Mempelai Pria Masih Menyusu Pada Ibunya, Inilah Pernikahan Balita Ala India yang Terbilang Aneh
Meski sudah dinyatakan haram sejak 1930, masih ada saja pihak-pihak yang menghidupkan tradisi ajaib ini.
TRIBUNJAMBI.COM - Tak ada orang suka dipaksa, dipaksa kawin (yang konon mengasyikkan) sekalipun. Tapi di India, bukan hanya gadis sekelas Siti Nurbaya yang dipaksa nikah, tapi juga anak balita.
Meski sudah dinyatakan haram sejak 1930, masih ada saja pihak-pihak yang menghidupkan tradisi ajaib ini.
Pada hari perkawinannya yang begitu sakral, tubuh pengantin perempuan itu tampak lunglai, lemah tak berdaya. Alih-alih menikmati jalannya ritual pernikahan, memikirkannya pun tidak.
Bukan salah dia, karena umurnya memang belum lebih dari setahun, persisnya 10 bulan beberapa hari. Ya, si mempelai memang masih bayi merah yang belum menyadari petaka apa yang tengah mengintainya.
Baca: Buat Kamu Ahli Hisap Lihat Video ini, Perbandingan Paru-paru Perokok vs Paru-paru Sehat, Ngeri!
Sementara pengantin lelakinya tak kalah belia, karena belum genap berusia tiga tahun. Uniknya, calon pasutri itu baru bertatap muka untuk pertama kali beberapa menit sebelumnya.
Keduanya lalu didudukkan di atas karpet yang digelar di sebuah tanah lapang.
Tangan kanan dua sejoli itu dibebat sehelai kain katun. Di depan mereka sudah tersedia perapian kecil dan berbagai perlengkapan upacara.
Waktu terus merayap, tahu-tahu sudah menunjuk pukul dua pagi. Di sekitarnya, para hadirin berdesak-desakan hendak menyaksikan jalannya upacara dari dekat.
Baca: Usai Jaket Bergambar Kepulauan Indonesia, Kini Gak Kalah Keren Jaket Jokowi Bertema Asian Games
Tangan-tangan kekar orang dewasa - milik orangtua dan kerabat - memegang erat kedua mempelai.
Beberapa kali pengantin perempuan merengek, sambil menendang-nendangkan kakinya. Nyata sekali ia kebingungan.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi gemerincing, genderang, serta mantra-mantra pendeta. Kedua pengantin kecil kini meronta-ronta.
Apa pun yang terbersit di pikiran mereka, pasti tak mudah dimengerti orangtuanya. Tubuh para pengantin direngkuh makin mendekati perapian untuk menuntaskan ritual pelengkap, "uji api".
Empat kali memutari api, Bundaram dan Sunita resmi menjadi pasangan suami-istri.
Cerita di atas bukan adegan film. Melainkan sebuah ritual serius dan nyata adanya, yang terjadi
di padang tandus, di sebuah desa di Provinsi Rajastan, India Barat.
Baca: Berkas Perampok yang Kerap Beroperasi Bersenjatakan Senpi Rakitan Masih Dilengkapi Penyidik

Dua pengantin cilik tadi, Bundaram dan Sunita, hanyalah satu dari tujuh pasang yang dipaksa memasuki kehidupan orang dewasa sebelum waktunya. Selain Bundaram dan Sunita, enam pasangan lainnya mendapat perlakuan serupa.
Sebenarnya, sejak tahun 1930 Pemerintah India sudah melarang perkawinan yang melangkahi hak anak menentukan jalan hidupnya sendiri itu.
Baca: VIDEO: Pasar Sembako Murah Jelang Ramadan di Kantor Kecamatan Paal Merah
Undang-undang India bahkan dengan tegas memasukkan perkawinan antaranak di bawah umur sebagai tindak kejahatan.
Penggagas dan pelaku pesta dapat dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Peraturan negara itu
juga menyebut, laki-laki baru boleh menikah pada usia 21 tahun, sedangkan perempuan pada usia 18 tahun.
Tapi mengapa masih saja ada anak di bawah umur, bahkan bayi bau kencur, yang diseret ke pelaminan?
Prem Prakash Choud hary, seorang pengacara, termasuk di antara ribuan saksi mata yang memilih diam menyaksikan tradisi unik.
Menurut Prakash, sulit mencegah aksi ini, karena sebagian besar pelakunya percaya, inilah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi berbagai problem.
Mulai menghemat biaya perkawinan normal (jika ritual dilakukan saat mempelai dewasa), mempererat tali kekeluargaan, sampai menjamin kelangsungan adat istiadat.
Baca: Siswa SMA Xaverius 2 Pilih Rayakan Kelulusan Dengan Berbagi Makanan Kepada Sesama
Kebetulan, Rajastan nan miskin adalah provinsi yang jauh dari jangkauan hamba hukum. Hajatan itu sendiri lazimnya berlangsung pada hari Akha Teej, yang dianggap sebagai "hari paling baik" untuk melangsungkan perkawinan.
Prakash lalu menunjuk seorang pria tua, Goma Ram, pria tua bersorban putih dan bergiwang emas itu tampak khidmat mengikuti jalannya ritual. Dia adalah pemimpin spiritual setempat yang didapuk menjadi "ketua panitia" hajatan.
Goma Ram juga yang memelihara inisiatif, agar budaya warisan nenek moyang yang telah berlangsung turun-temurun tetap terselenggara sesuai jadwal. Buat Goma, menikahkan anak-anak di bawah umur sama sekali tidak ada urusannya dengan hukum negara.
la justru melihatnya sebagai kehormatan. Malam sampai dini hari itu, ia sukses menghasilkan tujuh pasang pengantin baru.
(Uli Rauss/ Disadur Dari Majalah Intisari Edisi Januari 2005)
SUMBER: Intisari Online