Awal Dzulhijjah, Bagi yang Berpuasa 9 Hari, Simak Manfaat dan Keutamaannya
Rasulullah SAW berkata: Tiada ada hari lain yang disukai Allah SWT untuk beribadah seperti sepuluh hari ini,” (HR At-Tirmidzi).
TRIBUNJAMBI.COM - Besok Rabu (23/8/2017) dalam penanggalam Islam adalah hari pertama dalam bulan Dzulhijjah.
Dzulhijjah disebut sebagai salah satu bulan yang dimuliakan Allah SWT. Di dalamnya terdapat kewajiban haji bagi yang mampu menunaikannya.
Sementara orang yang tidak mampu dianjurkan memperbanyak amalan sunah lainnya seperti sedekah, salat, dan puasa.
Anjuran memperbanyak amal saleh itu termaktub dalam beberapa hadits. Misalnya hadits riwayat Ibnu ‘Abbas yang ada di dalam Sunan At-Tirmidzi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر
Ads by AdAsia
Learn More
Artinya, “Rasulullah SAW berkata: Tiada ada hari lain yang disukai Allah SWT untuk beribadah seperti sepuluh hari ini,” (HR At-Tirmidzi).

Hadits di atas menunjukkan beramal apapun di sepuluh hari pertama Dzulhijjah sangat dianjurkan.
Namun kebanyakan ulama menggunakan hadits di atas sebagai dalil anjuran puasa sembilan hari pada awal Dzulhijjah.
Hal ini terlihat dalam pembuatan judul bab hadits tersebut. Ibnu Majah memberi judul bab hadis di atas dengan “shiyamul ‘asyr (puasa sepuluh hari)”.
Dalam kajian hadits, pemberian judul bab sekaligus menunjukan pemahaman seorang rawi terhadap hadis yang diriwayatkan.
Adapula hiasan berupa lukisan air terjun

Artinya, secara tidak langsung Ibnu Majah selaku perawi menjadikan hadits itu sebagai dalil kesunahan puasa. Karenanya, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:
واستدل به على فضل صيام عشر ذي الحجة لاندراج الصوم في العمل
Artinya, “Hadits ini menjadi dalil keutamaan puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, karena puasa termasuk amal saleh.”
Kendati disebutkan puasa sepuluh hari dalam hadits di atas, ini bukan berati pada tanggal 10 Dzulhijjah juga dianjurkan puasa.
Malah puasa pada tanggal itu dilarang karena bertepatan dengan ‘Idul Adha. Terkait maksud “ayyamul ‘asyr” ini, An-Nawawi sebagaimana dikutip Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan: