Terlalu Licin, Harga Minyak Terpeleset Usai Stok AS Naik dan Irak Tolak Kesepakatan

Stok di Amerika Serikat (AS) naik dan Iran menolak kesepakatan oil freeze.

Editor: Duanto AS
Bloomberg/Daniel Acker
ilustrasi 

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Awan gelap terus menaungi pasar minyak mentah. Harga bahan bakar fosil ini tergelincir lagi, setelah stok di Amerika Serikat (AS) naik dan Iran menolak kesepakatan oil freeze.

Mengutip Bloomberg, Kamis (25/2) pukul 18.30 WIB harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) pengiriman April 2016 di New York Merchantile Exchange turun 0,71% ke level US$ 31,92 per barel. Padahal, di awal pekan, harganya sempat bertengger di US$ 33 per barel.

Analis SoeGee Futures Nizar Hilmy mengatakan, fundamental harga minyak belum berubah. Tren masih bearish, sebab tidak ada langkah signifikan yang ditempuh negara produsen untuk mengurangi pasokan minyak di pasar.

Menurutnya, perjanjian antara negara-negara produsen minyak untuk menahan produksi alias oil freeze bukan solusi konkret mendongkrak harga. "Mereka hanya sepakat menjaga produksi di level seperti pada Januari 2016," papar Nizar.

Padahal, dengan jumlah produksi per Januari lalu, suplai minyak di pasar global sudah kelebihan sekitar 1 juta sampai 2 juta barel per hari. Apalagi, Iran menegaskan kesepakatan oil freeze tidak masuk akal.

Maklum, negara produsen minyak ini baru lepas dari sanksi ekspor, sehingga oil freeze bakal bertentangan dengan rencana mereka untuk menggenjot ekspor sekitar 500.000 hingga 1 juta barel per hari.

Sentimen negatif juga menyelimuti pasar, lantaran Arab Saudi menyatakan sudah siap jika harga minyak turun hingga US$ 20 per barel.

Research and Analyst Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar menambahkan, harga minyak juga tertekan setelah Paman Sam melaporkan pasokan semakin besar. Energy Information Administration (EIA) merilis, stok minyak di AS bertambah selama dua pekan beruntun.

Pekan lalu, ada kenaikan stok sebesar 2,1 juta barel dan pekan ini sebanyak 3,5 juta barel. Dus, total cadangan mencapai 507,6 juta barel. Ini yang tertinggi sejak 1930. Menurut Nizar, selama persoalan suplai berlebih tidak teratasi, harga minyak mentah akan sulit bangkit.

Apalagi, permintaan juga belum pulih, terutama dari China yang merupakan salah satu pengguna terbesar minyak. "Sekalipun kurs dollar AS melemah, hanya bisa sedikit mengangkat harga minyak," proyeksinya.

Ancaman mobil listrik
Pada jangka panjang, pasar minyak juga akan mendapat ancaman baru. Permintaan disinyalir akan berkurang, jika rencana pengembangan mobil elektrik berlangsung massal.

Asal tahu saja, saat ini, produsen mobil Tesla dan Chevy berencana mengembangkan mobil listrik. Bahkan, keduanya sudah mendapat dukungan dana dari produsen otomotif kelas kakap, seperti BMW, Volkswagen, Ford hingga Nissan.

Sebelumnya, diprediksi pertumbuhan pengguna kendaraan elektrik hanya akan tumbuh 1% hingga tahun 2040. Namun, dengan dukungan dana besar, penggunaan mobil elektrik diperkirakan bisa tumbuh 60% pada 2023.

Menurut Deddy, proyek ini akan membebani harga minyak. Saat belum ada pemangkasan produksi, permintaan justru berpeluang tergerus lebih cepat. Jadi, jangka pendek maupun jangka panjang, tren harga minyak masih bearish.

"Paling tidak hingga semester I-2016, harga minyak masih di kisaran US$ 26-US$ 32 per barel,” prediksinya.

Sumber: Kontan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved