Sementara itu, kasus pemerkosaan Mei 98 sudah diakui secara faktual oleh otoritas yang diputuskan bersama Menteri Pertahanan, Menteri Keamanan, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, hingga Jaksa Agung.
"Jadi otoritas yang mengetahui kebenaran peristiwa itu, dengan demikian, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon kehilangan kredibilitasnya," imbuhnya.
Padahal, kata Usman, kasus pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan Mei 98 itu telah disimpulkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat.
"Jadi kesimpulannya pemerkosaan massal itu ada, dan seluruhnya merupakan pelanggaran HAM," ujarnya.
Karena itu, menurut Usman, pernyataan Fadli Zon justru seperti penyangkalan terhadap sebuah pelanggaran HAM.
"Satu saja perempuan diperkosa, itu adalah sebuah tragedi, itu adalah sebuah pelanggaran HAM. Jadi saya kira pernyataan menteri ini lebih tampil sebagai penyangkalan," ucapnya.
Upaya Penghapusan Pelanggaran HAM Berat
Sementara, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya pemerkosaan massal pada Mei 1998 merupakan upaya mengapus jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa Orde Baru.
"Pernyataan Fadli Zon mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi," kata Koalisi, dikutip dari situs Kontras, Minggu (15/6/2025).
Menurut Koalisi, tindakan tersebut juga menandakan kemunduran negara dalam menjamin perlindungan kepada perempuan dan justru semakin memperkuat citra maskulinitas negara.
Koalisi berpandangan, Fadli Zon sebagai menteri semestinya memastikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti pemerkosaan massal Mei 1998, masuk dalam buku sejarah, bukan malah menghapusnya.
Sebab, ketiadaan narasi mengenai peristiwa tersebut dinilai justru memperdalam ketidakadilan dan pengabaian terhadap hak-hak korban.
Koalisi menilai, tindakan itu juga merupakan upaya memutus ingatan kolektif dan mengkhianati perjuangan para korban untuk memperoleh pengakuan, keadilan, kebenaran dan pemulihan.
"Jika Fadli Zon menginginkan sejarah yang ditulis sebagai pemersatu bangsa, maka keberanian menghadapi kenyataan bahwa sejarah Indonesia tidak terlepas dari luka para korban dan keluarga korban," tulis koalisi.
Koalisi mengingatkan, pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi adalah bagian tidak terpisahkan dalam sejarah Indonesia yang dapat menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang.