Demo di Jakarta

Siapa yang Bisa Membubarkan DPR? Prof Hukum Tata Negara UNS Beri Penjelasan

Pakar Hukum Tata Negara UNS Surakarta, Prof Sunny Ummul Firdaus, memberikan penjelasannya soal pembubaran DPR

Editor: asto s
Ist
Gedung DPR RI 

TRIBUNJAMBI.COM - Apakah DPR bisa dibubarkan dan siapa yang bisa membubarkan DPR?

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Sunny Ummul Firdaus, memberikan penjelasannya.

Sejak era reformasi, DPR menjadi simbol keterwakilan rakyat dalam sistem demokrasi Indonesia. 

Namun, kritik terhadap lembaga legislatif ini kerap muncul, bahkan sesekali berkembang menjadi wacana ekstrem berupa pembubaran DPR

Kompas.com menuliskan, isu ini memunculkan perdebatan serius, sebab menyentuh langsung keberlangsungan prinsip perwakilan rakyat dan stabilitas sistem politik. 

Lantas, mungkinkah DPR benar-benar dibubarkan? Dan apa konsekuensi yang akan terjadi jika hal itu dilakukan? 

Pembubaran DPR bertentangan dengan konstitusi 

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Sunny Ummul Firdaus, menegaskan tidak ada dasar hukum bagi demonstrasi atau tekanan massa untuk membubarkan DPR

Menurutnya, aksi massa hanya dapat berfungsi sebagai pemicu perubahan politik. 

Tekanan publik bisa mendorong DPR memperbaiki kebijakan, atau bahkan memicu perubahan konstitusi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 

"Demo tidak bisa secara hukum membubarkan DPR. Namun bisa jadi pemicu perubahan politik," ujar Prof Sunny saat dimintai pandangan Kompas.com, Senin (25/8/2025). 

Dia menekankan, wacana pembubaran DPR secara langsung bertentangan dengan konstitusi. 

Mekanisme hukum yang sah tetap melalui mekanisme pemilu, baik reguler maupun dini, ataupun lewat amandemen UUD 1945. 

Dengan begitu, demonstrasi sebaiknya dipahami sebagai kanal politik untuk memberi tekanan, bukan instrumen legal untuk membubarkan lembaga legislatif. 

"Pembubaran DPR bertentangan dengan konstitusi. Jalan hukumnya harus tetap lewat pemilu dan amandemen," terangnya. 

Konsekuensi jika DPR dibubarkan Lebih jauh, Prof Sunny menjelaskan, jika DPR dibubarkan di luar mekanisme konstitusi, Indonesia berpotensi menghadapi krisis ketatanegaraan yang serius. 

Selain menimbulkan kebuntuan dalam proses legislasi, kondisi tersebut juga bisa memicu delegitimasi politik secara luas. 

"Satu-satunya jalan sah untuk mengganti DPR adalah lewat pemilu reguler sesuai jadwal, atau melalui pemilu dini (early election) yang membutuhkan amandemen UUD 1945," jelasnya. 

Menurut Sunny, setidaknya ada dua dampak utama jika DPR dibubarkan secara sepihak, yakni pelanggaran prinsip demokrasi dan pelanggaran terhadap kedaulatan rakyat. 

Sebagai lembaga yang merepresentasikan suara rakyat, DPR adalah simbol kedaulatan. 

Jika lembaga ini dibubarkan di luar aturan hukum, hak rakyat untuk menyampaikan aspirasi melalui wakilnya otomatis terampas. 

Ahmad Sahroni dan Bubarkan DPR

Dua politisi Partai NasDem yang duduk sebagai Anggota DPR RI, Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, dicopot oleh partainya, karena dinilai telah menyampaikan hal yang mencederai rakyat.

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni (kini telah dicopot partainya) menegaskan dirinya tidak pernah bermaksud merendahkan masyarakat yang belakangan menyerukan pembubaran DPR RI. 

Ia mengeklaim, pernyataan "orang tolol sedunia" yang menuai kritik sesungguhnya bukan ditujukan kepada publik, melainkan pada cara berpikir pihak yang menilai DPR bisa begitu saja dibubarkan. 

“Kan gue tidak menyampaikan bahwa masyarakat yang mengatakan bubarkan DPR itu tolol, kan enggak ada,” ujar Sahroni saat dihubungi Kompas.com, Selasa (26/8/2025).   

“Tapi untuk spesifik yang gue sampaikan bahwa bahasa tolol itu bukan pada obyek, yang misalnya ‘itu masyarakat yang mengatakan bubar DPR adalah tolol’. Enggak ada itu bahasa gue,” imbuh dia. 

Menurut dia, ucapannya dipahami keliru sehingga kemudian digoreng seolah-olah ditujukan kepada masyarakat. 

Sahroni menegaskan, yang disorotinya adalah logika berpikir yang menilai DPR bisa dibubarkan hanya karena isu gaji dan tunjangan anggota. 

"Iya, masalah ngomong bubarin pada pokok yang memang sebelumnya adalah ada problem tentang masalah gaji dan tunjangan. Nah, kan itu perlu dijelasin bagaimana itu tunjangan, bagaimana itu tunjangan rumah. Kan perlu penjelasan yang detail dan teknis,” tutur Sahroni. 

“Maka itu enggak make sense kalau pembubaran DPR, cuma gara-gara yang tidak dapat informasi lengkap tentang tunjangan-tunjangan itu,” ujar dia. 

Ia juga menyinggung sejarah politik Indonesia yang kerap dijadikan rujukan dalam wacana pembubaran DPR

Misalnya, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berusaha membubarkan DPR tetapi gagal, sementara Presiden Soekarno berhasil mengeluarkan dekrit pembubaran DPR karena konflik dengan parlemen kala itu. 

“Akhirnya diikutsertakan masalah ada Gus Dur dulu mau bubarin DPR. Toh enggak kejadian, malah almarhum Gus Dur yang diturunin. Zaman dulu Bung Karno misalnya membuat dekrit pembubaran DPR, itu terjadi karena presiden dan DPR tidak sama. Maka itulah setelah dibubarin, dibentuk kembali,” kata Sahroni. 

Sahroni mengingatkan, pembubaran DPR justru berpotensi melemahkan sistem demokrasi. 

Menurut dia, DPR tetap dibutuhkan sebagai pengawas pemerintah agar kekuasaan presiden tidak berjalan tanpa kendali. 

“Emang setelah bubar DPR, terus siapa yang mau menjalankan pengawasan pemerintahan? Kalau pemerintah langsung, misalnya presiden punya kekuasaan penuh, itu bahkan tidak bisa terkontrol dan membahayakan malah. Maka itu ada DPR untuk membuat balancing, agar republik ini semua tertata,” ujar Sahroni. 

Politikus Partai Nasdem itu pun meyakini bahwa seruan pembubaran DPR ini dimunculkan oleh pihak-pihak yang belum memahami detail dinamika kerja lembaga perwakilan rakyat. 

“Teman-teman yang pengen mau mengatakan bubar itu adalah yang belum mengetahui detail terjadinya, dinamika, apa yang dia ketahui. Sayang, seribu sayang, kalau akhirnya cuma sesaat bilang bubarin DPR, bubarin DPR,” kata Sahroni. 

Ramai di Media Sosial

Diberitakan sebelumnya, seruan untuk membubarkan DPR ramai di media sosial menjelang aksi unjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (25/8/2025). 

Menanggapi hal itu, Sahroni sempat menyebutkan bahwa masyarakat boleh mengkritik, mencaci, bahkan mengecam DPR, tetapi jangan berlebihan. 
Dalam pernyataannya, dia juga menyinggung bahwa orang yang hanya berteriak membubarkan DPR adalah “orang tolol se-dunia”. 

"Kenapa? Kita ini memang orang pintar semua? Enggak. Bodoh semua kita. Tetapi ada tata cara kelola bagaimana menyampaikan kritik yang harus dievaluasi,” kata Sahroni saat kunjungan kerja di Polda Sumut, Jumat (22/8/2025). 

Politisi Nasdem itu menegaskan, DPR akan tetap ada sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan dan penyeimbang pemerintah. (kompas.com)

Baca juga: Setelah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach Dinonaktifkan, Kini Eko Patrio dan Uya Kuya Mundur dari DPR RI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved