Harga Batu Bara Menguat Tajam, Kembali ke Level Sebelum Pandemi Covid-19

Editor: Fifi Suryani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, awal Juli ini.

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Harga batu bara terus melesat dalam beberapa hari terakhir, bahkan dapat dikatakan sudah kembali ke level semula sebelum pandemi Covid-19.

Merujuk Bloomberg, harga batubara Newcastle kontrak pengiriman Maret 2021 di ICE Futures pada Jumat (4/12) sudah berada di level US$ 75,8 per ton.

Level tersebut mengalami kenaikan 2,02% dibandingkan penutupan sebelumnya. Tak hanya itu, harga tersebut merupakan yang tertinggi sejak pertengahan Januari silam.

Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa harga batu bara saat ini telah kembali normal.

Jika dihitung secara year to date sendiri, harga batu bara telah bergerak naik 3,34%. Sementara, dalam seminggu terakhir, rally harga komoditas batu hitam ini telah menguat 9,38%

Analis Central Capital Futures Wahyu Laksono mengungkapkan, penyebab kenaikan harga batu bara salah satunya adalah adanya indikasi impor batu bara China akan mengalami kenaikan signifikan pada Desember ini.

Diperkirakan, impor China akan naik dari 9,5 juta ton menjadi 20 juta ton pada bulan ini. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding rata-rata impornya pada sembilan bulan pertama tahun ini yang sebesar 17,7 juta ton.

“Di saat suplai yang cenderung terbatas, permintaan dari pabrik-pabrik China untuk batu bara justru meningkat, bahkan diperkirakan hingga Maret tahun depan. Dengan demikian, bisa dibilang kenaikan aksi impor China menjaga pasokan batu bara yang ada di pasar tetap seimbang, mengingat banyak pabrik di Eropa yang saat ini masih belum aktif beroperasi kembali,” ungkap Wahyu kepada Kontan.co.id, Sabtu (5/12).

Selain itu, Wahyu menyebut faktor musiman, yakni menjelang musim dingin, tren positif memang akan selalu menyelimuti komoditas energi, termasuk batu bara. Walau tengah berada dalam tren penguatan, Wahyu mengingatkan bahwa China punya kendali yang besar untuk membuat harga batu bara tidak bisa terlalu tinggi atau terlalu rendah.

Jika harga memang sampai terlalu tinggi, hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi konsumen energi atau listrik. Sementara jika terlalu rendah, maka pihak produsen lah yang akan terkena imbasnya. Oleh sebab itu, Wahyu menyebut ada mekanisme yang akan membuat harga batu bara cenderung stabil.

“Ketika harga rendah dan produsen tertekan, maka pasokan akan dikurangi guna menjaga pasokan tetap rendah di saat harga anjlok. Dampaknya, dapat memicu kenaikan harga di saat suplai berkurang, namun permintaan tetap ada bahkan meningkat. Sedangkan, saat harga naik, produsen batu bara akan menggenjot produksi untuk ekspor karena harga yang bagus, namun ini juga akan membuat kelebihan pasokan. Dus, harga berpotensi turun,” jelas Wahyu.

Lebih lanjut, untuk tahun depan, Wahyu menilai harga batu bara berpotensi lebih baik dibandingkan tahun ini. Kendati demikian, ia menyebut kenaikannya tidak akan signifikan karena harga saat ini sudah price in. Menurutnya, secara teknikal maupun rentang harga batu bara, akan mengikuti penjelasan sebelumnya, tidak terlalu tinggi namun tidak terlalu rendah juga.

“Jadi walaupun bisa mencoba bergerak ke arah US$ 80 – US$ 100 per ton, saya rasa US$ 50 – US$ 70 masih akan jadi gravitational level untuk tahun depan. Sementara pada akhir tahun ini, harga batu bara akan berada di kisaran US$ 75 per ton,” pungkas Wahyu.

Berita ini sudah tayang di laman Kontan.co.id dengan judul: Permintaan meningkat drastis, harga batubara menguat tajam

Berita Terkini