Rafflesia Arnoldii, Kalau Tidak Jadi Tawanan Perang, Nama Bunga Terbesar Milik Pria Perancis Ini
Halaman Google Selasa (9/1/2017) menampilkan doodle tiga bunga Rafflesia arnoldii berwarna merah dengan berbagai ukuran.
TRIBUNJAMBI.COM - Halaman Google Selasa (9/1/2017) menampilkan doodle tiga bunga Rafflesia arnoldii berwarna merah dengan berbagai ukuran.
Dalam Doodle tersebut bunga Rafflesia arnoldii bergerak dan lalu mengeluarkan efek gas.
Mengapa Google menampilkan doodle bunga Rafflesia arnoldii di laman utama mereka?
Jawabannya ternyata hari ini merupakan tahun ke-25 ditetapkannya bunga Rafflesia arnoldii sebagai bunga nasional Indonesia.
Penetapan itu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 Tentang Satwa dan Bunga Nasional yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Sesuai Kepres, ada tiga jenis bunga dinyatakan sebagai Bunga Nasional yakni, Melati (Jasminum sambac), sebagai puspa bangsa; Anggrek bulan (Palaonopsis amabilis), sebagai puspa pesona; dan padama raksasa atau Rafflesia Arnoldi sebagai puspa langka.
Rafflesia arnoldii merupakan satu diantara puspa langka berukuran besar dengan ukuran diameter sekitar satu meter.
Hal itu menyebabkan Rafflesia arnoldii disebut sebagai padma raksasa.
Bunga Rafflesia arnoldii tumbuh merambat dan tak berdaun sehingga tak mampu melakukan fotosintesis seperti bunga lainnya.
Rafflesia arnoldii disebut bunga bangkai lantaran bunganya dan berbau seperti daging membusuk.
Kelopak bunganya yang merah montok dan dihiasi bintik-bintik putih hanya muncul dari Tetrastigma, tanaman mirip pohon anggur yang menjadi inangnya, saat siap bereproduksi.
Di tempat terbuka, Rafflesia Arnoldii bisa tumbuh dengan diameter satu meter dan mekar beberapa hari.
Bunga Rafflesia arnoldii sendiri bisa banyak ditemukan di Provinsi Bengkulu. Bunga Rafflesia arnoldii sendiri dijadikan daya tarik wisata di Bengkulu.
Namun ternyata ada kontroversi dibalik penamaan bunga tersebut.
Pada beberapa catatan spesies bunga terbesar di dunia ini ditemukan pada 1818 oleh seorang pemandu yang bekerja untuk Dr. Joseph Arnold, yang pada saat itu sedang melakukan penelitian di hutan Bengkulu.