EDITORIAL
Jangan Sekadar Pindahkan Napi
SABTU (11/3) lalu, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jambi, memindahkan 80 narapidana di Lapas Klas IIA Jambi ke Lapas Muara Sabak.
SABTU (11/3) lalu, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jambi, memindahkan 80 narapidana di Lapas Klas IIA Jambi ke Lapas Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Tak dapat dimungkiri, pemindahan itu buntut merupakan kerusuhan di Lapas Klas IIA Jambi Rabu (1/3) lalu.
Opini publik akan sulit dilepaskan dua hal tersebut mempunyai hukum sebab akibat. Terlebih sebelumnya telah ada pernyataan bahwa akan ada pemindahan sejumlah napi. Awalnya diwacanakan ke lapas yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.
Namun nyatanya, Kakanwil Kemenkum HAM Jambi, Bambang Palasara mengatakan pemindahan itu akibat dari over kapasitas. Tidak terkait kericuhan dan pembakaran yang terjadi beberapa waktu lalu.
Apapun itu, yang jelas satu langkah telah dilakukan. Sedikit mengurangi kesesakan di dalam Lapas Klas IIA Jambi. Karena memang, lapas di Jalan Pattimura, Kota Jambi itu penghuninya mencapai 3 kali lipat lebih dari daya tampung seharusnya.
Perlu dicermati, dari 80 yang dipindah 60 orang diantaranya adalah warga yang terlibat dalam kasus narkoba. Sedangkan 20 orang merupakan warga binaan wanita yang dipindah ke Lapas Anak, Muara Bulian.
Narkoba. Inilah yang kerap menjadi sandungan. Sejumlah tangkapan kasus narkotika oleh kepolisian, BNN, terungkap ada peranan napi di dalam lapas. Mereka dari balik jeruji ternyata masih bertaji dalam rantai panjang distribusi barang haram itu.
Tentu tak semua napi narkotika berperilaku demikian. Namun seharusnya ini bisa menjadi pelajaran bagi lapas.
Jangan sampai, kemudian misalnya, lapas yang menjadi tempat pemindahan muncul masalah baru.
Memang, pemindahan itu sendiri memiliki fungsi pengamanan dan fungsi pembinaan. Maka seharusnya tujuan dari fungsi itu bisa tercapai. Namun alangkah baiknya, jangan sekadar pemindahan.
Persoalan lapas yang merupakan soal klasik memang perlu solusi jitu. Pembinaan bukan hanya perlu dilakukan terhadap warga binaan, tapi juga tentu yang membina. Pembinaan yang humanis dengan pendekatan agama yang menyentuh sanubari barangkali bisa membuat warga binaan berproses ke lebih baik.
Pemberdayaan warga binaan semisal dengan membekali keterampilan seperti yang selama ini dilakukan tentu sesuatu yang positif. Kiranya, masih banyak solusi yang disusun dalam “kurikulum” yang mumpuni.
Tapi jangan pula lupakan peranan masyarakat. Masyarakat harus bisa menerima, merangkul mereka “jebolan” hotel prodeo. Jangan ada stigma, mereka yang pernah dipenjara adalah orang yang selalu bergelut dengan dunia hitam. (*)