TRIBUNJAMBI.COM - Betawi bukan hanya kaya dengan budaya, tetapi juga memiliki sajian khas kuliner yang begitu beragam dan menggugah selera.
Asinan, soto tangkar, soto Betawi, kerak telor, adalah beberapa di antara kuliner khas Betawi yang sering kita temukan di wilayah Jakarta.
Namun, tahukah Anda bahwa beberapa kuliner khas Betawi kini mulai sulit atau langka ditemukan di Jakarta?
Berikut ini adalah beberapa kuliner khas Betawi yang sudah jarang dijumpai, seperti yang dikutip dari Facebook Pemprov DKI Jakarta melalui Majalah JaKita:
Nasi Ulam
Nasi Ulam merupakan hidangan nasi dengan bumbu dan rempah, ditaburi serundeng dan kuah semur.
Hidangan ini dulunya cukup populer di Jakarta, tetapi sekarang sulit ditemukan.
Gabus Pucung
Makanan Gabus Pucung tercatat dalam 96 warisan budaya Indonesia.
Tekstur kuahnya mirip rawon dengan tambahan ikan gabus.
Sayangnya, di Jakarta sulit menemukan Gabus Pucung.
Bubur Jali
Bubur Jali berasal dari biji jali atau sejenis serealia, gula merah, dan daun pandan yang dipadu dengan santan kelapa.
Hidangan ini jarang ditemukan di Jakarta, padahal biasanya menjadi menu favorit berbuka puasa oleh masyarakat Betawi.
Kue Sengkulun
Kue Sengkulun yang berbahan dasar dari tepung beras ketan ini ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia dari DKI Jakarta.
Kue ini juga sudah mulai sulit ditemukan di Jakarta.
Laksa Betawi
Laksa Betawi termasuk makanan yang sudah langka ditemukan.
Sejak dahulu kala, Laksa Betawi ini muncul berkaitan dengan upacara perkawinan orang Betawi.
Oleh karena itu, warga Betawi menyebut juga dengan Laksa Penganten.
Baca juga: Dorong Pendidikan Karakter, Wakil Wali Kota Jambi Sambangi Yayasan PGRI
Baca juga: Nathalie Holscher Pasrah Dituding Jual Drama Usai Bongkar Aib Sule: Ya Sudahla
Baca juga: Alokasi Kursi DPRD Sarolangun Berjumlah 30, Total DPT 209.632
Alasan Nasi Padang Dibungkus Miliki Porsi Lebih Banyak
Konten kreator, Gerald Vincent, memberikan penjelasan menarik terkait fenomena yang sering terjadi di warung-warung makan Padang.
Dalam salah satu YouTube Short miliknya, Gerald menjawab pertanyaan netizen yang bertanya mengenai alasan mengapa porsi nasi Padang lebih banyak saat dibungkus daripada saat makan di tempat.
Gerald Vincent membacakan pertanyaan netizen yang menyampaikan, "Bang, kenapa nasi Padang dibungkus porsi nasinya lebih banyak daripada makan di tempat?"
Dalam penjelasannya, Gerald mengungkapkan bahwa fenomena ini ternyata memiliki sejarah yang menyentuh.
Saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, banyak masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makanan.
"Dulu, pas Indonesia lagi krisis ekonomi, banyak masyarakat yang kesulitan buat makan," ungkap Gerald.
Untuk mengatasi masalah ini, para penjual nasi Padang memutuskan untuk menambahkan porsi nasi bagi konsumen yang membeli makanan mereka untuk dibawa pulang.
"Nah, para pemilik warung makan Padang semuanya pada sepakat buat nambah porsi makanan waktu dibungkus," jelasnya.
Keputusan ini diambil karena para penjual berpikir bahwa makanan yang dibungkus tidak hanya untuk konsumsi sendiri, tetapi juga akan dibagikan dan dimakan bersama keluarga di rumah.
"Mereka solidaritas banget nih, karena mereka pikir kalau dibungkus itu bukan buat makan sendiri. Tapi buat dimakan berbagi bareng keluarga di rumah," tambah Gerald.
Tidak hanya itu, menambah porsi makanan yang dibungkus juga menjadi tanda terima kasih dari penjual kepada pembeli.
"Selain itu, penjual juga berterima kasih ke pembeli karena enggak nambah cucian piring kotor," ujarnya dengan senyum.
Gerald pun menutup penjelasannya dengan menegaskan bahwa keputusan para penjual untuk memperbanyak porsi nasi saat dibungkus adalah bentuk kebaikan dan solideritas, serta sebagai rasa terima kasih kepada konsumen.
"Dengan banyakin deh porsi pas dibungkus, emang terbaik deh. Ternyata kita selama ini bukan halusinasi, emang dibanyakin nasinya," ujar Gerald dengan nada bersemangat.
Seorang netizen juga menambahkan komentar menarik, menyebut bahwa fenomena ini juga berasal dari zaman kolonial, di mana masyarakat pribumi Indonesia lebih sering membungkus makanan, sementara orang Belanda cenderung makan di tempat.
Fenomena ini masih terus berlangsung karena rasa nasionalisme tinggi di kalangan penjual nasi Padang.
Dapatkan Berita Terupdate TRIBUNJAMBI.COM di Google News
Dapatkan Berita Terupdate TRIBUNJAMBI.COM di Google News
Baca juga: ASN Mangkir Saat Dipanggil, Kejari Belum Koordinasi Dengan Pemda Sarolangun
Baca juga: Kapolresta Jambi akan Temui Emak-emak yang Gerebek Basecamp Narkoba di Payo Sigadung