Opini

Kepemimpinan dan Seni Pertunjukan

Pernahkah Anda membayangkan pekerjaan Anda sebagai sebuah teater dan kantor sebagai pentasnya?

Editor: Deddy Rachmawan

Oleh Marfaizon Pangai*

Pernahkah Anda membayangkan pekerjaan Anda sebagai sebuah teater dan kantor sebagai pentasnya? "Work is a theater and every business a stage", kata Pine & Gilmore dalam The Experience Economy (1999). Bagaimana kita bisa memahami fenomena ini? Penulis ini berbicara dalam konteks dunia bisnis yang hiperkompetitif; ketika barang dagangan Anda relatif sama dengan yang lainnya dan Anda mesti keluar dari kerumunan agar tampak menonjol di mata konsumen, maka Anda mesti melakukan diferensiasi.
Konsumen kian cerdas dan banyak menuntut. Diferensiasi konvensional yang Anda lakukan pada produk dan jasa--- mungkin pada kemasan, fitur, dan layanan pascajual ---tidak lagi memadai. Lakukanlah apapun secara kreatif sehingga pengalaman menikmati produk yang Anda tawarkan menjadi pengalaman yang unik dan membuat konsumen terkenang-kenang. Anda perlu cara luar biasa untuk itu, meski itu hanya dengan sesuatu yang sederhana. Diceritakan di buku itu, karyawan UPS (perusahaan jasa pengiriman barang) berjalan cepat dan tergesa-gesa ketika mengantarkan sebuah paket ke tangan pelanggannya. Mereka menampilkan mimik dan gestur---sebagaimana layaknya aktor di atas panggung teater---yang jelas terlihat menyolok di mata pelanggan dan menunjukkan bahwa mereka juga menganggap penting dan berharga paket itu.
Di lain tempat, seorang pramugari memasuki kabin, dengan bibir belepotan es krim, menarik perhatian penumpang karena berbicara seakan berteriak, "Saya sebenarnya tidak suka es krim ini, tapi kata orang sangat enak.....mmmmm.....Anda mau mencobanya? Mau?" Itulah yang dilakukan oleh awak Virgin Atlantic Airways, milik Richard Branson yang eksentrik itu. Hal-hal kecil, seperti cara berjalan dan sepotong es krim, bisa menjadi pembeda kompetitif karena produk dan jasa itu sendiri tidak cukup berbeda dibandingkan pesaing. Teater itu hebat, dramatis dan emosional. Kira-kira seperti itu pulalah hendaknya pengalaman pelanggan.
Terkesan mengada-ada? Kita mungkin bisa sepakat bahwa bekerja mestilah melibatkan sesuatu yang emosional sehingga mampu melahirkan hasil yang hebat. Tak sedikit buku yang telah ditulis mengenai peranan kecerdasan emosional dalam kehidupan karier. Konsultan manajemen juga berlomba-lomba memberikan pencerahan tentang bagaimana menjadi hebat, di rumah dan di kantor. Tapi kata "dramatis" terdengar agak sedikit mengganggu, apalagi setiap hari kita terpapari oleh sinetron-sinetron yang melodramatis. Menyaksikan adegan demi adegan di dalamnya, sulit bagi kita untuk tidak mengecamnya sebagai artifisial---ada aroma kepura-puraan di dalamnya, sesuatu yang dibuat-buat, diada-adakan. Sementara kita tahu bahwa bekerja (semestinya) bukan seperti itu. Sejak masa kanak-kanak kita diajari untuk memperlakukan kerja sebagai ibadah. Ada nilai-nilai sakral di dalamnya---sikap patuh dan tunduk kepada sang Maha Pencipta. Orang pasti juga tidak mau dipanggil hypokrites (munafik), sebutan untuk aktor drama di negeri asalnya dulu, Yunani.
Membaca ungkapan "kerja sebagai teater", kita juga bisa tergoda untuk mengatakan bahwa ini adalah ungkapan akal-akalan provokatif seorang penulis untuk meningkatkan jumlah eksemplar penjualan buku-bukunya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia konsultasi manajemen penuh dengan konsep-konsep lama yang didaur-ulang dan dilempar lagi ke pasaran dengan judul dan kemasan baru. Dan, tentu saja, juga dengan strategi pemasaran yang baru.
Sungguh menarik apa yang dipaparkan dalam The Witched Doctor, sebuah buku tentang bagaimana lembaga konsultan manajemen menjual konsepnya dan bagaimana konsep-konsep itu cukup menimbulkan pengaruh terhadap cara perusahaan mengelola bisnis. Diceritakan kepada kita bahwa ada perusahaan yang tiap sebentar mengganti konsep dan strategi hanya karena ada lagi yang baru yang lebih hebat dan lagi trendy. Kalau disimpulkan, buku ini ingin mengatakan bahwa konsep manajemen, betapapun, memang bermanfaat untuk menjelaskan dan menuntun proses operasional dan arah strategi bisnis perusahaan. Akan tetapi, harap juga dicatat baik-baik, tidak semua konsep yang beredar di pasaran konsultasi bisa cocok diterapkan untuk semua tempat dan segala situasi.
Kita boleh jadi sinis menanggapi premis "Kerja adalah teater dan panggungnya adalah dunia bisnis" sebagai sesuatu yang lebay dan akal-akalan konsultan untuk melariskan jualan idenya. Tapi saya rasa kita agak kesulitan untuk menolak keseluruhan premis itu sama sekali ketika membaca Warren Bennis dalam esainya "Leadership as a Performing Art." (ulasan buku oleh Andrew O'Connell dalam Harvard Business Review, November 2009). Bennis menulis, "The ability to act---as in theater---is an aspect of leadership in every arena, from the playground to the boardroom." Kemampuan untuk ber-aksi---sebagaimana dalam teater---merupakan satu aspek kepemimpinan di setiap arena, mulai dari taman kanak-kanak sampai ke ruangan direksi. How come?
Bagaimana mungkin? Barangkali kita bisa melihatnya dari perspektif tiga kata kunci berikut ini: Act, Perform, dan Art. Dalam Oxford Learner's Pocket Dictionary, Act adalah kata benda sekaligus kata kerja. Sebagai kata benda ia berarti: sesuatu yang dilakukan atau proses melakukan, bagian utama dari drama (babak) atau pertunjukan singkat. Sebagai kata kerja: melakukan sesuatu atau mengambil peran dalam drama atau film. Sedangkan Perform berarti: melakukan (suatu pekerjaan) atau menampilkan sesuatu di hadapan penonton. Sebagai kata benda (performing atau performance) berarti: pertunjukan (drama, konser, dsb). Kemudian Art adalah: ekspresi keindahan, misalnya dalam lukisan atau patung; keahlian dalam mengekspresikan keindahan itu atau sesuatu yang tidak dianggap ilmiah.
Leadership as a performing art. Kepemimpinan sebagai seni pertunjukan. Dalam suatu organisasi, pemimpin menentukan dan menetapkan visi, kemudian memotivasi dan menggerakkan orang-orang supaya mau berbuat untuk mewujudkan visi itu. Agar setiap orang paham akan dan tergerak hatinya untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan, pemimpin harus mengkomunikasikannya dengan bahasa yang sederhana (mudah dicerna) dan kontekstual (sesuai dengan situasi dan kondisi). Di sinilah letak pentingnya seni komunikasi, dan dibutuhkan sesuatu yang sering disebut sebagai "karisma"---kemampuan untuk menyampaikan pesan-pesan yang inspirasional, visioner dan jelas sehingga menarik perhatian dan memotivasi audiens. Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa karisma bisa dipelajari melalui penguasaan terhadap kemampuan berbahasa verbal dan non-verbal (Baca "Learning Charisma" dalam Harvard Business Review, Juni 2012, hlm. 127-130). Selanjutnya, ini yang paling utama dan paling penting, upaya dan tindakan yang dilakukan untuk mencapai visi dan misi itu harus tampak-terlihat jelas dan mendatangkan hasil serta dapat diukur melalui indikator-indikator kunci dalam Key Performance Indicators. Setelah semuanya dilakukan, diukur, dan ternyata sukses, maka pemimpin jangan segan-segan merayakannya bersama karyawan dalam suatu event khusus dan istimewa atau dalam acara kumpul-kumpul (gathering) perusahaan yang dikemas ala Performing Art (seni pertunjukan atau drama). Atau bisa juga sebaliknya; walaupun upaya itu gagal, kita pun masih bisa mengemasnya dengan ilmu pencitraan ala teater sehingga stakeholder tetap memandangnya sebagai sebuah keberhasilan yang gegap-gempita .
Kalau sudah begini, masihkah kita sangsikan bahwa ternyata memang "kerja adalah teater dan setiap bisnis adalah panggungnya" dan "kepemimpinan pada dasarnya adalah seni pertunjukan."?
Sebelum menjawabnya, ada perlunya saya sarikan dan Anda simak sebuah cerita pendek karya Heinrich Boll. Cerpen penulis pemenang Hadiah Nobel Kesusateraan 1972 ini penuh dengan aksi atau tindakan (sebagaimana galibnya dalan seni pertunjukan), yang tersurat dalam judulnya "Action Will be Taken" (The Penguin Book of International Short Stories 1945-1985, hlm. 119-123):
Tersebutlah seorang pengangguran (kita panggil dia "Tokoh") yang, karena kesulitan finansial, terpaksa melamar pekerjaan di sebuah pabrik milik seorang toke bernama Alfred Wunsiedel. Terpaksa, karena sang Tokoh pada dasarnya lebih suka bermenung-menung dan berleha-leha dibandingkan bekerja. Sadar bahwa dirinya berada dalam pengawasan dan sedang dites, sang Tokoh selalu mengatur setiap gerak-geriknya dan melakukan apapun di hari pertama itu dengan penuh takzim. Bahkan ia sanggup melakukan sesuatu yang dalam keadaan normal, katanya, tak ada kekuatan apapun yang mampu memaksanya, yakni minum orange juice dalam keadaan perut kosong dan tidak menyentuh sedikitpun makanan dan minuman yang enak-enak yang tersaji di depannya. Dengan hanya meminum jus jeruk, ia segera bangkit dan berjalan mondar-mandir di kedai kopi itu---menunjukkan sikap seseorang yang penuh tindakan.
Pabrik itu memang tempat yang penuh tindakan. Hal itu terlihat dan menjadi teladan dalam segala perbuatan Wunsiedel, sang toke. Kegiatan yang paling remeh pun tampak seperti tindakan: caranya mengenakan topi, memasang kancing jas, dan bahkan caranya mencium istrinya. Segalanya adalah tindakan. Tidaklah mengherankan bila perbendaharaan kalimat yang banyak beredar di pabrik itu dan sering terdengar diucapkan di mana-mana adalah: "Segera ambil tindakan", "Lakukan sesuatu", "Kita harus punya tindakan", "Tindakan akan diambil", "Tindakan telah diambil" atau "Tindakan harus diambil". Setiap karyawan yang mendengar teriakan "Mari ambil tindakan" diwajibkan untuk menjawabnya dengan "Tindakan akan diambil." Itulah aturan main yang berlaku di pabrik Wunsiedel yang penuh tindakan, dan "...aku benar-benar mulai merasa sudah bekerja sesuai dengan kapasitas bila memang ada tindakan," kata sang Tokoh.
Klimaks cerpen ini bermula ketika suatu hari sang Tokoh tidak menjawab sebagaimana mestinya kalimat yang diteriakkan oleh Wunsiedel, "Mari ambil tindakan." Bukan karena sang Tokoh mulai membangkang atau apa tapi karena, pada saat si bos meneriakkan kalimat sakral itu, ia melihat pada wajah dan air muka bosnya itu sesuatu yang tidak bisa dijelaskannya. Ia jadi ragu dan kalimat "Tindakan akan diambil" hampir tidak jadi diucapkannya ketika pada saat itu memang ada sebuah tindakan: Wunsiedel jatuh ke lantai. Mati.
Kejadian yang penuh tindakan itu segera dilaporkannya kepada tangan kanan Wunsiedel, Broschek, seseorang yang juga penuh tindakan (Bayangkan: Broschek mampu membiayai tujuh orang anak dan satu orang istri yang lumpuh dengan bekerja di malam hari sewaktu kuliah, dan menangani empat usaha bisnis dengan sukses. Juga tercatat dalam map personil, ia berhasil menempuh dua ujian dengan penghargaan dalam waktu dua tahun. Ketika ditanya wartawan,"Kapan Anda tidur Pak Broschek?", ia menjawab, "Tidur adalah perbuatan kriminal!"). Broschek tidak percaya bahwa Wunsiedel telah mati, meskipun telah melihatnya sendiri. Menanggapi ketidakpercayaan Broschek ini, dengan tenang sang Tokoh hanya mengucapkan "Kita harus ambil tindakan."
Singkat cerita, tindakan pun diambil: Wunsiedel dikuburkan. Dan di acara pemakaman inilah sang Tokoh dilirik oleh sebuah perusahaan pemakaman modern. Dari wajah dan penampilannya yang penuh takzim saat berjalan di belakang peti jenazah Wunsiedel, perusahaan ini menilai, "Anda seorang pelayat yang berbakat. Fasilitas Anda akan disediakan oleh perusahaan. Wajah Anda...benar-benar agung." Maka sang Tokoh pun melayangkan surat pengunduran diri dari pabrik Wunsiedel seraya menjelaskan bahwa ia tidak pernah benar-benar merasa telah bekerja sesuai dengan kapasitasnya di pabrik itu.
Sang Tokoh benar-benar menikmati pekerjaan profesionalnya sebagai pelayat jenazah. Di waktu-waktu luangnya, ia juga rajin mengiringi jenazah yang bukan dalam lingkup job desc-nya dan bahkan tidak segan-segan ia mengeluarkan uangnya sendiri untuk membeli bunga dan bergabung dengan pekerja sosial yang berjalan di belakang jenazah seorang gelandangan. Sesekali ia juga mengunjungi kuburan Wunsiedel karena bagaimanapun juga katanya ia berhutang padanya sehingga menemukan pekerjaan yang cocok, sebuah pekerjaan di mana "bermenung-menung adalah esensial dan berleha-leha adalah kewajibanku."
Yang paling menarik adalah ungkapan terakhir sang Tokoh sebagai kalimat penutup cerpen ini: "Tak lama setelah itu aku akhirnya sadar bahwa selama ini aku tidak pernah ambil pusing untuk mengetahui apa sebenarnya yang diproduksi dalam pabrik Wunsiedel. Kuharap itu adalah sabun."

*Corporatte Communiation PTPN 6

Sumber: Tribun Jambi
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved