Sejarah Indonesia

Menilik Rancangan 4 Taktik yang Harus Dijalankan Soeharto Untuk Menumpas G 30S PKI di Ibukota

Komplotan kontra revolusioner “G-30-S" telah mencengkramkan kukunya ke dalam tubuh Bangsa Indonesia.

Editor: Andreas Eko Prasetyo
Soeharto saat pecahnya G30s PKI 

TRIBUNJAMBI.COM – Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, di sekitar jam 04.30, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusuma, Panglima Daerah Militer V/Jayakarta dibangunkan oleh telepon dari Inspektur Polisi Hamdan, ajudan Jenderal Nasution, Menko Hankam/Kasab.

Menurut laporannya, suatu gerombolan bersenjata telah menyerbu rumah Pak Nas, menembak-nembak sehingga putrinya luka-luka berat dan kemudian menculik Lettu Pierre Tendean, ajudan yang lain, Pak Nas sendiri hilang.

Kemudian Jenderal Umar mulai menerima laporan-laporan yang lain: Jenderal Yani, Harjono MT dan Pandjaitan ditembak lalu dibawa pergi oleh gerombolan bersendjata; Jenderal S. Parman, Suprapto dan Sutoyo Siswomiharjo telah diculik dari rumah masing-masing.

Komplotan kontra revolusioner “G-30-S" telah mencengkramkan kukunya ke dalam tubuh Bangsa Indonesia. Darah Pahlawan-pahlawan Revolusi telah mengalir untuk menebus kebebasan Rakyat dari teror yang meningkat.

Hantu-hantu di Lubang Buaya

Dua jam sebelum Jenderal Umar menerima laporan-laporan itu, di Lubang Buaya (eks) Lettu Dul Arief dari Yon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa mulai menyiapkan gerombolan bersenjata.

Gerombolan itu berintikan unsur-unsur dari Yon I Cakrabirawa sendiri dengan unsur-unsur bantuan dari Brigade I Infanteri/Jayakarta, Yon 454 Para/Diponegoro, Yon Para/Brawijaya, PGT/AURI dan “sukarelawan" Pemuda Rakyat.

Pada jam 02.30 (eks) Lettu Dul Arief memberikan briefing terakhir kepada komandan-komandak kelompok dan di sekitar jam 03.00 — 03.30, mereka berangkat menuju ke kota.

Dalam waktu yang hampir bersamaan pula mereka melaksanakan tugas khianatnya.

Di rumah Jenderal Yani, mereka melucuti pengawal yang sama sekali tidak menaruh kecurigaan karena yang mendatangi mereka adalah anggota Resimen Cakrabirawa, lalu terus memasuki rumah.

Kepada anak Pak Yani yang kebetulan sedang terbangun mereka minta untuk memberitahukan ayahnya bahwa beliau dipanggil Presiden.

Pak Yani bangun, menemui mereka dan setelah mendengar pesan mereka, hendak masuk lagi untuk mandi.

Hal itu tidak mereka setujui dan langsung dilepaskan tembakan sehingga beliau jatuh berlumuran darah.

Dengan serta-merta mereka menyeret Pak Yani dengan kepala di bawah menuju ke jalanan lalu mereka bawa pergi.

Baca: Kaget Bayari Baju Pelantikan Zumi Zola Rp 48 Juta, Pengakuan Eks Kadis PUPR Provinsi Jambi

Di rumah Jenderal Suprapto, Deputi II Men/Pangad, tidak ada pengawalnya. Di sana pun para penculik memakai dalih bahwa korban mereka dipanggil oleh Presiden.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved