Kisah Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang 'Gagal' Naik Haji, Tulisan Tahun 1989
Selama ini tak seorang pun di antara para sultan Yogyakarta sempat pergi naik haji, walaupun mereka menyandang gelar...
Sebagian bahkan sudah dikenalnya sejak masa perang kemerdekaan, saat-saat ketika mereka biasa saling menegur dengan panggilan "Bung". Saya adalah satu-satunya muka baru bagi Sri Sultan.
Betapapun santainya pertemuan itu, tak urung beberapa peserta tidak dapat menahan kelelahan.
Terpaksa sebagian pewawancara meminta izin kepada tuan dan nyonya rumah, Pak Sultan dan Ibu Norma (KRAy Nindyokirono), untuk tidur siang.
Namun, Sri Sultan tak bergeming dari kursinya. Bersama para pewawancara yang mampu terus bertahan tanpa istirahat, ia hampir tak pernah meninggalkan ruang tengah tempat berwawancara, kecuali untuk makan siang dan makan malam.
Hanya sekali-sekali saja ia melempangkan badan dan jalan-jalan sebentar di beranda dan di halaman berkebun yang ditata rapi.
Hari sudah agak larut, jam menunjukkan pukul 22.00 ketika beberapa di antara kami merasa sudah waktunya pulang ke Jakarta, karena harus masuk kantor keesokan harinya. Tetapi Sri Sultan, yang tidak kelihatan lelah atau menguap, masih mengajak melanjutkan pembicaraan.
Pak Roem, yang selalu didampingi istrinya ke mana pun ia pergi dan Kustiniyati Mochtar tidak ikut pulang ke Jakarta. Mereka masih meneruskan wawancara keesokan paginya.
"Mungkin saya dibuang"
Seperti pada pertemuan-pertemuan lainnya, wawancara sepanjang hari itu digunakan pula untuk mengecek hal-hal yang meragukan dan memerlukan penjelasan dari tangan pertama.
Bagaimana, umpamanya, menuliskan namanya, karena ejaan yang tercantum dalam buku-buku dan penerbitan pers berbeda-beda.
Bukan Hamengkubuwono, apalagi Hamangkubuwono dan bukan pula Hamangkubuwana atau Hamengkubuwana, katanya. Melainkan Hamengku Buwono dituliskan dengan dua kata - atau dulu, semasa ejaan lama, Hamengkoe Boewono.
Kami juga mengajukan pertanyaan hipotetis: Apa yang akan terjadi seandainya ia tidak bersedia menandatangani kontrak politik dengan Belanda sebelum dinobatkan sebagai sultan?
Pertanyaan ini diajukan karena ada bagian penting dalam "Surat perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta" itu yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Misalnya, masalah pepatih dalem (patih, serupa perdana menteri) yang mendapat gaji dari pemerintah Hindia Belanda dan kesultanan dan bertanggung jawab kepada kedua pihak.
Ia adalah pegawai pemerintah Belanda dan kesultanan pada saat yang bersamaan. Ini berarti, sebelah kakinya berada di kesultanan, tetapi kaki lainnya berada di pihak Belanda.