Pantai Ende.
Pohon sukun itu berjarak 700 meter dari kediaman Soekarno. Biasanya, Soekarno pergi sendiri ke tempat itu pada Jumat malam.
Di tempat itulah, Soekarno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus.
Ia memiliki cerita sendiri soal itu.
Berikut yang dikisahkan Soekarno:
"Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari... Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung.., di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada."
Ketika menjadi Presiden pertama Indonesia, Bung Karno kembali mengunjungi Ende pada tahun 1950.
Bung Karno nggak lupa pada pohon sukun favoritnya itu.
Di sanalah Bung Karno bercerita proses pencetusan Pancasila yang kini ditetapkan sebagai dasar negara.
Sejak tahun 1980-an, pohon sukun itu kemudian dikenal menjadi Pohon Pancasila.
Namun, pohon aslinya sudah mati pada tahun 1970-an.
Pemerintah setempat menggantinya dengan anakan pohon yang sama di lokasi yang sama.
Perubahan Urutan Pancasila dan Perdebatan
Hari lahirnya Pancasila yang diperingati tiap 1 Juni memang identik dengan gagasan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno.
Baca: Alif Si Bocah yang Sahur Lauk Garam Menghilang Usai Terima Uang Rp100 Juta
Baca: Putri Diana Dicurigai Tewas Dibunuh Bukan Kecelakaan, Surat Berisi Hal Mengerikan ini Jadi Petunjuk?
Rumusan awal Pancasila selama ini dianggap dikemukakan pertama kali oleh Soekarno sewaktu berpidato dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.
Namun, Pancasila yang dikenal sebagai dasar negara saat ini mengalami sejumlah proses perubahan dari rumusan awal oleh Soekarno.
Adapun urutan Pancasila dalam rumusan yang dibuat Soekarno pada 1 Juni 1945 adalah:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Menurut Soekarno, lima azas itu merupakan Weltanschauung atau pandangan mendasar, filsafat, juga fundamen yang digali dari jati diri bangsa Indonesia.
Baca: LIVE STREAMING FINAL Timnas Voli Putra VS Thailand Live Facebook Malam Ini
Dalam pidatonya, Soekarno memang mempertanyakan, dasar apa yang akan digunakan Indonesia jika merdeka? Pertanyaan itu yang menjadi pemicu untuk merumuskan dasar negara Indonesia.
"Lenin mendirikan Uni Soviet dalam 10 hari di tahun 1917, tetapi weltanschauung-nya sudah dipersiapkan sejak 1895. Adolf Hitler berkuasa pada tahun 1935, tetapi weltanschauung-nya sudah dipersiapkan sejak 1922. Dr Sun Yat Sen mendirikan Negara Tiongkok pada tahun 1912, tapi weltanschauung-nya sudah dipersiapkan sejak 1885 yaitu San Min Chu I," ujar Soekarno dalam pidatonya.
Menurut Muhammad Hatta dalam tulisan "Wasiat Bung Hatta kepada Guntur Soekarno Putra" yang ditulis pada 16 Juni 1978, BPUPKI kemudian membentuk tim yang terdiri dari 9 orang untuk merumuskan kembali Pancasila yang dicetuskan Soekarno.
Baca: Ditembak dan Tubuhnya Diledakkan Bom, Inilah Kisah Altantuya yang Diduga Simpanan Najib Razak
Adapun 9 orang itu adalah: Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.
Sembilan orang itu kemudian mulai mengubah susunan Pancasila versi Soekarno.
"Ketuhahan Yang Maha Esa" ditempatkan menjadi sila pertama. Sila kedua yang disebut Soekarno sebagai "Internasionalisme atau perikemanusiaan" diganti menjadi "Perikemanusiaan yang adil dan beradab".
Adapun sila "Persatuan Indonesia" digunakan untuk menggantikan "Kebangsaan Indonesia. Pada sila keempat, digunakan kata "Kerakyatan". Sedangkan terakhir, digunakan sila "Kesejahteraan Sosial".
Menurut Hatta, pada 22 Juni 1945 rumusan hasil Panitia 9 itu diserahkan ke BPUPKI dan diberi nama "Piagam Jakarta". Namun, ada sejumlah perubahan pada sila pertama pada Piagam Jakarta.
Baca: Ini Unsur-Unsur yang Terbukti Hingga Terdakwa Dapat Tuntutan Hukuman Seumur Hidup
Adapun sila pertama yang tercantum dalam Piagam Jakarta adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
Hamka Haq dalam buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam (2011) menulis bahwa sila itu merupakan hasil kompromi antara ideologi Islam dengan ideologi kebangsaan yang mencuat selama rapat BPUPKI berlangsung.
Sejumlah pembicara dalam sidang BPUPKI dari kalangan Islam, seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, menilai bahwa kemerdekaan Indonesia diraih juga berkat perjuangan umat Islam.
"Tak akan ada nation Indonesia tanpa umat Islam. Lebih dari itu, karena kalangan nasionalis Indonesia yang berjuang dalam lingkup nasional yang mula pertama memang berwatak Islam," demikian pernyataan Ki Bagoes, seperti dikutip dari buku yang ditulis Hamka Haq.
Argumen itu kemudian disanggah, karena dinilai hanya melihat bangsa Indonesia berdasarkan demografis. Umat Islam di Indonesia memang mencapai 90 persen.
Jika melihat kondisi geografis, khususnya di Indonesia Timur, maka komposisinya berbeda.
Baca: Benarkah Raffi Ahmad Dipecat dari Pesbukers? IG Story Bos ANTV ini Bisa Jadi Petunjuk
Pertimbangan bahwa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang sampai Merauke itu juga yang menyebabkan muncul usulan agar dasar negara nggak berdasarkan agama tertentu.
Karena itu, dalam rapat Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan perubahan pada sila pertama dari yang ditulis dalam Piagam Jakarta.
Tujuh kata itu, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", kemudian dihapus.
"Sesungguhnya tujuh perkataan itu hanya mengenai penduduk yang beragama Islam saja, pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia Timur keberatan kalau tujuh kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis dalam pokok dari pokok dasar negara kita, sehingga menimbulkan kesan, seolah-olah dibedakan warga negara yang beragama Islam dan bukan Islam," demikian penjelasan Muhammad Hatta.
Hingga kemudian, rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 itu menjadi seperti yang dikenal saat ini, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keputusan dihapuskannya kata "syariat Islam" memang belum memuaskan sebagian umat Islam. Sebagian kelompok masih berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu.
Mengutip buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam, ada kelompok yang kemudian mengekspresikannya dengan bentuk pemberontakan bersenjata. Misalnya, pemberontakan yang dilakukan kelompok DI/TII/NII.
Hamka Haq juga menulis, upaya untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga diperjuangkan melalui jalur politik.
Dalam sidang-sidang konstituante di Bandung pada periode 1956 hingga1959 misalnya, sejumlah partai yang berasaskan Islam berupaya memperjuangkan berlakunya Syariat Islam sebagai dasar negara RI. (BANJARMASINPOST.co.id/restudia, sumber: Dosir Weis/HAI-Online)
Artikel ini telah tayang di banjarmasinpost.co.id dengan judul Pancasila Lahir 1 juni dari Kekuatan Gaib? Kisah Soekarno Duduk di Bawah Pohon Sukun Jumat Malam, http://banjarmasin.tribunnews.com/2018/05/31/pancasila-lahir-1-juni-dari-kekuatan-gaib-kisah-soekarno-duduk-di-bawah-pohon-sukun-jumat-malam?page=all.