Fatoni, Pelukis yang Penasaran Bau Jengkol, Hingga Terbitlah Restoran Republik Jengkol
iang itu, Selasa (4/4/2017), Fatoni sesekali muncul dari balik jendela sambil menebar senyum. Tangannya memegang sepiring nasi
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Siang itu, Selasa (4/4/2017), Fatoni sesekali muncul dari balik jendela sambil menebar senyum. Tangannya memegang sepiring nasi dan hasil masakannya, untuk kemudian diserahkan kepada pelayan. Sesekali ia menyeka keringat dan kembali berkutat pada pekerjaannya.
Hari itu, pria 47 tahun itu mengenakan baju warna merah dan mengenakan peci berwarna biru gelap. Celananya hanya menutup tiga perempat kaki. Sepatu olahraga membalut kakinya.
Ayah dua anak itu tampak gesit saat mencampurkan aneka bumbu dan sayur ke dalam wajan. Kol, daun bawang, tomat, dan aneka sayur ia rajang tanpa takut tangannya terluka.
Di balik kelihaiannya memasak, siapa sangka dulu Fatoni adalah seorang pelukis dan pekerja di bidang periklanan. Saat ini ia adalah pemilik dari dua warung makan dengan olahan serba jengkol yaitu Republik Jengkol.
"Saya memang lulusan seni lukis, tepatnya tahun 1991. Saya lulus dari sekolah menengah seni rupa, SMSR Yogyakarta. Terus saya pindah ke Jakarta tahun 1991, kerja sampai bosan, lalu memutuskan untuk keluar lalu bikin restoran jengkol. Saya dulu kerja di periklanan bidang desain grafis, ilustrator," jelas Fatoni saat ditemui di warung makan Republik Jengkol di bilangan Jakarta Timur.
Fatoni mengaku telah melukis sejak di bangku sekolah menengah. Hasil lukisannya ia jual untuk membantu biaya hidupnya.
"Orang bilang lukisan saya itu ekspresif. Dulu dijual. Selama masih mengenyam pendidikan di sana, trus vakum selama kerja di periklanan. Terakhir itu waktu booming lukisan minimalis," jelasnya bersemangat.
Selama hampir 18 tahun Fatoni bergelut di bidang industri periklanan. Ia kebanyakan mengurusi terkait pembuatan backdrop dan desain grafis.
"Saya dulu kerja lebih manual. Lebih handmade. Seperti mengerjakan backdrop. Desain grafis memang kadang-kadang berurusan di komputer. Karena waktu tahun-tahun itu orang-orang yang punya kemampuan di bidang handmade itu jarang ya," jelas laki-laki yang pada kartu namanya memproklamirkan diri sebagai "Presiden Republik Jengkol" itu.
Hidup di Jakarta, ia memutuskan untuk menikah sekitar tahun 2000. Istrinyalah yang menginspirasi Fatoni untuk banting setir ke usaha kuliner dengan modal sekitar Rp 15-20 juta.
"Pertama memang istri saya hobi makan jengkol. Nah, ketika dia makan walaupun ngumpet-ngumpet akhirnya ketahuan juga di belakang aromanya gak enak. Nah, di situ saya kepikiran bisa gak ya jengkol dibuat gak bau," ujar Fatoni sambil tertawa.
Ia mulai mencari akal untuk menghilangkan bau jengkol. Berbekal ilmu tentang rempah-rempah, ia mengolah jengkol.
"Saya coba dengan rempah-rempah seperi lengkuas, daun salam, daun sereh, dan daun jeruk. Saya coba dengan cara jengkol itu saya rendam sehari semalam kemudian saya presto dan bahan-bahan yang saya sebutkan, saya masukkan paling atas. Alhasil seperti yang sekarang. Tanpa bau," paparnya.
Fatoni mulai membuka warung makan pertamanya pada 27 Maret 2012 dengan dua sajian yaitu Nasi Goreng Jengkol dan Tongseng Jengkol. Bukan sambutan yang meriah yang ia dapatkan, melainkan jadi bahan tertawaan.
"Di awal-awal itu ketika saya mulai buka itu bikin spanduk Nasi Goreng Jengkol ya jadi bahan tertawaan. Tapi saya punya keyakinan suatu saat yang ngetawain saya pengen coba. Akhirnya pada datang-datang juga pada makan," tambahnya.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/fatoni-restoran-jengkol_20170406_091446.jpg)