Tak Kuat Disiksa, Tahanan Berebut untuk Dibunuh
Cerita Eks Anggota PKI tentang penderitaan selama ditahan
Babe kemudian menghentikan ceritanya, karena kopi pesanannya datang. Ia sedikit tersenyum. Lalu tangan kanannya merogoh saku baju. Sedetik kemudian keluarlah sebungkus rokok kretek.
“Hujan begini sangat nikmat kalau kita ngobrol sambil minum kopi dan merokok, “ ucapnya.
Kemudian Babe mengambil sebatang rokok kretek dari bungkusnya. Dengan lincah tangan kirinya mengambil korek gas, dan menyulut rokok tersebut.
Setelah itu, Babe kemudian melanjutkan ceritanya. Menurut pengakuan Lelaki kelahiran 1940 itu, sebenarnya ia ditangkap oleh tentara tanpa tahu penyebabnya. Sebab waktu itu, dirinya sedang kuliah di Surakarta. Lantaran disuruh pulang karena ada temannya yang ditangkap tentara, ia langsung kembali ke rumah yang ada di Kaliwungu.
“Ternyata yang ditangkap Romodus Triyanto, teman saya yang bergabung di organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), milik PKI. Lalu aku datang ke tahanan Kaliwungu untuk membebaskan teman yang rumahnya di Boyolali itu, “ ujarnya.
Lalu, kata Babe, usahanya untuk membebaskan temannya tersebut berhasil. Namun, setelah temannya yang kuliah di Semarang tersebut dibebaskan, ia malah ditangkap. Di penjara bersama tahanan lain, Babe ikut disiksa.
Ruang tahanan di Kaliwungu
Hujan deras mulai mereda ketika saya, Mardiyono dan Babe tiba di Alun-alun Kaliwungu. Beberapa pedagang kaki lima sudah mulai memenuhi kawasan itu. Mulai pedagang baju, buah, hingga makanan.
Di sisi kiri alun-alun terdapat Masjid Agung. Masjid yang didirikan oleh Kiai Guru ratusan tahun lalu itu terlihat masih ramai. Maklum, di kota santai ini, banyak orang mengaji seusai menjalankan shalat Jumat.
Menurut cerita Babe, di belakang alun-alun itu dulu berdiri kantor Kawedanan. Di sisi kanan Kawedanan berdiri beberapa bangunan. Tiga di antaranya untuk tahanan. Sementara di sekitar alun-alun ada sebuah bangunan yang digunakan untuk tahanan elit PKI.
“Saya bersama tahanan lain sering dipukuli di luar, yang kini jadi alun-alun ini. Jadi semua orang yang lewat bisa melihatnya. Sebab dulu hanya ditutupi tembok yang tingginya sekitar 50 sentimeter,” ujarnya.
Di Alun-alun Kaliwungu, Kendal, pernah berdiri sebuah rumah tahanan untuk tahanan anggota PKI.
Babe mengaku, karena dirinya selalu melawan bila dipukul, ia dimasukkan ke barak yang digunakan untuk menyimpan mayat. Namun begitu, ia merasa tidak takut atau jera. Ia tetap membalas setiap dipukul.
“Mayat-mayat itu memang ditaruh di situ sampai ada keluarga yang mengambil. Tapi ada juga yang berhari-hari tidak diambil sampai baunya busuk. Tapi saya tetap cuek saja. Saya tidak muntah atau jijik. Sebab saya berpikir saya juga nantinya akan kayak gitu,” ucapnya.
Babe menjelaskan, ada ratusan orang yang ditahan bersama dirinya. Sampai ruang tahanannya tidak cukup dan para tahanan tidur dengan duduk. Babe mengaku senang bisa tidur dengan mayat, karena bisa tidur normal.
“Tapi anehnya, tahanan lain kalau tidur di ruang mayat ini, beberapa hari kemudian ikut mati. Saya juga heran. Tapi saya masa bodo,” katanya dengan bahasa Jawa campur Betawi.
