Pencemaran Sungai Batanghari

Hilangnya Ikan Tapah Raksasa di Sungai Batanghari Jambi, Perubahan 1995 dan Sampah

Perubahan besar Sungai Batanghari mulai dirasakan sekira 1995. Pada tahun-tahun itu, hutan di Jambi digunduli secara besar-besaran

|
Penulis: Rifani Halim | Editor: asto s
Tribun Jambi
Tribun Jambi edisi 24 November 2025 tentang ikan Tapah di Sungai Batanghari Jambi dan pencemaran sungai. 

TRIBUNJAMBI.COM, MUAROJAMBI - Meski rawai puluhan meter yang berisi ratusan mata kail telah ditanam di dasar sungai, dan tagang penangkap ikan besar digunakan, sangat sedikit ikan yang diperoleh Jufri (58). 

Seperti itulah gambaran kondisi nelayan di Sungai Batanghari dan anak sungainya di Jambi

"Ikan besar kecil mati semua. Tempat ikan makan hancur. Kalau yang kecil mati, yang besar mau makan apa lagi?" ujarnya.

Jufri berdiri dari kursi di teras rumah panggung miliknya, di tepi jalan Desa Sungai Duren, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi

Dari bangunan rumah panggung papan kayu yang sudah menghitam dimakan usia itu, dia memandang Sungai Batanghari yang airnya cokelat keruh, sementara angin dari arah membawa bau lumpur tipis. 

"Dari dulu saya tuan diri. Tak ada kantor, tak ada gaji bulanan. Hanya ikan yang ngasih makan keluarga. Hidup kami ikut buntut ikan," katanya membuka cerita.

Lelaki yang rambutnya telah memutih itu kemudian duduk. Di samping kursi itu tersandar rawai panjang, gulungan tagang, beberapa jaring lambak, dan seutas tali besar yang sudah banyak simpulnya. 

"Semua alat ini penopangnya, sejak remaja," ujarnya sembari menunjuk peralatan.

Kemudian, Jufri menunjuk kolong rumah, yang di bawahnya ada kolam kecil yang tampak keruh. 

"Dulu air macam ini tak ada. Semua jernih. Kalau banjir pun, air tetap cantik." ujarnya.

Jufri lahir dan besar di pinggir Sungai Batanghari era 1970 hingga 1980-an. 

Dia ingat betul, ketika sungai terpanjang di Sumatera itu masih berwarna biru kehijauan. 

Anak-anak mandi dari pagi sampai sore, dan dasar sungai terlihat jelas.

"Kalau mau minum, tinggal cedok. Tak ada takut-takut," lanjutnya.

Perubahan Besar 1995-an

Perubahan mulai terasa sekira 1995. 

Pada tahun-tahun itu, hutan di Jambi digunduli secara besar-besaran. Hutan di sepanjang sungai mulai habis ditebang. 

"Dulu kiri kanan sungai rindang, tempat ikan makan. Sekarang telanjang semua,” ucapnya. 

Dengan mata kepala sendiri, Jufri juga melihat banyak penambangan emas berdiri di hulu dan anak-anak sungai. 

"Sejak itu, air (Sungai Batanghari) berubah cepat keruh. Tak ada lagi simpanan air dari hutan." tuturnya.

Lima tahun kemudian, perubahan semakin parah.

Dia ingat, itu setelah banjir besar 2000. 

"Beda betul airnya. Keruhnya tak hilang-hilang. Ikan makin hilang." ungkapnya.

Gudang Ikan Besar

Di depan rumah, lelaki tua berkumis itu membuka satu per satu alat tangkapnya sambil bercerita. 

Rawai miliknya panjang puluhan meter, berisi ratusan mata kail yang ia tanam di dasar sungai. 

Tagang dipakainya untuk ikan-ikan besar. Sedangkan jaring lambak dipakai untuk ikan kecil, meski hasilnya kini sangat sedikit.

Dulu, kata Jufri, sungai di depannya merupakan gudang ikan besar. 

Dia menyebut ukuran ikan secara sangat rinci. 

Patin amoi ukuran 10 kilogram hampir tiap minggu diperolehnya. Yang 15 kilogram, sering muncul saat air bagus dan 20 kilogram bukan hal langka pada masa itu.

"Kalau 20 kilogram, dua oranglah nariknya," ujar Jufri sembari menggambarkan ukuran ikan menggunakan kedua tangannya.

Selain patin, dia menyebut sengarat atau lais besar dengan badan panjang sebesar paha orang dewasa. 

"Kalau dapat satu saja, sudah cukup buat hidup seminggu," ujarnya.

Tapah yang Tak Pernah Muncul Lagi

Tapi yang paling dikenang Jufri adalah ikan tapah, ikan predator besar yang kini nyaris tak pernah terlihat lagi olehnya.

"Dulu, saya pernah dua kali dapat setengah pikul, sekitar 50–60 kilo," ujarnya. 

Satuan berat pikul kerap digunakan di Sumatera, khususnya Jambi. Berartnya setara dengan 100 kilogram.

"Pernah juga hampir dapat sepikul, tapi putus tali. Sedihnya sampai hari ini ingat," lanjutnya.

Ikan tapah atau Wallago merupakan genus beberapa ikan berkumis (Siluriformes) dalam famili siluridae pemakan daging (karnivora) berukuran besar dari Asia tropika.

Jufri mengatakan sejak 2000-an, ikan tapah benar-benar hilang dari Sungai Batanghari di daerahnya.

"Dari sejak tahun 2000 sampai sekarang, tak pernah lagi saya lihat batang hidungnya" katanya.

Sekira dua atau tiga bulan lalu, dia sempat mendapat patin 20 kilogram. Itu merupakan kejadian langka. 

"Sekarang dapat satu kayak itu, macam menang undian." ujarnya sembari terkekeh.

Penyebab Kerusakan Sungai

Dia menjelaskan rusaknya sungai bukan hanya karena hutan habis. Ia menyebut banyak orang memakai lanet (racun) untuk menangkap ikan. 

"Ikan besar kecil mati semua. Tempat ikan makan hancur. Kalau yang kecil mati, yang besar mau makan apa lagi?" katanya, suaranya meninggi.

Penggunaan setrum listrik pun merajalela. Kerap terjadi, saat Jufri mengangkat rawai, yang diperoleh hanya berisi bangkai ikan kecil. 

"Macam disapu bersih," ujarnya.

Masalah lain datang dari ikan sapu jagat, yang ia sebut “ikan Indosiar” karena dulu sering muncul di iklan. 

"Entah siapa lepas. Sekarang penuh sungai. Sekali dia masuk jaring, habis. Jaring tak bisa dibuka. Terpaksa bakar. Banyak uang habis karena itu," kata Jufri.

Dampak ke Pendapatan

Semua perubahan sungai itu membuat pendapatan Jufri tak menentu. 

Dulu, dia turun pagi, pulang siang, turun lagi sore, kadang malam hingga Subuh. 
"Dulu kalau tarik rawai, penuh. Sekarang kosong," ujarnya.

Akhirnya, kini Jufri harus bekerja serabutan, dari menebas rumput, ikut di kebun sawit, atau memperbaiki jaring orang. 

"Kalau berharap ikan saja, anak bini mau makan apa?" ujarnya, sembari melepaskan pandangan jauh ke depan.

Di kursinya, dia menatap batang tubuh sungai yang tidak terlihat dari depan rumah, tetapi hanya berjarak beberapa lorong. Suaranya melemah saat berbicara tentang harapannya.

"Tolonglah Batanghari kami ini. Tolong bersihkan. Kami nelayan kecil mau mengadu ke siapa?" katanya.

Sembari memukul kayu pegangan kursi, Jufri mengulang filosofi yang dipelajarinya sejak kecil. 

"Orang sungai hidup ikut buntut ikan. Kalau ikannya hilang, hilang jugalah rezeki kami," tuturnya. 

Petani Karamba pun Terdampak

Siang itu, derap langkah seorang pria muda terdengar berat di atas papan karamba yang bergoyang pelan mengikuti arus Sungai Batanghari

Azhar (32), warga Desa Sungai Duren, Kecamatan Jambi Luar Kota, bolak-balik memikul karung-karung pakan ikan nila. 

Di atas karamba miliknya, Azhar menuturkan kepada Tribun Jambi sudah menjadi petani ikan sejak enam tahun terakhir.

"Saya sudah hampir jalan enam tahun berkaramba. Ini punya sendiri, ngurus semua dari kecil sampai panen." ujarnya sambil menurunkan satu karung pakan dan mengatur posisinya di sudut keramba. 

Ketika ditanya bagaimana perubahan Sungai Batanghari yang dia rasakan sejak dulu hingga sekarang, wajah Azhar langsung berubah. 

Dia langsung menatap air sungai yang bergelombang kecoklatan, pekat tak tembus mata tengah dan dasarnya.

"Sudah luar biasa bedanya," katanya. 

"Air jernih itu sudah ndak pernah lagi. Mau naik, mau surut, warnanya, ya, begin, keruh saja." lanjutnya.

Dia mengingat masa kecilnya, ketika Sungai Batanghari masih sesekali jernih. 

"Dulu waktu kecil, ada lah air jernihnya. Bapak saya dulu sudah mulai berkaramba juga, waktu itu ikannya hidupnya bagus. Tahun 2000-an sampai 2010 ke bawah itu masih bagus benar,” ujar dia.

Azhar mengatakan kualitas air yang turun drastis membuat kondisi ikan nila tidak sebaik dulu. 

Dia menunjuk salah satu kolam keramba yang berisi ikan berukuran besar. 

"Kalau sudah besar, air surut, kemarau panjang, itu mulai nampak dampaknya. Banyak mati merah. Itu karena panasnya," tuturnya.

Penyebab utama turunnya kualitas air, menurut pengamatannya sebagai warga bantaran sungai, ada beberapa hal. 

"Pertama, yo, faktor sedotan emas itu. Orang nyedot emas. Kalau pasir bae mungkin dak pengaruh. Tapi yang nyedot itu kan lumpurnya turun. Belum lagi keramba kita sudah ribuan sekarang. Dari pakannya, dari tinjanya, semua pengaruh," ujarnya.

Selain itu, aliran sungai yang dulunya deras kini semakin tergenang. 

“Dulu alirannya deras. Sekarang banyak lumpur, banyak keramba. Dari ulu sana juga banyak terbis-terbis itu. Air ndak jalan lagi.”

Pertumbuhan Ikan Terhambat

Dia juga menjelaskan bagaimana kekeruhan air memengaruhi pertumbuhan ikan nila. 

"Pengaruh, Bang. Kalau hujan deras pun pengaruh. Ikan jadi lambat makan. Ada yang tak mau makan sama sekali. Tapi memang yang paling berpengaruh itu pasang surutnya air. Kalau berubah sedikit, makan ikan langsung berubah,” kata Azhar

Saat diwawancarai, Azhar beberapa kali berhenti sejenak untuk menuangkan pakan ke keramba sembari mengamati gerakan ikan. 

Dia menunjukkan dua aliran sungai kecil yang mengarah ke lokasi keramba. 
Menurutnya, kedua anak sungai itu juga membawa lumpur dan memengaruhi arus.

Soal sejak kapan Sungai Batanghari keruh seperti sekarang, Azhar mengingat jelas dua fase perubahan. 

"Kalau dari lama, dari 2011 itu sudah keruh. Cuma belum separah sekarang. Masih ada jernih-jernihnya dulu,” katanya.

“Kalau tiga tahun terakhir ini, sejak kemarau-kemarau panjang, memang makin keruh. Dari atas keruh, turun pun tetap keruh. Dak ada berubahnya. Dari dulu sampai sekarang tetap begitu,” lanjut Azhar.

Di atas karamba yang terus bergoyang, dia kembali mengangkat satu karung pakan, memikulnya di pundak, lalu berjalan pelan melewati papan-papan yang basah. 

Karamba itu bukan hanya tempat bekerja baginya, tetapi juga tempatnya menyaksikan sendiri bagaimana Sungai Batanghari berubah dari masa ke masa.

"Air ndak jernih lagi. Dan itu yang paling terasa sekarang," ucapnya singkat. (Tribun Jambi/Rifani Halim)

Baca juga: Warga Benteng Rendah Batang Hari Jambi Ajukan Lima Tuntutan, Desak Kades Dicopot

Baca juga: Ratusan Warga Jambi Geruduk Pertamina, Tuntut Cabut Status Zona Merah

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved