Skandal Nazaruddin

ICW Desak Bentuk Komite Etik KPK untuk Chandra-Jasin-Ade

TRIBUNJAMBI.COM - IndonesiaCorruption Watch (ICW) mendesak dibentuknya Komite Etik KPK untuk memeriksa pimpinan KPK.

Editor: Nani Rachmaini

JAKARTA, TRIBUNJAMBI.COM - IndonesiaCorruption Watch (ICW) mendesak dibentuknya Komite Etik KPK untuk memeriksa pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan M Jasin, atas dugaan pelanggaran kode etik, sebagaimana "nyanyian" pihak berperkara, Muhammad Nazaruddin.

Sementara untuk nama Ade Rahardja, Deputi Penindakan KPK, yang juga disebutkan Nazaruddin, bisa diperiksa oleh Pengawas Internal KPK. "Untuk pemimpin KPK, dibentuk mekanisme bentuk semacam komite etik. Pengalaman kan sebelumnya ada, di yang pertama itu ada," kata Wakil Koordinator ICW, Emerson Yuntho, di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (20/7/2011).

Susunan Komite Etik terdiri dari dua orang pimpinan, dua penasihat, dan dua tim independen. Komite etik memiliki wewenang untuk memberikan sanksi.

Sebagaimana pengakuan Nazaruddin dalam wawancar di Metro Tv, bahwa terjadi pertemuan dan deal antara Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dengan pimpinan KPK, Jasin, Chandra dan Ade Rahardja, agar kasus Wisma Atlet Kemenpora akan terputus di tersangka Nazaruddin seorang dan tak merembet ke petinggi Demokrat lainnta, seperti Anas, Angelina Sondakh dan Mirwan Amir. Imbalannya, Chandra dan Ade akan digolkan dalam seleksi pimpinan KPK periode 2011-2015.

Namun, ketiga pejabat KPK itu telah membantah "nyanyian" tersebut. "Kalau hanya sekedar bantah mebantah saja, itu proses yang tdk fair. Artinya, KPK juga dalam posisi tertentu kalau menemukan, harus diakui. Kalau misal adanya tindakan tidak disiplin atau pelanggaran kode etik, harus juga diberikan sanksi," tandasnya.

Sementara pemeriksaan Ade Rahardja oleh Pengawas Internal KPK bisa dilakukan karena ia telah mengakui pertemuan dengan mantan Kepala Bareskrim Polri, Komjen Pol Ito Sumardi dan membahas soal bukti pengeluaran uang 50 ribu dolar AS milik Nazaruddin tersebut.

"Itu yang enggak boleh. Pegawai itu dilarang melakukan hubungan dengan tersangka, saksi, maupun pihak terkait dengan kasus korupsi ini. Apalagi nama Pak Ito kan disebut-sebut. Di semacam catatannya pak Nazarudin, seharusnya dia tidak boleh melakukan pertemuan itu," ujarnya.

Ito juga seharusnya tidak berwenang menemui Ade, kendati membawa mengatasnamakan Kabareskrim. "Tetap eggak boleh juga. Pak Ade kan melekat jabatan sebagai Deputi Penindakan," tandasnya.

Dalam sejarah berdirinya KPK, sempat diusulkan dibentuk Komite Etik atas pelanggaran etik Ketua KPK saat itu, Antasari Azhar, yang melakukan pertemuan dengan buronan KPK, Dirut PT Masaro, Anggoro Widjaya di Singapura.

Pasal 36 Keputusan Pimpinan KPK nomor KEP-06/P.KPK/02/2004 tentang kode etik pimpinan KPK mengatur pimpinan KPK dilarang bertemu dengan pihak yang sedang berpekara. 
Pembentukan Komite Etik tidak perlu menungu laporan ataupun kepulangan Nazaruddin ke tanah air. Dan hasil wawancara Nazaruddin di stasiun tv dan beberapa media lainnya itu bisa dijadikan bahan pemeriksaannya. "Busyro harus bentuk Komite Etik, itu ada aturan mainnya. Egggak boleh dilakukan pertemuan itu. Kalaupun konteks klarifikasi, kecuali projusticia," tandasnya.

Emerson menegaskan publik akan terus curiga terjadi bargaining antara pimpinan KPK dan Anas Urbaningrum, jika Komite Etik tidak juga dibentuk. "Kalau dari sisi hukum kan jelas, ada beberapa nama yang disebut Nazarudin, soal keterlibatan anggota DPR, Anas, dan nama yang turut serta. Ini harus dilihat, ada tidaknya pelanggaran," tukasnya.

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved