Human Interest Story

Asih Ingin Jadi Dokter, Paradoks Digital Orang Rimba di Hutan Jambi

Cita-cita itu mulai muncul, setelah Asih bersekolah. Cita-citanya menjadi dokter bertambah besar, saat mendapat banyak informasi dari internet .

|
Penulis: Rifani Halim | Editor: asto s
Tribun Jambi/Rifani Halim
ANAK RIMBA - Asih Permata Hati (8), anak-anak dari komunitas adat Orang Rimba di Kampung Pasir Putih, Desa Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, Sabtu (27/9/2025). Asih masih mengenyam pendidikan di sekolah dasar. 

Paradoks Literasi Digital di Hutan

Perbal Tampung adalah seorang anggota polisi yang berasal dari Suku Anak Dalam Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun. Laki-laki berpangkat brigadir dua (bripda) itu bertugas di Polres Sarolangun dan kerap bolak-balik ke permukiman SAD.

Sebagai polisi Rimba, Perbal memiliki peran penting mengedukasi komunitas SAD dari usia dini hingga orang tua, dari segi sosial, dunia luar, hingga pendidikan.

Edukasi pendidikan yang dilakukannya bukan hanya baca tulis. Dia juga mengedukasi kerabat, keponakan dan anak-anak Rimba untuk bijak menggunakan gawai.

"Tidak hanya anak-anak, tapi yang bapak-bapak juga. Karena mereka lebih sering menonton video, daripada nonton yang bermanfaat," kata Perbal Tampung.

MENGEDUKASI - Perbal Tampung, Orang Rimba yang menjadi polisi di Polres Sarolangun, sedang mengedukasi anak Rimba.
MENGEDUKASI - Perbal Tampung, Orang Rimba yang menjadi polisi di Polres Sarolangun, sedang mengedukasi anak Rimba. (Tribun Jambi/Rifani Halim)

Orang Rimba yang kerap didatangi Perbal masih pasif dalam menggunakan gawai untuk internet. Mereka hanya menonton dan memberi tanda like atau suka pada video yang lewat di lini massa media sosial, tidak banyak meninggalkan pesan di kolom komentar.

Koordinator Divisi Komunikasi KKI Warsi yang concern pada isu masyarakat adat dan Suku Anak Dalam, Sukmareni, menerangkan literasi Orang Rimba, masyarakat adat yang hidup tersebar di kawasan hutan Jambi, masih berada pada tahap pengguna atau penonton. Mereka masih berjuang dalam literasi dasar, membaca, menulis, dan berhitung, sehingga akses terhadap literasi digital menjadi tantangan berlapis.

"Kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal belum merata di semua kelompok," kata Reni dalam keterangan tertulis kepada Tribun Jambi.

Mayoritas anak dalam Orang Rimba belum mendapatkan pendidikan secara memadai, karena keterbatasan akses, biaya, maupun faktor budaya yang masih sangat melekat pada pola hidup seni nomadik dan ketergantungan pada hutan.

Pendidikan dasar Orang Rimba masih relatif rendah, dan kesenjangan dengan masyarakat luar kian terasa.

"Namun, perubahan zaman berjalan cepat. Arus digital kini mulai menembus batas hutan," kata Reni.

Sinyal telepon dan jaringan internet yang menjangkau desa-desa sekitar kawasan hutan, membawa dunia baru ke hadapan Orang Rimba

Puncak bukit dan pinggir desa yang memiliki sinyal, anak-anak muda Orang Rimba sering berkumpul, tidak hanya untuk berinteraksi dengan dunia luar, tetapi juga melihat dunia luar dari gawai sederhana yang mereka punya, atau sekedar memainkan game yang baru dalam dunia mereka. 

Perbedaan yang mencolok antara dunia dalam gawai dengan dunia rimba, menjadikan setiap konten yang hadir menarik perhatian Orang Rimba, terutama generasi muda. 

Kehadiran dunia digital ini menjadi paradoks. Di satu sisi, ia membuka jendela pengetahuan baru. Tanpa bekal literasi yang memadai, Orang Rimba rentan terhadap dampak negatif digitalisasi, misinformasi, eksploitasi, dan ketergantungan tanpa arah.

Sumber: Tribun Jambi
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved