Ki Hajar Dewantara Kritik Sistem Pendidikan Barat
Beberapa waktu yang lalu istri saya sedang ngobrol di salah satu grup media sosial, salah satu temannya
Dari sana kita bisa tahu pendidikan seperti apa yang dibangun oleh Bapak Pendidikan Nasional kita ini.
Ki Hajar, dalam artikelnya pada majalah “Pusara” jilid XI, nomor 8 tahun 1941 mengatakan bahwa memang banyak orang ketika itu mengira bahwa pendidikan di Taman Siswa semata-mata aliran Tagore – Montessori.
Memang benar bahwa Dr Rabindranath Tagore, tokoh nasional dan tokoh pendidikan dari India, pendiri sekolah Shanti Niketan dan orang asia penerima nobel sastra pertama itu pernah berkunjung ke pusat perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada 1927, begitu pula Maria Montessori disebutkan juga sempat berkunjung pada 1941.
Pun foto keduanya pernah terpampang di pendapa dan sekolah Taman Siswa yang pertama.
Ki Hajar mengatakan, “Sebenarnya kita menggantungkan potret dari kedua pemimpin itu tidak lain karena kedua-duanya kita anggap sebagai penunjuk jalan baru, Montessori dan Tagore ialah pembongkar dunia pendidikan lama serta pembangun aliran baru.”
Namun demikian justru disini Ki Hajar mengagumi keduanya sekaligus melakukan kritik pada keduanya untuk saling melengkapi dan dijadikan fondasi sistem pendidikan Taman Siswa pada waktu itu yang disebut harus mengikuti perkembangan jaman modern namun juga harus “kulturil-nasional” yaitu tidak boleh meninggalkan adat budaya baik yang sudah ada dan masih hidup dalam masyarakat.
Perbedaan antara sistem Montessori dan Tagore itu terletak pada tujuannya.
Montessori sangat mementingkan hidup jasmani anak-anak, terutama untuk menstimulasi dan mengoptimalkan perkembangan kognitif dan panca-inderanya.
Menurut Ki Hajar, metode pendidikan Montessori tidak menyentuh perkembangan batin anak-anak, yang dimaksud batin di sini adalah mengajarkan anak untuk mengenal pencipta-Nya dan kata Ki Hajar “semata-mata bersifat psikologis, jauh dari tujuan religius.”
Sementara Dr. Tagore membentuk sistem pendidikan anak semata-mata sebagai alat dan syarat untuk memperkokoh kehidupan kemanusiaan dalam arti yang sedalam-dalamnya, yaitu religiusitas.
Namun demikian kurang menekankan masalah-masalah kognitif dan psikologis. Lebih jauh lagi saat pidato pada rapat besar gerakan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), September 1943 Ki Hajar dengan berapi-api mengatakan bahwa pendidikan Eropa itu baik adanya namun “Sangat mengabaikan kecerdasan budi-pekerti sehingga menimbulkan penyakit intellektualisme yakni mendewakan angan-angan, semangat mendewakan angan-angan itu menimbulkan kemurkaan-diri atau individualisme dan kemurkaan-benda atau materialisme, itulah yang menyebabkan hancurnya ketentraman dan kedamaian di dalam hidupnya masyarakat!”
Pendidikan Dikhianati Oleh karena itu Ki Hajar tidak mengambil mentah-mentah sistem pendidikan barat, namun mensinergikannya dengan kekayaan budaya nasional dan pendidikan spiritual.
Agaknya pendapat Ki Hajar ini masih relevan hingga saat ini, setidaknya menurut saya.
Pendidikan "dikhianati" tujuannya bukan untuk membuka batin (rasa-spiritual), memerdekakan pikiran (cipta) dan membangun kemandirian (karsa).
Tapi justru untuk menceburkan diri pada materialisme, sekolah supaya dapat kerja, kerja jadi pegawai, entah negeri atau swasta. Jadi pegawai mengejar karir supaya dapat duit banyak, punya rumah besar (materi/benda), punya mobil (materi), bisa beli iphone (materi), tas bermerk (materi), jam tangan Fossil (materi), sepatu Nike atau Adidas (materi), bisa liburan ke luar negeri dan foto-foto (ketenaran), kalau perlu rumah, tanah dan mobil lebih dari satu atau sebanyak-banyaknya (materi lagi).